Pengantar
Setelah melihat hasil Pemilu Legislatif 2009, partai-partai pun ramai-ramai membuat koalisi, termasuk partai-partai Islam atau yang berbasis massa Islam. Koalisi itu dilakukan untuk mengajukan pasangan capres-cawapres dan koalisi di perlemen.
Bagaimana sebetulnya partai Islam beraktivitas dalam konteks saat ini? Untuk membahas hal itu, Redaksi mewawancarai Kyai Ahmad Fadloli, dari DPD II HTI Solo Raya. Kyai muda jebolan Ponpes Lasem Rembang Jateng ini sekarang menjadi Mudir Ponpes Nahdlotulmuslimat (NDM) Surakarta. Beliau juga menjadi pengajar madah tafsir di Ponpes Jamsaren Surakarta dan pengasuh Pengajian Rutin Pagi Tafsir Jalalain di Langgar Winongan Kauman Surakarta. Berikut petikannya.
Apa komentar Kyai tentang partai-partai Islam yang merapat untuk berkoalisi dengan partai nasionalis-sekular?
Yang jelas, partai Islam tersebut akan kehilangan kejernihan pemikiran Islam yang diperjuangkannya untuk disesuaikan dengan platform dari partai sekular sehingga visi perjuangannya menjadi kabur. Apalagi jika suara dari partai sekularnya lebih dominan; partai Islam tersebut hanya akan menjadi pelengkap penderita. Padahal semestinya partai Islam dibentuk untuk menyerukan Islam dan amar makruf nahi mungkar, bukan malah mengaburkan Islam sebagai akibat dari meleburkan diri dalam bingkai koalisi dengan partai yang ideologinya berbeda. Artinya, condong pada kezaliman jika partai Islam berkoalisi dengan partai yang memperjuangkan nilai-nilai sekular. Jika koalisi yang dibangunnya dapat mencapai kekuasaan maka keberadaannya secara politis justu akan dijadikan pembenaran atau justifikasi terhadap sistem sekular.
Ditinjau dari sisi fikih, apakah koalisi semacam itu boleh?
Tidak boleh.
Mengapa? Bukankah Islam mendorong kita untuk melakukan ta’âwun atau saling tolong-menolong?
Itu semua tidak bisa dijadikan argumen bolehnya koalisi antara partai Islam dengan partai sekular. Jika yang dipakai dasar koalisi adalah saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh al-Quran maka secara faktual yang dimaksudkan itu tidak terwujud dalam koalisi yang dibangun antara partai Islam dan partai sekular. Bahkan yang terjadi dalam koalisi tersebut adalah hal yang sebaliknya: partai Islam dituntut untuk menampakkan kerelaan, loyalitas atau wala’-nya pada nilai-nilai sekularisme demi menjaga keharmonisan hubungan dengan partai sekular yang merupakan sekutunya dalam koalisi.
Bukankah Nabi Muhammad saw. terlibat dalam Perjanjian Hudaibiyah?
Beralasan dengan Perjanjian Hudaibiyah dalam melakukan koalisi adalah salah, terlalu dipaksakan. Sebab, koalisi itu adalah penggabungan meskipun tidak total. Dalam konteks sekarang, koalisi yang dibentuk salah satu target utamanya adalah untuk memenangkan pasangan capres dan cawapres tertentu agar partai Islam yang suaranya kalah besar mendapat bagian kue kekuasaan. Sebaliknya, Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian Nabi Muhammad saw. selaku pemimpin negara Daulah Islam dengan pemimpin kafir Quraisy, bukan dalam rangka koalisi. Jadi, menyamakan koalisi dengan Perjanjian Hudaibiyah adalah qiyâs fâsid (analogi yang rusak) atau minimal qiyâs ma’a al-fâriq (analogi yang jauh berbeda).
Bukankah Nabi saw. juga pernah menjadikan orang kafir sebagai penunjuk jalan beliau ketika berhijrah?
Ini juga alasan yang keliru. Yang dilakukan Nabi saw. adalah mempekerjakan orang kafir sebagai penunjuk jalan. Jadi, itu adalah ijârah (akad jasa) dan termasuk perkara muamalah yang mubah, bukan koalisi. Begitu pula kasus-kasus di dalam Sirah Nabawiyah yang lain, yang menunjukkan bahwa ada interaksi Nabi saw. dengan pihak-pihak yang masih di dalam kekafirannya. Semua itu tidak dapat dijadikan dalil tentang bolehnya berkoalisi atau ber-tahalluf dengan kelompok yang tidak berhaluan Islam.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh partai-partai itu?
Partai-partai itu hendaknya menyerukan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar secara lugas. Hendaknya mereka senantiasa menegakkan kebenaran, zhâhirîna ’ala al-haq, tidak takut celaan orang-orang yang mencela.
Konkretnya?
Sebagai partai Islam mestinya mereka membukakan mata dan pikiran umat, bahwa Islam merupakan sebuah sistem kehidupan yang mencakup Sistem Pendidikan, Sistem Ekonomi, Sistem Peradilan, Sistem Pemerintahan, Sistem Sanksi dan sebagainya. Selanjutnya sistem Islam itu diproyeksikan pada sistem yang diterapkan sekarang. Mereka harus menjelaskan kebobrokan praktik-praktik ekonomi yang diterapkan rezim penguasa dengan neo-liberalismenya. Mereka juga harus mampu membongkar konspirasi di balik utak-atik hukum dalam bidang ahwâl asy-syakhshiyah, yaitu untuk menghancurkan bangunan keluarga Muslim. Mereka juga harus membongkar berbagai bentuk konspirasi yang lain. Yang tidak kalah pentingnya, mereka harus siap secara konsepsi akan sebuah sistem alternatif pengganti sistem rusak yang sekarang eksis. Bukan malah sebaliknya, justru partai-partai itu menjadi bemper dan garda terdepan penjaga sistem kapitalis sekular.
Bisa dijelaskan lebih lanjut tentang Islam sebagai sistem kehidupan?
Ya. Islam adalah sebuah sistem yang unik dalam seluruh aspek kehidupannya, sosial, politik, pemerintahan, ekonominya adalah unik. Dalam pemerintahan, misalnya, para ulama menjelaskan tentang kewajiban menegakkan Imamah. Akad Imamah ditujukan untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengan Islam, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Mawardi. Beliau mengatakan, “Al-Imâmah mawdhû’ah lî Khilâfat an-Nubuwwah fî hirâsah ad-dîn wa siyâsat ad-dunyâ. Jadi, tugas utama Imam adalah menjaga dîn (agama Islam) dan mengatur dunia. Sistem Imamah tersebut disebut juga dengan istilah Khilafah sebagaimana yang dijelaskan para fukaha yang lain. Khalifah dan seluruh jajarannya tidak boleh menyimpang dari Islam dan tidak boleh mundur sedikitpun dalam menjalankan Islam.
Sebaliknya, sistem kapitalis yang ada sekarang justru tegak di atas asas pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme. Sistem pemerintahannya memberikan hak tasyrî’ (penetapan hukum) kepada manusia; manusia berhak membuat undang-undang dan perundang-undangan sendiri; bisa sejalan dengan agama dan bisa juga tidak. Pemimpinnya, yaitu presidennya, terikat dengan sistem politik itu, tidak bisa lepas. Meskipun dia misalnya seorang Muslim yang secara personal mempunyai naz’ah dîniyyah (kecenderungan agama) yang baik, menjaga shalat lima waktu, puasa senin-kamis, umrah berkali-kali dan sebagainya. Namun, kedudukannya sebagai presiden mengharuskannya menjalankan sistem sekular.
Begitu juga jika kita menelurusi ke sistem ekonominya. Kita akan mendapati bahwa sistem ekonominya dibangun atas prinsip maysir (judi), gharar dan riba. Dalam bidang hukum, diberlakukan hukum warisan kolonial. Sistem peradilan dibuat dikotomis, ada peradilan sipil dan peradilan agama dalam ruang lingkup yang sangat terbatas. Pendek kata, sistem sekarang tidak terikat dengan Islam.
Bukankah yang penting pemimpinnya Islam?
Tidak. Kita tidak boleh melihat sebatas agama yang dianut oleh pemimpin-pemimpin itu. Kita harus melihat pula sistem yang dijalankannya. Sebagai contoh, misalnya pemerintahan kita pada awal Orde Reformasi, presidennya, ketua MPR-nya, ketua DPR-nya serta para pejabat penting yang lain adalah para pemimpin ormas-ormas Islam. Namun, sistem tidak sebatas para pemimpinnya. Sistem dilihat dari aturan dan hukum yang mengikat pola interaksi di tengah-tengah masyarakat yang dijaga negara. Meskipun pemimpinnya beragama Islam, jika mereka menjalankan hukum selain Islam, maka kondisi kita sebagaimana kondisi Ahlul Kitab pada zaman dulu yang menjadikan orang-orang alim dan para rahib/pendeta mereka sebagai tuhan selain Allah.
Kalau demikian, bagaimana memilih mereka?
Jika ingin memilih mereka maka harus ada jaminan bahwa mereka akan memberlakukan Islam secara totalitas dan menyeluruh, hanya mengambil hukum yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Nabinya dan mengumumkan garis perjuangannya untuk melawan dominasi kafir. Hal itu bisa terdeteksi sejak awal dari kampanye dan program mereka. Tentu saja mereka bisa jadi pemimpin seperti itu kalau memang negaranya berdasarkan sistem Islam dalam wujud Daulah Islam atau Daulah Khilafah.
Berarti para pemimpin itu harus menerapkan sistem Islam?
Itu memang tugas mereka, yaitu hirâsah ad-dîn wa siyâsah ad-dunyâ dan penerapan Islam akan menjamin hal itu. Agama, jiwa, pemikran, kehormatan dan harta akan terjaga dan terjamin dengan penerapan sistem Islam sehingga kemakmuran dan kebahagiaan akan terwujud. Jika tidak, kehidupan ini akan sempit serta penuh kezaliman sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini.
Oleh karena itu wajar, jika Allah mengancam mereka jika tidak berhukum dengan syariah-Nya. Minimal mereka terkategori sebagai orang yang zalim dan fasik, bahkan jika sampai mengingkari syariah-Nya maka bisa terkategori sebagai orang-orang kafir.
Jika rakyat membiarkan mereka membuat aturan dan hukum sendiri berarti mereka juga turut andil dalam kemungkaran. Karena itu, rakyat harus mengingkari para pemimpin yang seperti itu sebagaimana pengingkaran mereka jika harta benda yang disukainya dicuri atau dirampas orang.
Bisa dijelaskan lebih lanjut apa yang harus diperbuat oleh umat dalam konteks memilih pemimpin?
Mewujudkan kepemimpinan yang menerapkan Islam memang mengharuskan umat fokus pada perjuangan penerapan syariah dan menegakkan Khilafah. Mereka tidak diperkenankan berpaling dari aktivitas itu, apalagi bertindak pragmatis. Taruhannya adalah hidup-mati. Mereka harus memberikan dukungannya kepada pihak yang sungguh-sungguh berjuang untuk menerapkan Islam, yang komitmen pada Islam dan istiqamah di dalamnya. Itu adalah fardhu kifayah dalam arti sampai pada taraf adanya kecukupan sehingga terwujud kepemimpinan yang melaksanakan hukum dan ketentuan Allah. Jika tidak ada pihak yang seperti itu, yaitu tidak ada pihak yang sungguh-sungguh berjuang untuk penerapan Islam, komitmen dan istiqamah maka mereka harus mengadakannya sendiri di tengah-tengah mereka. []