HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Liberalisme HMI

Saya tidak setuju syariah!” teriak salah seorang peserta sambil berdiri.

“Tahukah saudara-saudara, salah satu hukum syariah adalah potong tangan. Saya tidak mau dipotong tangannya.”

Lalu berdiri juga seorang peserta, “Saya juga tidak setuju.” Tak terduga, sesaat kemudian tindakan itu diikuti oleh hampir seluruh peserta yang juga sambil berdiri menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ide penerapan syariah yang disampaikan oleh Jubir HTI.

Siapa mereka? Jangan salah, mereka bukanlah non-Muslim. Mereka adalah peserta Training LK (Latihan Kader) II HMI beberapa waktu lalu. Ini adalah forum training lanjutan tingkat nasional yang diikuti oleh kader-kader HMI dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kali itu diselenggarakan di Kota Tasikmalaya.

Reaksi semacam ini tentu sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin kader HMI menolak syariah?

Mereka umumnya menolak mentah-mentah ide khilafah. Itu dikatakan sebagai ide yang absurd, tidak jelas dan utopis. Mereka menilai, demokrasi tetaplah yang terbaik. “HTI beruntung dengan demokrasi. Semasa Soeharto, HTI tidak dapat hidup. Maka, HTI harus berterima kasih pada demokrasi,” cetus salah seorang peserta.

Ada juga peserta yang setuju syariah, tetapi tetap menolak ide khilafah. “Saya setuju syariah diterapkan. Tapi tidak setuju khilafah karena banyak perbedaan, banyak mazhab yang masing-masing akan mempertahankan pendapatnya sehingga terjadi perpecahan,” kata Mahrus, peserta dari Cilegon.

Senada dengan Mahrus, Ahmad Faiz juga menyatakan setuju syariah, tetapi khilafah tidak. Lagi pula, katanya, khilafah menurut siapa? “Apa mungkin umat Islam hidup dalam satu pemimpin?” tanyanya ragu. Di dalam al Quran, menurutnya, juga tidak ada perintah untuk mendirikan Khilafah. Dulu yang ada adalah kerajaan. Tidak ada konsep khilafah.

Soal ketakutan bahwa ide khilafah bakal menimbulkan persoalan, diungkap juga oleh Zulham, peserta dari Kendari. “Secara pribadi saya setuju. Tapi saya menilai dari internal umat bakal akan ada perlawanan. Dengan kondisi bangsa yang beragam, apa ide itu bisa diterapkan? Apa bukan akan menimbulkan benturan?”

Memang, peserta melihat bahwa antara khilafah dan demokrasi tidak dapat dipertemukan. Menurut Samsulhadi, peserta dari Lombok, tata kenegaraan yang ada harus didekonstruksi, karena akan benturan dengan ide syariah dan khilafah.

Mereka juga mempertanyakan kelayakan syariah untuk diterapkan di Indonesia. “Syariah apa cocok untuk Indonesia yang heterogen?” tanya Rake, peserta dari Semarang.

Hal serupa diungkap oleh Ali Muhson, peserta dari Jawa Timur. Sama dengan pemikiran tokoh-tokoh Islam liberal, mereka setuju syariah, tetapi hanya sebatas nilai-nilainya saja. Misalnya, nilai keadilan. Tidak perlu menggunakan label Islam.

Sesungguhnya konsep khilafah bukan saja sudah ada, bahkan juga sangat jelas. Puluhan buku telah ditulis oleh para ulama pada masa lalu tentang masalah ini. Buku-buku seperti Al-Ahkam as-Sulthâniyah karya al-Mawardi atau Abu Ya’la, juga Siyâsah Syar’iyyah-nya Ibnu Taimiyyah, apalagi kitab Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm karya Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani mampu menggambarkan dengan sangat gamblang konsep khilafah. Mungkin saja ada perbedaan di antara para ulama tentang konsep detilnya, tetapi konsep-konsep dasar utamanya mengenai prinsip kedaulatan (as-siyâdah), kekuasaan (al-sulthah), kesatuan kepemimpinan dan hak tabanni pada khalifah, pastilah sama meski dalam buku-buku itu dibahas dalam istilah yang berbeda-beda. Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan adanya perbedaan konsep, apalagi dikhawatirkan bakal munculnya kekacauan atau perpecahan. Lagi pula, fakta sejarah menunjukkan, konsep khilafah itu bisa diterapkan dengan baik. Menurut para sejarahwan, paling sedikit selama 700 tahun dari era kejayaan Islam disebut sebagai the golden age.

Soal pluralitas atau heterogenitas Indonesia tidaklah semestinya menjadi penghalang untuk penerapan syariah, karena memang Islam dengan syariahnya tidak hanya diturunkan untuk umat Islam saja. Menurut al-Quran, Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia sehingga syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah juga berlaku untuk Muslim maupun non-Muslim. Bagaimana teknisnya? Dalam kehidupan pribadi, menyangkut masalah akidah/keyakinan serta ibadah, makanan, minuman dan pakaian tiap orang diberi kebebasan untuk memprkatikannya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Namun, dalam kehidupan publik, menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, serta hukum dan sanksi, syariah Islam berlaku atas semuanya, baik atas Muslim maupun non-Muslim. Ketika misalnya pendidikan diselenggarakan tanpa biaya, maka ini berlaku untuk Muslim dan non-Muslim. Ketika seorang non-Muslim membunuh Muslim tanpa alasan yang benar, maka ia akan dihukum sebagaimana ketika Muslim membunuh non-Muslim tanpa alasan yang benar. Demikianlah Islam mengatur masyarakat heterogen dengan syariah. Kemampuan Islam mengatur masyarakat semacam itu telah terbukti dalam sejarah. Bahkan bisa dikatakan seluruh masyarakat Islam di masa lalu adalah heterogen.

Tentang hukum potong tangan, yang dipertanyakan dalam LK II HMI di Tasikmalaya, dijelaskan bahwa itu adalah bagian dari ‘uqûbât atau sanksi dalam Islam. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan hukum syariah disebut sebagai jarîmah atau kejahatan. Setiap jarîmah pasti akan dikenai hukum atau diberi sanksi. Orang yang terbukti mencuri lebih dari seperempat dinar, misalnya, akan dipotong tangannya.

Benar, ‘uqûbât dalam Islam memang tampak sangat keras, dan mungkin membuat kebanyakan orang merasa sangat ngeri sehingga akan cenderung menolak. Namun, jika dipahami dengan sungguh-sungguh, nyatalah bahwa ‘uqûbât itu sesungguhnya memiliki falsafah yang luar biasa mulia. ‘Uqûbât dalam Islam berfungsi sebagai zawâjir (pencegah) dan jawâbir (penebus). Pada masa Nabi saw., ada seorang seperti al-Ghamidiyah dan Maiz bin Malik yang ngotot untuk mendapatkan hukuman rajam atas kekhilafan mereka berzina. Mengapa mereka bersikeras menuntut rajam? Mereka sadar benar, hanya dengan cara menerima hukuman sesuai dengan ketentuan syariah sajalah mereka akan terbebas dari hukuman di akhirat yang jauh lebih keras daripada hukuman di dunia.

Secara empirik, hukum sekular telah gagal mencegah terjadinya kejahatan. Ini terbukti dari terus meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu. Hukum sekular itu tentu juga tidak akan bisa berfungsi sama sekali sebagai penebus terhadap siksa di akhirat. Karenanya, dengan hukum sekular itu sebenarnya tidak ada satu pun pihak yang diuntungkan. Masyarakat tidak diuntungkan karena harta, jiwa dan kehormatan mereka tidak terlindungi. Pemerintah juga tidak diuntungkan karena kualitas dan kuantitas kejahatan terus meningkat sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Penjara yang ada pun tidak lagi mampu menampung para penjahat. Yang pasti, hukum sekular tidak menguntungkan pelaku kejahatan karena hukuman itu tidak bisa menjadi penebus buat hukuman di akhirat kelak.

“Bila tidak ada yang diuntungkan, mengapa kita masih saja terus mempertahankan hukum semacam ini?” sergah Jubir HTI di akhir penjelasannnya.

Tanpa menunggu reaksi lebih lama, Jubir HTI dengan agak sedikit berdiri lantas menggebrak keras meja di depannya. Setengah berteriak ia mengatakan, “Siapa sekarang yang tetap tidak setuju syariah?”

Seluruh peserta LK II HMI di Tasikmalaya diam membisu. Tidak ada satu pun yang bersuara. Semua tampak diam menunduk. Tiba-tiba, ada satu peserta berdiri sambil menunjukkan jari berkata, “Saya setuju.” Tak berapa lama, berdiri lagi satu peserta, “Saya juga setuju.” Lalu segera diikuti oleh hampir seluruh peserta, “Kami setuju! Kami setuju!” “Allahu Akbar….!!!”

Suara takbir segera memenuhi ruangan training yang tidak terlalu besar itu. Subhanallah, mereka cepat sekali bisa berubah. Ternyata, penolakan dan persetujuan hanya dibatasi oleh penjelasan.

Usai acara, peserta beramai-ramai minta foto bersama. Ketika acara pemberian cindera mata hendak dilakukan, peserta berebut ingin menyerahkannya kepada Jubir HTI. Akhirnya, Jubir HTI minta cindera itu diletakkan saja di atas nampan, dan peserta bersama-sama membawa nampan itu ke depan. Jubir lantas mengambil cindera mata yang diletakkan di atas nampan itu.

Di sinilah pentingnya dakwah fikriyah dan dakwah siyâsiyah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia secara konsisten kepada semua lapisan umat. [Kantor Jubir HTI-Jakarta].

13 comments

  1. Subhanallah… Sungguh luar biasa memang. Mudah-mudahan artikel di atas bisa memberi semangat kepada kita untuk selalu mengoptimalkan dakwah kita. Kita harus yakin dengan apa yang kita dakwahkan supaya orang yang diajak pun menjadi yakin juga. Sebenarnya kebanyakan mereka menolak syariah dan khilafah karna tidak memiliki pengetahuan atasnya dan ada juga sebagian yang memang tidak mau tahu karena sudah merasa benar sendiri. Alhamdulillah setelah faham akhirnya tanpa diminta pun mereka memberikan dukungan. Insya Allah khilafah akan segera berdiri atas izin Allah.

  2. Saya dukung penuh sikap HMI! (Hanya Mau Islam)

  3. Ada rekaman video-nya, gak?
    Kelihatannya seru, terutama saat ust. Ismail mampu untuk meyakinkan peserta (sampai menggebrak meja).. ^^

  4. Assalamu’alaikum.wr.wb.
    Yth. saudara-saudara saya di HTI, sedikit koreksi, sepertinya LK II yang dimaksud adalah LK II HMI di cabang Semarang, bukan Tasikmalaya. Saya adalah salah satu peserta trainning tersebut dan hafal nama2 teman yang disebut dalam tulisan di atas.

    Memang sebenarnya baik dari golongan Islam manapun, sudah selayaknya Syari’ah ditegakkan. Amin.
    Wassalam

  5. saya termasuk salah satu peserta LK II, bang isamail selaku alumni HMi juga, selayaknya kita memang menegakkan syariat islam dengan berjuang bersama-sama atas nama islam dalam berdakwah..! yakin usaha sampai, Allahu Akbar, semoga Allah meridhoi jalan dakwah kita!

  6. pertanyaan saya mampukah syari’ah itu mengakomodir perbedaan, setahu saya islam menyuruh menghormati perbedaan, bagi saya apa yang terjadi dengan anak-anak HMI adalah hal yang wajar, ke kritisan tidak perlu dijawab dengan Gebrakan meja, mereka tidak anti syaria’ah karena saya yakin apa yang dilakukan mereka adalah bagian tindakan-tindakan syar’ah, mereka memahami Islam bukan sebuah entitas Eksklusive bukan inklusive.

  7. Assalamualaikum,
    HMI yg saya th tdk hitam putih, namun kaya akan wacana dan pemikiran. maka dari itu tdk adil bila membuat generalisasi (kesimpulan) thd HMI dengan hanya melihat satu forum HMI. ini namanya memberikan penilaian pada gajah dengan hanya menyentuh ekornya.
    Wassalamualaikum

  8. Kaum Muda Indonesia

    Kader-kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) memiliki keragaman pola fikir, BUKAN LIBERAL. Adapun pada LK II perdebatan di arena perkaderan di artikan sebagai Liberalisme HMI menurut saya merupakan penilaian yang terburu-buru oleh HTI. LK II hanyalah salah satu proses perkaderan yang dimiliki HMI. Kader-kader HMI terbiasa dengan wacana, kritis, mencari jawaban, mencari kebenaran hakiki, bukanlah mahasiswa-mahasiswa yang taqlid. Rasanya tidak bijak jika proses belajar untuk mencari tahu kebenaran disebut liberal. Bagaimanapun kami kader-kader HMI berterimakasih kepada jubir HTI yang sudah memberikan pencerahan tentang Syariat Islam di LK II Tasikmalaya.
    Mungkin juga sebuah masukan untuk HTI agar lebih turun ke jalan untuk “mempromosikan” tentang syariat Islam, karena saya rasa teman-teman peserta LK II menolak karena tidak tahu secara detail, bukan karena Liberal.
    Jazakallah…

  9. Subhanallah….Bahagia HMI dan Yakin Usaha Sampai.
    Saudaraku HTI…sebaiknya jangan menulis HMI liberal atau semacamnya. jangan cepat memberikan kesimpulan dan vonis. HMI adalah bagian dari perkaderan Ummat…bimbing dan bekerjasamalah dengan mereka. Insya Allah Islam akan memperoleh kegemilangan dengan kerendahan hati dan penghargaan kepada seluruh ummat…semoga…

  10. Saya setuju dengan Kaum Muda Indonesia, bahwa HMI bukan liberal, tetapi beragam sebagaimana beragamnya kaum muslimin di Indonesia. Sebagaimana kita tidak bisa mengatakan kaum muslimin di Indonesia liberal, maka HTI juga tidak bisa mengatakan bahwa HMI liberal.
    Saya yakin banyak kader HMI keberatan dengan judul artikel ini, mohon diganti judulnya saja, isinya tidak perlu ada perubahan. Saya khawatir jika HTI memberikan cap liberal pada HMI di website resmi HTI, hubungan antar kedua organisasi akan terganggu. Padahal tadinya begitu baik, dibuktikan dengan diundangnya pembicara dari HTI ke LK HMI.
    Terima kasih.

  11. HMI airlangga

    go ahead HMI. yakin usaha sampai.
    iya, luar biasa sekali ustadz yg satu ini. bisa memberi report dg begitu tajam. kami yakin lebih menarik kalo ada videonya, biar semua yg baca bisa paham bagaimana prosesx sampai anda bisa menyimpulkan seperti itu. pmbahasan d LK memang benar2 digodog sampe taraf falsafah, makanya di dalamx (kalo kita ambil secuplik saja) akan muncul statemen2 kritis yg kontroversial. tp saya yakin kesimpulannya tdk akan mengerucut pada hmi menjadi liberal.
    salam.

  12. Alhamdulillah jika memang ada yang mengingatkan HMI jika memang ada yang kurang dar HMI.. Saya kok masih kurang sreg ketika konsep khilafah bersanding dengan syariah.. Khilafah yang dimaksud disini seperti apa?? Apa seperti keuskupan paus yang ada di vatikan?? Atau seperti apa?? menurut saya konsep khilafah suatu saat akan terjadi namun perlu waktu yang cukup lama bagi teman-teman HTI untuk dapat merealisasikannya.. Yang menjadi unek-unek saya, kenapa konsep khilafah harus disandingkan dengan syariah.. konsep syariah saya pikir juga sudah didengungkan oleh seluruh gerakan Islam, NU, Muhammadiyah dsb.. saya melihat ini seperti penguatan isu konsep khilafah karena mungkin dalam pandangan saya HTI sudah kehabisan amunisi ketika konsep khilafah kurang mendapatkan respon yang cukup sehingga untuk menguatkan posisi tawar ditambah dengan Syariah..

    Secara keseluruhan konsep Syariah bagus dan khilafah juga bagus jika memang kita ingin mengembalikan kejayaan Islam seperi mas Rasulullah saw dan Khulafaurrasyidin.. Hanya saja perlu waktu dan proses yang cukup panjang untuk dapat mengimplementasikannya..

    Syukran jzk

  13. Sani Rachman

    Alhamdulillah jika memang ada yang mengingatkan HMI jika memang ada yang kurang dar HMI.. Saya kok masih kurang sreg ketika konsep khilafah bersanding dengan syariah.. Khilafah yang dimaksud disini seperti apa?? Apa seperti keuskupan paus yang ada di vatikan?? Atau seperti apa?? menurut saya konsep khilafah suatu saat akan terjadi namun perlu waktu yang cukup lama bagi teman-teman HTI untuk dapat merealisasikannya.. Yang menjadi unek-unek saya, kenapa konsep khilafah harus disandingkan dengan syariah.. konsep syariah saya pikir juga sudah didengungkan oleh seluruh gerakan Islam, NU, Muhammadiyah dsb.. saya melihat ini seperti penguatan isu konsep khilafah karena mungkin dalam pandangan saya HTI sudah kehabisan amunisi ketika konsep khilafah kurang mendapatkan respon yang cukup sehingga untuk menguatkan posisi tawar ditambah dengan Syariah..

    Secara keseluruhan konsep Syariah bagus dan khilafah juga bagus jika memang kita ingin mengembalikan kejayaan Islam seperi mas Rasulullah saw dan Khulafaurrasyidin.. Hanya saja perlu waktu dan proses yang cukup panjang untuk dapat mengimplementasikannya..

    Syukran jzk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*