Benarkah penerapan syariah Islam di Aceh menjadi obat mujarab dalam memberantas berbagai penyakit masyarakat? Maaf, perempuan masih menjadi objek…Dulu, perempuan Aceh lari dikejar-kejar TNI, sekarang lari dikejar-kejar Wilayah Hisbah (Polisi Syariah yang merazia pelanggar qanun [Perda Syariah] di Aceh).
Kampanye Negatif Penerapan Syariah
Komentar sinis di atas bersumber dari kalangan liberal yang selalu merespon negatif geliat penerapan syariah Islam. Berbagai celah kekurangan—dari penerapan Islam yang terbatas—mereka manfaatkan guna memojokkan kalangan penyeru Islam. Berbagai upaya—sangat halus, halus maupun vulgar—mereka gencarkan untuk menyuntikkan virus keragu-raguan akan urgensitas penegakan syariah Islam. Salah satu diskursus penting bagi mereka adalah, “Legislasi/Formalisasi Syariah Islam Meniscayakan Peminggiran Hak dan Aspirasi Perempuan”.
Meski dalam jangkauan dan skala yang terbatas, munculnya Perda-perda syariah sangat merisaukan mereka. Hingga kini tercatat lebih dari 50 kabupaten/kota yang mempunyai Perda syariah Islam. Meski publik Muslim yang mendukung penerapan syariah cukup signifikan secara kuantitatif, kalangan liberal masih mempersoalkan legitimasinya sebagai kebijakan publik. Alasannya, selain rendahnya keterlibatan masyarakat (public engagement) dalam proses penetapannya, sejumlah aturan yang dikandungnya dianggap mengancam hak-hak sipil, hak-hak perempuan dan hak-hak minoritas.
Bermacam argumen penolakan gencar dikampanyekan. Di antaranya: legalisasi syariah adalah sebuah pemaksaan sekelompok orang melalui institusi negara—yang cenderung represif—untuk menerima dan mengamalkan pemahaman (ijtihad) tertentu (baik individual maupun kolektif) terhadap orang banyak. Yang paling popular: memaknai syariah Islam dalam pemahaman yang bersifat tekstualis dan formalistik telah menempatkan perempuan pada pihak yang kurang diuntungkan bahkan dimarginalkan.
Kasus-kasus semacam munculnya raperda Pekat di Padang yang melarang perempuan keluar rumah tanpa disertai mahram pada malam hari, munculnya aturan jam malam di Jember, aturan “wajib berjilbab” di Aceh diklaim sebagai pola formalisasi syariah Islam yang merugikan perempuan.
Aspirasi Perempuan Terhadap Syariah Islam
Formalisasi syariah Islam adalah pelaksanaan syariah secara kâffah. Ini hanya bisa ditegakkan oleh negara yang memiliki kekuasaan otonom untuk menetapkannya sebagai konstitusi dan perundang-undangan. Islam memiliki metode yang khas tentang sistem ketatanegaraan, yakni sistem Khilafah. Namun demikian, semangat yang melatarbelakangi lahirnya Perda bernuansa syariah tersebut patut diapresiasi dan penentangnya perlu diwaspadai. Hakikatnya, bukan sekadar Perda yang mereka tentang, namun formalisasi syariah Islam secara sempurna juga mereka halangi.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci (QS ash-Shaff [61]: 08).
Penting untuk disadari, bahwa argumen penolakan penerapan syariah di atas justru tidak merepresentasikan aspirasi perempuan Muslimah. Apakah sudah dilakukan survey yang representatif dan jujur untuk mengetahui bagaimana sejatinya aspirasi perempuan terhadap syariah Islam? Benarkah perempuan Muslimah merasa terkekang dengan berbagai aturan yang sejalan dengan aturan agamanya?
Lembaga Survey Internasional justru menunjukkan temuan menarik. Perempuan Muslimah di berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia, justru menyatakan bangga dengan ‘keterikatan terhadap nilai-nilai moral dan spiritual (agama)’ sebagai aspek terbaik yang ingin mereka pertahankan dalam masyarakat. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh The Gallup Organization, dan dilaporkan dalam artikel di New York Times—Muslim Women Don’t See Themselves as Oppressed, Survey Finds—menunjukkan dengan jelas bagaimana sesungguhnya aspirasi dan perasaan perempuan Muslimah. Keprihatinan mereka yang utama adalah kurangnya persatuan kaum Muslim, kekerasan ekstremisme dan korupnya sistem politik dan ekonomi. Mereka tidak menunjukkan keberatan terhadap aturan berpakaian dalam Islam yang menutup seluruh tubuh mereka.
Lihatlah juga bagaimana reaksi masyarakat Barat terhadap pemberitaan Konferensi Khilafah Internasional di Indonesia Agustus 2007. Selama ini media Barat selalu memberitakan hubungan negatif antara syariah Islam dan perempuan. Seolah perempuan Muslimah tidak menginginkan penerapan syariah Islam karena hanya akan mengekang kebebasan dan menghilangkan hak-hak mereka di ranah publik. Besarnya jumlah perempuan yang hadir dalam konferensi akbar pengokohan komitmen untuk menerapkan syariah Islam itu mampu membuka cakrawala baru bagi perempuan Barat. Perempuan di berbagai penjuru dunia menganggap media Barat telah melakukan misleading opini tentang perempuan dan Islam. Bahkan salah satu barometer media internasional, BBC TV perlu beberapa kali mewawancara perwakilan Muslimah Hizbut Tahrir setempat untuk mendiskusikan fenomena tersebut.
Fakta lain, deklarasi penegakan syariah Islam di Cianjur pada tanggal 1 Muharram 1422 H ditandatangani oleh 35 ormas Islam. Di dalamnya ada BKSWI (Badan Kerja Sama Organisasi Wanita Islam) yang melibatkan ormas perempuan Islam seperti Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, Persistri; juga sosialisasi kebijakan Gerbang Marhamah Cianjur yang melibatkan Ibu-ibu anggota GOW (Gabungan Organisasi Wanita), untuk mengkampanyekan ‘busana Muslim dalam berbagai kesempatan’. Semua itu menggambarkan antusiasme serupa: keinginan perempuan untuk diatur oleh Islam dan semangat mereka untuk mendukung penerapan syariah Islam.
Tiga Agenda Perjuangan Muslimah
Perempuan Muslimah harus menyadari bahwa program-program mereka dalam menata diri, keluarga dan organisasinya bisa menjadi katalis yang mempercepat kesiapan umat untuk menerapkan syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian utama perjuangan Muslimah. Pertama: Pembinaan/pengkaderan, baik dilakukan secara intensif (murakazah) ataupun bersifat umum (jamâ’i). Pembinaan intensif akan menghasilkan kader-kader Muslimah yang berkepribadian islami. Mereka akan menjadi teladan umat dalam merepresentasikan Islam; membina diri dan keluarga mereka untuk memahami, mencintai dan melaksanakan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Adapun pembinaan umum akan mewujudkan pemahaman umat di seputar ideologi Islam, baik meyangkut konsep maupun metode implementasinya.
Kedua: Pencerdasan politik. Kaum Muslimah perlu memilki bekal cukup untuk menerjuni medan kehidupan yang sudah didominasi pandangan kapitalis-liberalis. Muslimah perlu menguasai pisau analisis Islam dalam menghadapi setiap persoalan. Dengan itu Muslimah menyadari bahwa persoalan yang tengah dihadapi perempuan seperti kemiskinan, kebodohan, tindak kekerasan, eksploitasi, trafficking—yang juga dialami oleh laki-laki—adalah karena tidak diterapkannya aturan Allah Al-Mudabbir dalam kehidupan.
Perlu juga menyadari bahwa kaum liberal aktif mengkampanyekan pisau analisis gender untuk menjauhkan umat dari syariah Islam. Melalui jalur kultural dan struktural, pejuang gender sudah berhasil mengoyak bangunan keluarga Muslim yang masih mempertahankan Islam. Tentu, kaum Muslimah harus bisa membongkar tipudaya mereka dan melindungi Muslimah lain agar tidak terbelokkan ke perjuangan yang absurd dan sia-sia ala gender.
Last but not least, meski jumlah umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia, mereka tak memiliki suara menggelegar. Di lain pihak, suara kaum liberal yang minoritas ternyata didukung kaum elit (para pemimpin media massa, para pemimpin perguruan tinggi, para tokoh publik) sehingga mereka mudah menyuarakan pandangan mereka melalui pengeras suara.
Karena itu, rapatkan barisan Muslimah, kokohkan komitmen perjuangan dengan selalu melakukan konsolidasi agar kekuatan dan suara Muslimah semakin kuat menggemakan tuntutan penerapan syariah Islam.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Iffah Rohmah, Anggota Pimpinan Muslimah DPP HTI.]