وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا، فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا، أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا
Jika dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang telah Allah turunkan dan pada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Lalu bagaimanakah jika mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS an-Nisa [4]: 61-63)
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa idzâ qîla lahum ta’âlaw ilâ mâ anzalal-Lâh wa ilâ ar-Rasûl (Jika dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu [tunduk] pada hukum yang telah Allah turunkan dan pada hukum Rasul.”). Dalam konteks ayat ini, frasa mâ anzalal-Lâh berarti hukum-hukum yang ada dalam al-Quran,1 sedangkan ar-Rasûl menunjuk pada hukum beliau.2
Dhamîr al-ghâib (kata ganti mereka) pada ayat ini kembali pada ayat sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang mengaku mengimani kitab-kitab yang telah Allah turunkan, namun mereka justru berhukum pada thâghût. Mereka itulah yang jika diajak tunduk pada hukum yang Allah turunkan dan pada hukum Rasulullah saw., maka: rayta al-munâfiqîna yashuddûna ‘anka shudûd[an].
Kata munâfiq merupakan ism al-fâ’il dari kata an-nifâq. Dijelaskan Ibnu Katsir, an-nifâq berarti menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan.3 Secara i’tiqâdî, sebutan munafik disematkan kepada orang kafir yang menyembunyikan kekufurannya dan menampakkan diri sebagai orang Mukmin (Lihat: QS al-Munafiqun [63]: 1; al-Baqarah [2]: 8-10; dan an-Nur [24]: 47-50).
Kata ash-shadd, sebagaimana diungkap Ibnu Manzhur, berarti al-i’râdh wa ash-shudûf (berpaling).4 Makna itu pula yang diambil oleh kebanyakan mufassir ketika menafsirkan kata yashuddûna dan shudûd[an] dalam ayat ini.5 Ibnu Katsir memaknainya: Yu’ridhûna ‘anka i’râdh[an] ka al-mustakbirîna ‘an dzâlika (Mereka benar-benar berpaling dari kamu seperti orang yang sombong terhadap hal itu). Masih menurut Ibnu Katsir, sikap tersebut sama dengan kaum musyrik ketika diajak pada apa yang telah Allah turunkan. Mereka menolak ajakan tersebut hanya karena alasan telah mengikuti ajaran nenek moyang mereka (lihat QS Luqman [31]: 21). Sikap tersebut tentu kontradiksi dengan sikap Mukmin yang sami’nâ wa atha’nâ terhadap hukum Allah Swt. (lihat QS an-Nur [24]: 51).6
Di samping makna tersebut, kata ash-shadd juga berarti sharf[an] wa man’a[an] (memalingkan dan menghalangi). Menurut ar-Raghib al-Asfahani, pengertian tersebut cukup banyak dalam al-Quran seperti dalam QS an-Naml [27]: 24, al-Ankabut [29]: 38, Muhammad [47]: 1 dan lain-lain.7 Oleh karena itu, tidak aneh jika ada mufassir yang menggabungkan dua pengertian itu sehingga ayat itu dimaknai, “Mereka berpaling dari engkau dan memalingkan orang lain seperti itu.”8
Kata shudûd[an] dalam ayat ini berfungsi li al-ta’kîd wa al-mubâlaghah (untuk menguatkan dan menegaskan). Mereka benar-benar berpaling dari syariah secara total.9 Al-Biqa’i bahkan memaknainya sebagai a’lâ thabaqât ash-shudûd (tingkat penolakan yang paling tinggi).10
Allah Swt. berfirman: Fakayfa idzâ ashâbathum mushîbah bimâ qaddamat aydîhim (Lalu bagaimanakah jika mereka [orang-orang munafik] ditimpa suatu musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri). Dalam menafsirkan kata mushîbah, meskipun dengan ungkapan berbeda, penafsiran para mufassir merujuk pada pengertian senada. Ibnu Jarir ath-Thabari memaknainya dengan niqmah minal-Lâh (balasan berupa siksaan dari Allah). Syihabuddin al-Alusi menafsirkannya nakbah (bencana atau malapetaka).11 Ada juga yang mengartikan ‘uqûbah (hukuman) dan itu akibat ulah mereka. Penolakan mereka terhadap syariah, tindakan mereka yang berhukum kepada thâghût dan kemunafikan mereka merupakan sebab datangnya musibah itu.
Allah Swt. berfirman: tsumma jâûka yahlifûna bil-Lâh (kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah…”). Mereka datang kepada Rasulullah saw. bukan untuk bertobat. Sebaliknya, mereka justru mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka bahkan berani bersumpah atas nama Allah untuk meyakinkan alasannya. Alasan mereka disitir Allah Swt.: in aradnâ illâ ihsân[an] wa tawfîq[an] (“kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”). Dengan lancang, mereka mengaku bahwa tindakan mereka yang menolak syariah dan menginginkan berhukum pada thâghût itu didasarkan pada niat baik: ihsân[an] wa tawfîq[an]. Mereka ingin berbuat baik dan berupaya mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Ungkapan nafi (penegasian, berupa huruf in) yang diiringi dengan istitsnâ (pengecualian, berupa huruf illâ) memberikan pengertian li al-hasyr (pembatasan). Artinya, hanya karena alasan itulah mereka berpaling dari hukum Allah Swt.
Alasan tersebut jelas dusta dan mengada-ada. Sebab, tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah (lihat QS al-Maidah [5]: 50). Mengembalikan perkara yang diperselisihkan pada al-Quran dan as-Sunnah juga merupakan khayru wa ahsanu ta’wîl[an] (lebih utama dan lebih baik akibatnya) (lihat QS al-Nisa’ [4]: 59). Oleh karena itu, jika mereka menginginkan kebaikan dan perdamaian, seharusnya dikembalikan semuanya pada keputusan syariah, bukan malah berpaling darinya.
Sumpah mereka juga tidak berguna. Sebab: Ulâika ya’lamul-Lâh mâ fî qulûbihim (Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka). Jatidiri mereka yang sebenarnya adalah lebih condong kepada thâghût, menolak syariah dan mengingkari kebenaran Islam. Sekalipun mereka berupaya kuat untuk menyembunyikannya, upaya itu sia-sia belaka. Allah Yang Mahatahu mengetahui semua perkara yang tersimpan dalam dada manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 7, al-Anfal [8]: 43). Oleh karena itu, Allah Swt. tidak bisa ditipu. Siapapun yang menipu-Nya, sesungguhnya dia hanya menipu dirinya sendiri (lihat QS al-Baqarah [2]: 9).
Menurut az-Zamakhsyari, Abu Hayyan al-Andalusi dan al-Alusi, ini merupakan ancaman terhadap mereka atas perbuatan yang mereka kerjakan. Mereka akan menyesali perbuatan mereka tatkala penyesalan itu tidak lagi bermanfaat. Alasan mereka juga tidak berguna ketika sudah tertimpa azab Allah.12
Terhadap mereka, Rasulullah saw dan kaum Mukmin diperintahkan: fa a’ridh ‘anhum (Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka). Berpaling dari mereka adalah dengan tidak menerima semua alasan mereka;13 tidak pula menjatuhkan sanksi terhadap mereka.14 Selain itu juga: wa’izhhum (dan berilah mereka pelajaran). Artinya, berikanlah penjelasan kepada mereka mengenai hukum Allah Swt., disertai dengan at-targhîb dalam ketaatan kepada Allah, dan tarhîb bagi orang yang meninggalkanya.15
Diperintahkan pula: wa qul lahum fî anfusihim qawl[an] balîgh[an] (dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka). Ungkapan qawl[an] balîgh[an] menurut al-Alusi adalah perkataan yang membekas dan sampai pada hakikat yang dimaksud.16 Melarang mereka berbuat nifâq, makar, tipudaya, dengki dan dusta; dan menakut-nakuti mereka dengan akhirat, sebagaimana diperintahkan dalam QS an-Nahl [16]: 125.17
Munafik: Karakter dan Akibatnya
Setidaknya, ada tiga perkara penting yang dapat dipetik dari ayat ini. Pertama: sifat kaum munafik. Di antara sifat khas kaum munafik adalah penolakan mereka yang amat keras terhadap seruan pada syariah. Kendati mengaku mengimani seluruh kitab yang diturunkan, mereka lebih senang dan ridha berhukum kepada thâghût (Lihat juga: QS al-Nur [24]: 48).
Suatu ketika mereka memang terlihat tunduk pada keputusan syariah. Akan tetapi, kepatuhan itu didasarkan pada kemaslahatan semata. Jika keputusan syariah sejalan dengan kemaslahatan mereka, mereka baru mau patuh (lihat QS al-Nur [24]: 49). Pembangkangan dan kesombongan mereka terhadap seruan dakwah juga digambarkan dalam QS al-Munafiqun [63]: 5. Ketika mereka diminta untuk beriman, agar Rasulullah saw. memintakan ampun bagi mereka, mereka membuang muka mereka dan berpaling dengan menyombongkan diri.
Penolakan mereka terhadap syariah tentu menimbulkan tanda tanya besar atas pengakuan keimanan mereka. Lazimnya, keyakinan terhadap apa pun akan memberikan pengaruh pada perbuatan. Keyakinan pada al-Quran beserta seluruh hukum yang terkandung di dalamnya akan mengantarkan pelakunya untuk taat terhadap seluruh ketentuan hukum di dalamnya.
Sifat lainnya adalah keberanian mereka dalam berdusta. Banyak kedustaan yang mereka ucapkan. Bahkan pengakuan keimanan mereka pun sesungguhnya adalah dusta. Tak ayal, mereka disebut sebagai pendusta (Lihat: QS al-Munafiqun [63]: 1) .
Dalam berdusta, mereka tak segan bersumpah atas nama Allah Swt. Selain dalam ayat ini, sumpah palsu mereka juga diceritakan dalam QS at-Taubah [9]: 107. Ketika ada di antara mereka yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemadaratan, kekafiran dan memecah -belah kaum Mukmin, mereka bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Mereka telah menjadikan sumpah mereka sebagai perisai dan alat untuk menghalangi manusia dari jalan Allah Swt (QS al-Munafiqun [63]: 2).
Kedua: akibat kemunafikan dan penolakan terhadap syariah. Ayat ini memberitakan tentang musibah yang akan menimpa mereka. Ditegaskan, musibah—yang ditafsirkan oleh para mufassir sebagai hukuman atau bencana—itu adalah akibat ulah mereka sendiri. Penolakan mereka terhadap syariah dan keinginan mereka berhukum kepada thâghût menjadi penyebab datangnya musibah (Lihat juga: QS al-Maidah [5]: 49).
Di samping di dunia, hukuman jauh lebih besar akan mereka terima kelak di akhirat. Layaknya kaum kafir, orang munafik i’tiqâdi itu juga akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Tempatnya pun berada di neraka paling bawah (lihat QS an-Nisa’ [4]: 145).
Ketiga: sikap umat Islam dalam menghadapi kaum munafik. Umat Islam harus tsiqah terhadap Islam dan berpaling dari mereka. Berbagai alasan dan dalih yang mereka kemukakan untuk menolak syariah tidak boleh diterima dan dibenarkan. Sebagaimana diperintahkan dalam QS al-Ahzab [33]: 1, umat Islam harus terus bertakwa kepada Allah Swt. dan tidak mengikuti kaum munafik; juga tidak menghiraukan gangguan mereka serta harus bertawakal kepada Allah Swt (lihat QS al-Ahzab [33]:48).
Mereka juga diberi nasihat yang membekas dan menggugah kesadaran mereka. Mereka dijelaskan kesesatan akidah mereka beserta bukti-buktinya, kebatilan anggapan mereka, dan kerusakan sikap mereka. Mereka diingatkan dahsyatnya azab Allah Swt yang bakal mereka terima di akhirat kelak jika tetap bertahan dengan sikapnya. Mereka juga didorong agar segera sadar dan bertobat. Selagi maut belum menjemput, pintu tobat masih terbuka buat mereka. Jika mereka mau bertobat, mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama-Nya, mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala amat besar (lihat QS al-Nisa’ [4]: 145-146).
Di samping siksa di akhirat, kaum munafik itu harus diingatkan dengan hukuman di dunia. Jika telah terbukti kemunafikannya, mereka akan dihadapi dengan tegas. Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka (QS at-Taubah [9]: 73).
Demikianlah sifat-sifat kaum munafik dan akibat yang akan mereka terima serta sikap yang harus diambil kaum Muslim dalam menghadapi mereka.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1994), 66.
2 Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992), 193.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 52.
4 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, tt), 3. Menurut as-Samarqandi, pengertian itu juga terdapat dalam QS an-Nisa’ [4]: 55. Lihat as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 364
5 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol, 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 125; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 66; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 261; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 356; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 470; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 364; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 131; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 273; al-‘Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 79; as-Sanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 245.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 470.
7 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 283. Makna tersebut juga disampaikan oleh Ibnu Mazhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3, 3; dan as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 364. ar-Raghib sendiri lebih memilih makna pertama pada ayat ini.
8 Al-Jazairi, Aysar ar-Tafâsîr, vol. 1 (Madinah: Nahr al-Khair, 1993), 499. Lihat juga dalam ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 158.
9 Al-‘Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2, 79.
10 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 2 , 273.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 159; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 67.
12 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 516; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 293.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 67; al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, vol, 10, 123; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 261; al-‘Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2, 79
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 159; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 612; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 2 , 273; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 197.
15 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (tt: Jamiyyah Ihya’ al-Turats al-Islami, 2000), 215.
16 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 67.
17 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol, 10, 123.