Akhirnya, ada tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung memperebut-kan kursi RI-1 dan RI-2 pada 8 Juli mendatang. JK-Wiranto, Megawati-Prabowo, dan SBY-Boediono, secara resmi telah mendaftar sebagai capres dan cawapres. Pasangan tersebut tentu saja diusung oleh tiga besar pemenang Pemilu 9 April lalu yang didukung oleh parpol koalisinya masing-masing. Koalisi tersebut tentu saja tidak begitu saja terbentuk, tetapi setelah melalui berbagai manuver politik yang suhunya sangat tinggi pasca 9 April lalu. Peta politik terus berubah setiap hari sebelum akhirnya mengkristal.
Pastinya, seperti yang dinilai oleh banyak pengamat, para elit politik parpol peserta Pemilu terjangkiti wabah pragmatisme sehingga menanggalkan idealisme demi mendapatkan seiris kue kekuasaan pada pemerintahan mendatang. Parpol yang kalah berebut berkoalisi dengan salah satu dari tiga besar pemenang Pemilu itu. Hal itu dilakukan tentu saja untuk memperebutkan kursi calon wakil presiden dan menteri. Dengan begitu, mereka yang kalah ini masih bisa berada di parlemen dan pemerintahan sehingga dapat memberikan gizi kepada partainya selama lima tahun ke depan.
Pragmatisme dalam membangun koalisi ini, menurut Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, antara lain diakibatkan oleh banyaknya partai dan tiadanya pihak yang dapat memenangi Pemilu secara mutlak. Peneliti dari The Indonesia Institute, Cecep Effendi, juga mempertanyakan manfaat koalisi model itu, terutama kejelasan program yang betul-betul dibuat untuk kepentingan rakyat.
Lebih lanjut Cecep menyebutkan, harus dilihat apakah program yang ditawarkan sebuah parpol menjelang Pemilu Legislatif lalu masih bisa tercermin dalam koalisi atau tidak. Pasalnya, setiap parpol dalam kampanye Pemilu legislatif lalu terlanjur menawarkan program yang bisa jadi berseberangan dengan calon mitra koalisinya. Bisa jadi ada visi-misi penting dari sebuah parpol yang akhirnya tidak tersepakati saat berkoalisi. “Misalnya, ada partai yang mengatakan akan membuat pendidikan gratis dan ketika masuk dalam koalisi ternyata tidak masuk dalam program mereka,” kata Cecep.
Terjebak Pragmatisme
Sayangnya, parpol Islam atau berbasis massa Islam turut terjebak dalam kubangan pragmatisme tersebut. Akibatnya, tidak bisa dibedakan lagi mana parpol sekuler, parpol sekuler berbasis masa Islam dan parpol berasas Islam. Di antaranya bisa dilihat dari sepak terjang Amien Rais, pendiri parpol sekuler berbasis massa Islam, PAN. Amien dikenal sebagai orang yang selalu berseberangan dengan kebijakan SBY. Bahkan sesepuh PAN ini pernah menyebutkan bahwa SBY itu seperti orang yang disuruh mengambilkan sepatu; ia bukan hanya akan mengambilkan bahkan akan sekaligus menyemirnya. Begitulah gambaran yang ia berikan ketika menyebutkan kaitan SBY dengan Amerika.
Hal itu pun dipertegas oleh Amien ketika mendapatkan kesempatan untuk kembali mengomentari SBY pada acara Forum PPP Mendengar 22 Desember 2008 lalu di Jakarta. Saat itu ia menyatakan bersedia dicalonkan menjadi presiden oleh PPP. Pasalnya pimpinan nasional yang ada sekarang ini pada dasarnya hanya menawarkan keberlanjutan dan pengawetan keadaan. Negara kita patuh, taat penuh khidmat pada Konsensus Washington, pada tuan-tuan IMF, WB, dan WTO. Indonesia tetap menjadi subordinat kepentingan Kapitalisme Barat. Kita akan tetap menjadi economic backyard alias halaman belakang tempat melempar kotoran dari ekonomi neoliberal Barat. Tidak lebih tidak kurang, simpulnya.
Amien pun menjelaskan lebih lanjut; lihatlah seluruh kebijakan Indonesia di bidang keuangan, perbankan, pertambangan, perdagangan, perkebunan, pelayaran dan pertelekomuni-kasian, yang semuanya ditopang dengan perundang-undangan dan keputusan presiden/pemerintah. Sayang, semua itu menelikung kepentingan bangsa sendiri demi keuntungan sebesar-besarnya korporasi asing. Kepentingan rakyat dihancurkan supaya dapat lebih meladeni kepentingan korporasi asing. “Bangsa Indonesia dirugikan ribuan triliun rupiah lewat kebijakan-kebijakan super koruptif pemerintah,” bebernya.
Namun, ketika diketahui perolehan suara parpolnya sangat kecil, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais turun gunung menggelar pertemuan di Yogyakarta dengan para pengurus wilayah, tanpa menghadirkan DPP PAN. Kesepakatan Yogyakarta menyeru agar PAN merapat ke SBY. Sikap itu tadinya bertentangan dengan DPP PAN yang masih menjajaki kemungkinan koalisi dengan bukan SBY. PAN pun berada di ambang perpecahan. Namun akhirnya, Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir mengalah. Sebab, sesuai dengan yang diamanatkan oleh orangtuanya, pengusaha batik sukses ini harus menuruti kemauan Amien Rais, yang notabene adalah Bapak Reformasi dan pendiri PAN.
Pada Rabu (29/4) malam TVOne mempertanyakan apakah Amien Rais sekarang sudah pragmatis? Tanpa malu-malu Amien pun menjawab, “Saya juga kalah oleh kenyataan bahwa orang tidak lagi berbicara masalah Kapitalisme atau Sosialisme. Itu sudah kuno. Itu tiba-tiba menjadi kurang relevan. Ini dilihat oleh jutaan pemirsa. Berkali-kali saya sudah katakan, Pak Yudhoyono, Ibu Megawati, Pak Yusuf Kalla, mazhab ekonominya itu kurang lebih sama. Kita tinggal memilih, kira-kira yang bisa berubah lebih bagus yang mana? Kemudian yang kedua, kira-kira siapa yang akan menang. Menurut saya kira-kira Pak SBY itu mempunyai peluang menang.”
Peluang menangnya SBY menjadi presiden kembali itulah sebetulnya yang menjadi magnet bukan hanya bagi PAN dan parpol sekular lainnya saja, tetapi juga bagi sejumlah parpol Islam, termasuk parpol Islam yang perolehan suaranya paling besar di antara parpol Islam lainnya, yakni PKS.
Sekjen PKS Anis Matta mengancam PKS akan keluar dari koalisi jika SBY menerima kembali JK. Pasalnya, sebelumnya ada desakan yang kuat di tubuh Golkar untuk mencalonkan capres sendiri karena merasa akan menang dalam pencontrengan April lalu. Ternyata suara Golkar jeblok jauh di bawah Demokrat. Golkar pun berniat rujuk kembali dengan Demokrat.
Itu ancaman aneh karena koalisi 2009-2014 saja belum terbentuk. Selain itu, berapa kursi yang diraih PKS sehingga berani-beraninya mengeluarkan ancaman? Karena itu, ancaman itu segera diralat oleh Wakil Ketua Fraksi PKS Zulkieflimansyah.
Pastinya ucapan Anis Matta itu tidak akan diralat bila saat itu PKS mengetahui Golkar benar-benar ditalak tiga oleh Demokrat. Menurut pengamat politik Universitas Muhammadiyah Solo Aidul Fitriaciada, ralat itu dilakukan karena sebenarnya PKS merasa terancam bila ditinggalkan oleh koalisi SBY. “Kalau PKS keluar dari koalisi SBY, maka PKS bisa terkucilkan. Karena dia tidak bisa masuk ke koalisi Mega,” tandasnya kepada Inilah.com (15/4) di Jakarta.
“PKS tidak mau menjadi partai yang terkucilkan dan dimusuhi oleh kubu SBY dan kubu Mega,” ujarnya.
Memang tadinya kekuatan politik terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu SBY dan Mega. Golkar lalu berulah, sebelum akhirnya ‘mengawinkan’ JK dengan Wiranto sempat terbelah menjadi beberapa faksi. Ada yang menghendaki agar Golkar tetap mengajukan calon presiden sendiri. Ada yang ingin Golkar merapat ke Demokrat dengan menjadikan JK sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY. Ada juga yang ingin Golkar berkoalisi dengan PDIP. Bahkan berkembang pula faksi yang tidak menginginkan JK.
PPP pun setali tiga uang. Para elit partai berlambang Kabah itu terpolarisasi dalam dua kubu besar. Ada faksi Ketua Umum Suryadharma Ali dan faksi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Bachtiar Chamsyah. Kubu Bachtiar ingin PPP merapat ke Demokrat, sedangkan kubu Suryadharma ingin ke PDIP atau Gerindra. Pertempuran kedua kubu itu mengancam keutuhan partai. Bahkan sempat mencuat suara-suara agar partai menggelar muktamar luar biasa untuk menggusur Suryadharma.
Adapun PBB tidak dapat berbuat banyak menyadari suara yang diperolehnya sangat jeblok. Namun sayang, PBB yang diklaim sebagai parpol yang paling kencang menyerukan penegakkan syariah Islam ini malah sejak awal merapat ke SBY, bukannya berdiri tegak di luar parlemen dan pemerintahan untuk mengoreksi penguasa yang zalim. “Meski masih bersifat sementara, hasil hitung cepat sudah menyebutkan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009. PBB sebagai parpol harus melihat hal itu dengan menentukan langkah selanjutnya. Kami memutuskan untuk kembali meneruskan koalisi yang sudah terbangun selama ini,” tandas Ketua Umum PBB MS Kaban Ahad (12/4) lalu di Jakarta.
Mengokohkan Kekufuran
Merapatnya kembali parpol Islam dan parpol sekular ke Demokrat atau dua parpol tiga besar lainnya lebih menunjukkan bentuk bagi-bagi kue kekuasaan ketimbang memperhatikan kepentingan rakyat. Bukankah pemerintahan 2004-2009 merupakan hasil koalisi di antara mereka, minus parpol baru tentunya. Pemerintahan yang menurut Amien Rais sebagai economic backyard Kapitalisme barat itu telah menghasilkan berbagai UU dan kebijakan yang pro neoliberalis dan menyengsarakan rakyat.
Di antaranya adalah tetap menumpuk utang luar negeri; menaikan harga BBM lebih dari 100 persen; menyerahkan blok Cepu kepada Exxon Mobile; tidak segera mengambil alih Blok Natuna D Alpha; membiarkan kontrak karya dan bagi hasil dengan sejumlah perusahaan asing; tunduk pada kekuatan asing. DPR pun demikian. Selama periode tersebut DPR banyak menghasilkan UU yang justru sangat merugikan rakyat seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU BHP, UU KDRT dan lainnya. Semua itu jelas sangat merugikan rakyat.
Selain itu banyak persoalan besar yang justru kurang diperhatikan oleh pemerintah dan DPR. Di antaranya adalah angka kemiskinan yang terus meningkat, merajalelanya korupsi, pergaulan bebas dan narkoba, aliran sesat Ahmadiyah yang tidak juga kunjung dilarang, dll.
Apakah Tokoh Reformasi itu akan mengarahkan PAN untuk menyadarkan Demokrat untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam? Sangat diragukan. Pasalnya, sebenarnya ia telah merasa kalah dan tidak percaya diri untuk mengusung Islam. Salah satu indikasinya adalah ketika penulis bertanya apakah ia akan memperjuangkan tegaknya syariah Islam untuk menggantikan sistem yang bobrok ini. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu, menolak secara halus. “Saya pada saat ini lebih berpikir pada substansi dibandingkan pada formalitas. Bila di Indonesia ini mengibarkan pentingnya negara syariah maka belum apa-apa sudah memancing masyarakat lain memasang kuda-kuda. Begitu ada partai yang akan memperjuangkan negara syariah maka TNI dan Polri, kaum nasionalis, kaum minoritas akan segera melakukan perlawanan, “ tandasnya usai acara Forum PPP Mendengar 12 Desember 2009 lalu.
Jadi, tidak aneh, parpol yang didirikannya itu tidak berasaskan Islam.
Alasan Amien Rais ini jelas tidak syar’i karena di dalam Islam tidak ada istilah substansi atau formalitas. Yang ada hanyalah perintah Allah atau larangan Allah. Menerapkan syariah Islam secara total adalah perintah Allah. Sebaliknya, menerapkan hukum buatan manusia adalah larangan Allah SWT. Walaupun hukum bukan dari Islamnya itu hanya satu hukum saja, tetap dilarang keras oleh Allah SWT. Bahkan Allah mencapnya sebagai orang yang kafir (QS al-Maidah ayat 44), zalim (QS al-Maidah ayat 45), dan fasik (QS al-Maidah ayat 47).
Begitulah, Pemilu Legislatif 2009 gagal melahirkan kultur politik baru, yakni yang kalah tetap mempertahankan idealismenya, berdiri tegak di luar parlemen dan pemerintahan; tetap bersuara lantang menentang kezaliman penguasa seraya membina masyarakat agar sadar dan hanya ingin dipimpin dan diatur oleh pemimpin dan sistem yang islami. Sayang, opsi tersebut tidak populer. Yang kalah malah tidak tahu diri, tetap tergiur untuk turut berkuasa meskipun hanya mendapatkan secuil kue kekuasaan. Itu semata-mata karena partai telah dijajah pragmatisme, dikendalikan ketamakan berkuasa. Akibatnya, rakyat dikorbankan, bahkan idealisme perjuangan juga. [Joko Prasetyo]
RALAT: Diakhir paragraf ke-4 dari bawah tertulis …12 Desember 2009 lalu. Seharusnya …22 Desember 2008 lalu.
Bagaimana lagi,kita tak punya pigur yang meyakinkan,kita hanya
punya rakyat dan pemimpin yang tak berani tepuk dada menonjolkan identitas ke Islamannya, dari pada tak punya pilihan sama sekali ( kenyataannya begitu ) yang bisa dilakukan hanyalah memilih yang agak baik dari yang buruk,Nauzubillah.