Salah satu negeri Islam di Afrika yang sering dilanda konflik adalah Nigeria. Konflik di negeri itu tidak lepas campur tangan negara-negara imperialis, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Nigeria merupakan salah satu negara Afrika yang kaya. Seolah sudah menjadi ‘adegium politik internasional’, “Di mana ada konflik, di situ ada negara imperialis (AS dan Inggris); di mana ada negara imperialis, di situ ada kekayaan alam.”
Terbukti, hampir sebagian besar negeri yang kaya, terutama dengan minyak, terjadi konflik seperti Irak, Sudan, Afganistan, termasuk Indonesia (seperti Papua dan Aceh). Ironisnya, meskipun kaya, negeri ini termasuk negeri dengan penduduk yang rata-rata melarat dan dengan utang luar negeri terbesar di Afrika.
Berikutnya kami kutipkan beberapa informasi penting dari Soal-Jawab yang dikeluarkan Maktab al-I’lami Hizbut Tahrir.
Negeri Islam yang Kaya
Kekayaan minyak di Nigeria telah membuat negara-negara besar, khususnya AS dan Inggris, berada dalam pertarungan yang sengit. Nigeria menduduki peringkat ke-12 di antara negara-negara penghasil minyak di dunia, peringkat ke-8 negara pengekspor minyak dan peringkat ke-10 dari sisi cadangan minyaknya. Badan Informasi Energi Amerika memperkirakan besarnya cadangan minyak Nigeria antara 16-sampai 22 miliar barel. Perkiraan lain, cadangan minyak Nigeria mencapai 35,3 miliar barel.
Nigeria yang tergabung dalam OPEC ini mampu memproduksi minyak hingga tiga juta barel perhari. Pemasukan dari minyak menyumbang 40%-80% pendapatan pemerintah. Cadangan minyak terfokus di daerah Delta Niger yang membentang pada kawasan 20.000 kilometer persegi. Nigeria juga memiliki cadangan gas mencapai tiga kali lipat dari cadangan minyaknya. Perkiraan terakhir cadangan gas Nigeria mencapai 4 triliun meter kubik.
Era Penjajahan Inggris
Sejak Inggris menemukan minyak di Nigeria pada tahun 1950, perusahaan minyak Royal Dutch Shell milik Inggris mendominasi Nigeria baik secara politik, ekonomi maupun luar negeri. Sejak Nigeria merdeka dari Inggris, pemerintahan Nigeria yang silih berganti bekerja keras untuk membuat perundang-undangan dan berbagai kebijakan yang memberikan fasilitas kepada Shell untuk mewujudkan kepentingannya. Perebutkan minyak Nigeria disebabkan karena minyak Nigeria termasuk jenis Light, yaitu bersih dari belerang dan penyulingannya membutuhkan biaya yang rendah.
Kepentingan-kepentingan masyarakat dikorbankan. Misalnya, di propinsi-propinsi Delta, rakyatnya hidup miskin meski daerah itu memiliki banyak sekali kekayaan yang tersimpan di bawah airnya. FAO memperkirakan 70% penduduk Delta, yang mencapai 6 juta jiwa, hidup dengan kurang dari satu dolar perhari.
Masuknya Pengaruh Amerika
Hanya saja, masuknya Amerika di sektor minyak, khususnya setelah tahun 1999, yaitu pada masa Obasanjo, telah membatasi penguasaan perusahaan Inggris. Amerika menggunakan dua cara dalam membatasi ambisi Inggris untuk menguasai sendiri minyak Nigeria. Pertama: melalui IMF, Amerika mendukung pemberontak dan partai-partai oposisi di Delta Niger dengan memberi mereka utang dan persenjataan yang disebut dengan ’program-program regulasi dan struktural’. Hal itu mempersulit Shell untuk mengekspor minyak Nigeria. Sebaliknya, perusahaan Amerika seperti Exon-Mobil dan Chevron meningkatkan investasi perminyakannya di Nigeria. Exon-Mobil melampui produksi Chevron.
Persaingan Amerika dengan Inggris terhadap minyak Nigeria itu telah menciptakan kehidupan yang buruk bagi penduduk Delta. Melalui perusahaan-perusahaan keamanan swasta yang disewa masing-masing perusahaan, Amerika dan Inggris melakukan serangan-serangan terhadap instalasi-instalasi minyak pihak lain.
Perusahaan-perusahaan minyak Amerika juga memanfaatkan orang-orang yang duduk selama dua periode dalam pemerintahan Bush Yunior seperti Dick Cheney, Rice, dan Rumsfeld untuk mengadopsi politik yang lebih keras dibandingkan dengan era Clinton. Dokumen utama Departemen Energi Amerika di era Bush menegaskan “bahwa minyak barat Afrika dinilai sebagai sumber yang aman bagi minyak yang diekspor ke Amerika”.
Artinya, pandangan Amerika beralih ke Afrika Barat, lebih tepatnya Nigeria. Ekspor minyak Nigeria kemudian meningkat pesat khususnya ke Amerika. Pada Maret tahun 2007, Nigeria berhasil menyalip Arab Saudi dalam mengekspor minyak ke Amerika. Energi minyak Nigeria termasuk menjadi prioritas politik luar negeri Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika untuk Afrika Barat, Jendayi Frazer, menyerukan peningkatan eksistensi Amerika di Teluk Guinea.
Kedua: Amerika pada masa Clinton dan Bush mengintensifkan intervensinya di Afrika sekaligus menekan Nigeria serta mempengaruhi opini umum di Nigeria dan negara-negara Afrika yang lain untuk menentang pemerintahan militer dan memaksanya untuk menggelar Pemilu yang plural. Ini merupakan cara Amerika yang efektif dalam menyaingi pengaruh Inggris dan Prancis di Afrika.
Demikianlah, Amerika menempatkan posisinya ke sisi kepemimpinan sipil. Amerika mendukung dengan kuat calon-calon dari sipil. AS juga mendukung ide Pemilu plural. Dengan Pemilu plural itu akan muncul pemerintah yang menjadi pengikut Amerika atau yang bekerjasama dengan Amerika.
Amerika mendukung Obasanjo dan dengan kuat menentang militer yang loyal kepada Inggris, khususnya Babangida dan Abacha (keduanya menjaga kepentingan-kepentingan Inggris). Babangida telah membuat MoU dengan perusahaan Shell, dan menjaga kepentingan-kepentingan Inggris dalam menentang kepentingan-kepentingan AS pada masa Abacha.
Pada tahun 1999, Amerika berhasil menyelenggerakan Pemilu plural di Nigeria. Pada Pemilu itu, Obasanjo meraih kemenangan. Amerika pun mendukungnya dengan kuat. Pada masanya, Nigeria termasuk negara yang menerima bantuan paling besar dari Amerika. Nigeria menerima bantuan sebesar US $40 juta pertahun, padahal sebelumnya selama masa pemerintahan militer, Nigeria hanya menerima US $10 juta saja. Sebagai imbalannya, Obasanjo memberikan pengabdian luar biasa yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh seorang pun di antara para presiden Nigeria.
Begitulah, dengan dua cara itu, Amerika mampu menyaingi perusahaan-perusahaan minyak Inggris, dan hampir-hampir bisa menyalip perusahaan-perusahaan minyak Inggris itu.
Amerika berhasil menghentikan masa militerisme dengan naiknya Obasanjo ke tampuk pemerintahan pada tahun 1999. Dengan itu pengaruhnya menjadi dominan baik secara politik maupun militer. Disamping adanya latihan rutin angkatan laut Amerika dengan angkatan laut Nigeria, Obasanjo juga menandatangani kesepakatan dengan Amerika atas pelatihan militer Nigeria.
Kunjungan Obasanjo ke Amerika pada April 2001 merupakan pondasi kerjasama Amerika-Nigeria untuk pertama kalinya. Ia mengabaikan semua kritik keras di dalam negeri terhadap kebijakan-kebijakannya, khususnya yang memberi kemungkinan bagi kekuatan Amerika untuk masuk ke perairan Nigeria. Obasanjo melakukan hubungan intim dengan orang-orang Amerika dan ia menjadi anggota di beberapa yayasan Amerika. Pada masa kepemimpinannya, RAPBN Nigeria dikirim ke Washington lebih dulu untuk diperiksa sebelum disahkan guna mendapatkan persetujuan dari Bank Dunia.
Ringkasnya, Obasanjo mampu melemahkan pengaruh Inggris di dalam institusi militer Nigeria. Pada awal pemerintahannya, ia memecat sekitar dua ratus orang militer. Femy Filana, seorang pengacara HAM, di Televisi Al-Jazeera dengan As’ad Thaha pada 30 Februari 2002 mengatakan, “Sungguh Nigeria menjadi daerah jajahan Amerika,” yaitu pada masa Obasanjo.
Era Presiden Umaru Mosa
Setelah pemerintahan Obasanjo berakhir yang berlangsung selama delapan tahun hingga 2007, yang menggantikannya setelah Pemilu terakhir adalah presiden sekarang, Umaru Mosa Yar’Adua. Ia adalah presiden sipil yang juga didukung oleh Amerika Serikat.
Namun, ia tidak memiliki kekuatan personal. Posisinya terhadap Amerika tidak sekuat pada masa Obasanjo. Sebaliknya, pengaruh orang-orang Inggris menjadi lebih kuat. Dia berupaya mendekat kepada Inggris dan antek-anteknya. Pada saat yang sama, ia berjalan di atas garis yang sama dengan pendahulunya di sisi Amerika.
Tidak lama setelah menerima tampuk pemerintahannya, ia berkunjung ke Amerika Serikat pada pertengahan Desember 2007 dan bertemu dengan Bush. Hanya saja, pada Juli 2008 ia juga berkunjung ke Inggris dan bertemu dengan Brown. Sebelumnya, ia telah berkunjung ke Libiya.
Atas dasar itu, pertarungan politik di Nigeria tidak kembali seperti pada masa pemerintahan militerisme, yaitu sampai masa Abacha saat pengaruh yang paling kuat dimiliki oleh Inggris. Juga tidak lagi seperti pada masa Obasanjo pada masa pemerintahan pertama dan keduanya, saat bandul lebih berat untuk kepentingan Amerika. Akan tetapi, saat ini Nigeria menjadi daerah yang panas bergolak bagi pertarungan itu: Di satu sisi, Presiden didukung oleh Amerika dengan konsepsi-konsepsi demokrasi dan pemerintahan sipil. Dalam hal ini, Amerika memiliki bandul yang lebih berat pada kekuasaan politik. Akan tetapi, Presiden bukan pribadi yang kuat. Di sisi lain, ada orang-orang Inggris di tubuh militer, yang bandulnya lebih berat secara militer, yang menjadi milik Inggris.
Pampasan dalam pertarungan ini yang utama adalah minyak, di samping posisi penting Nigeria di Barat Afrika. Selama Amerika tidak memberi dukungan tambahan kepada presiden sekarang, maka orang-orang Inggris khususnya militer, akan kembali ke tampuk kekuasaan seperti dulu. [FW]
menurut gwe sih mau america ato inggris ama aj sih, tetap aj terjajah, kekayaan alam nigeria tidak dinikmati secara maksimal oleh rakyatnya, sama kayak di negara kita…..