Kesultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1755 M, tepatnya pada tanggal 13 Februari 1755 M atau bertepatan dengan Perjanjian Giyanti. Letak Kerajaan pun secara politis (pertahanan) sangat strategis, yaitu di antara Sungai Code (di sebelah timur) dan Winanga (di sebelah barat); secara lebih luas lagi di antara Sungai Opak di sebelah Timur dan Sungai Progo di sebelah Barat. Tugu menjadi batas utara dan Krapyak di sebelah Selatan, secara lebih luas lagi gunung Merapi di sebelah Utara dan laut atau Samudra di sebelah Selatannya.
Islam menjadi agama resmi Kerajaan. Hal ini bisa diketahui pada saat sumpah jabatan Mangkubumi. Dengan sebuah al-Quran di atas kepalanya ia bersumpah, bahwa Allah dan Nabi Muhammad saw. akan mengutuk dirinya dan keturunannya jika melanggar kesepakatan (Ricklefs, 2002: 115).
Selain itu Pangeran Mangkubumi memakai gelar dengan ciri keislaman, yaitu sultan. Kata sultan berasal dari bahasa Arab, yaitu sulthân. Kata ini memiliki pengertian yang sama dengan al-hukm dan al-mulk yang berarti kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan (Zallum, 2002: 3); juga disebut aktivitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syariah atas kaum Muslim. Aktivitas kepemimpinan ini merupakan kekuasaan yang dipergunakan untuk mencegah terjadinya tindak kezaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipertentangkan (Zallum, 2002: 3).
Selain itu juga masih ada frasa abdurrahman (dalam bahasa Jawa ngabdurrahman), sayidin dan khalifatullah. Kata khalifatullah mengambil dari kata khalifah yang mempunyai makna: orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan hukum-hukum syariah Islam.
Dalam pembangunannya, masjid merupakan bangunan fisik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat peribadatan umum umat Islam di ibukota Kerajaan. Di pusat Keraton ada Masjid Keputren dan Masjid Panepen.
Sultan juga membangun masjid lain sebagai pembatas wilayah ibukota Kerajaan, yaitu Masjid Pathok Negara. Sebagai batas di wilayah utara dibangun Masjid Ploso Kuning yang berada di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Di batas wilayah selatan dibangun Masjid Kauman Dongkelan yang berada di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Di wilayah timur ada Masjid Babadan yang berada di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Di sebelah barat ada Masjid Mlangi yang berada di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Fungsi Masjid Pathok Nagara tidak semata-mata untuk pembatas saja, namun untuk tempat ibadah, tempat belajar (mengaji), tempat upacara pernikahan maupun kematian dan juga menjadi pusat penyiaran agama Islam (selain masjid raya kerajaan). Ini seperti yang dijelaskan oleh salah satu pengageng Kraton, KRT Jatiningrat atau lebih dikenal dengan Rama Tirun Marwita. Masjid-masjid itu juga menjadi bagian dari masjid raya Kerajaan sehingga menjalankan fungsi ketakmiran bersama-sama dengan masjid besar dan masjid pathok negara lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan para imam/pengulu/ kyai pengulu masjid yang menjadi anggota al-Mahkamah al-Kabirah (Badan Peradilan Kasultanan Yogyakarta) dalam tingkat Peradilan Agama Islam. Imam Besar Masjid Raya menjadi ketua Mahkamah yang bergelar Kanjeng Kyai Pengulu.
Dalam sistem hukum dan peradilan Kerajaan, Sultan tetap memegang kekuasaan kehakiman tertingi. Ada 3 tempat pelaksanaan peradilan untuk memutuskannya, salah satunya di Masjid Pathok Nagara, yaitu: 1) pasowanan bale mangu; 2) pengadilan pradata (kantor); dan 3) pengadilan hukum sarambi.
Adapun badan peradilan yang dipakai:
1) Peradilan pradopo; merupakan pengadilan sipil yang menangani kasus pidana maupun perdata.
2) Pengadilan bale dalem atau mangu; merupakan pengadilan khusus yang menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar tingkat pegawai kerajaan.
3) Al-Mahkamah al- Kabirah atau pengadilan surambi atau pengadilan syar’iyyah yang berlandaskan pada syariat (hukum) Islam. Pada mulanya pengadilan ini menangani ahwâl asy-syakhsiyah (hukum keluarga) dan jinâyah (hukum pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya menangani hukum keluarga saja (nikah, talak, dan waris).
4) Pengadilan darah pengadilan ponconiti. Pengadilan ini adalah pengadilan khusus (forum privilegatum), urusan yang melibatkan anggota keluarga Kerajaan. Pengadilan ini terbagi menjadi dua: pengadilan darah dalem dan pengadilan kepatihan darah dalem.
Beberapa kitab undang-undang yang dipakai di Keasultanan Yogyakarta (Kasunanan Surakarta juga memakainya) di antaranya adalah Nawala Pradata Dalem, Angger Sadasa, Angger Ageng, Angger Gunung dan Angger Aru Biru.
Nawala Pradata Dalem berisi antara lain cara mengadili dalam hal hutang-piutang, pinjam-meminjam, gadai menggadai dan lain sebagainya; termasuk juga bagaimana cara mengadili orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, perampok, penyamun, penjambret, pembunuh, penjudi dan sebagainya. Masalah perkawinan dan orang bertengkar termasuk juga di dalamnya.
Angger Sadasa berisi peraturan-peraturan tentang tanah pedesaan yang dipajakkan atau digadaikan kepada bangsa asing (Belanda dan Cina) maupun kepada bangsa Jawa sendiri. Kitab ini juga mengemukakan jenjang kepangkatan yang harus dianut sewaktu mengajukan perkara.
Angger Ageng memuat undang-undang yang mengatur peradilan Surakarta dan Yogyakarta, misalnya gugat-menggugat antara abdi dalem Surakarta dan Yogyakarta baik mengenai hak milik, atau kekayaan, hutang-piutang, gadai-menggadai dan lain-lainnya.
Angger Gunung berisi tentang orang-orang yang mendirikan bandar judi, penjual kopi gelap, apyun/candu, sarang burung, obat-obatan yang dipalsukan, senjata (tombak, keris, senapan dll), perhiasan palsu dan seterusnya.
Angger Aru Biru berisi peraturan bagi orang-orang yang suka menghalangi jalannya pemerintahan. Misalnya membuat rintangan di tengah jalan, memecah-belah kerukunan dan bertengkar tentang tanah desa (Roorda, 2002: 1-13). []
Daftar Pustaka:
MC. Ricklefs, 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 174-1792. Mata Bangsa. Yogyakarta.
Roorda.2002. Javaanse Wetten, Serat-Angger-Anggeran Jawi. Kepel Press. Yogyakarta.
Zallum. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Al-Izzah. Bangil.
http://id. Wikipedia.org/wiki/Ngayogyakarta Hadiningrat