Mukadimah
Pesatnya pertumbuhan pasar modern dengan berbagai pusat perbelanjaan di perkotaan, bahkan sampai pinggiran kota, dan pesatnya perkembangan supermarket dan swalayan dengan sistem perdagangan modern tak pelak mempengaruhi keberadaan pasar-pasar tradisional dan pedagang-pedagang kecil yang ada di pedesaan dan pelosok perkotaan. Akibatnya, muncul gugatan terhadap keberadaan pasar-pasar modern yang notabene dimiliki oleh para pedagang besar.
Bagaimana sebetulnya Islam memandang hal ini? Bagaimana cara mengatur keberadaan pasar tradisional dan pasar modern? Bagaimana pula Islam membantu para pedagang kecil agar tetap eksis?
Kedudukan Pedagang
Perdagangan adalah kegiatan yang disyariatkan oleh Allah Swt. untuk dilakukan. Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku- suka sama suka di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).
Karena keberadaannya yang mubah, Islam mengatur kegiatan perdagangan agar berlangsung dengan lancar, adil dan tidak ada pihak yang dirugikan. Tujuannya adalah untuk menjamin keberadaan semua pedagang, besar maupun kecil, tanpa membedakan keduanya. Pengaturan tersebut dapat menjamin pedagang kecil dapat terus berusaha dan tidak kawatir tergusur oleh keberadaan pedagang besar dan modern. Pedagang besar pun dijamin dapat mengembangkan usahanya tanpa ada hambatan dari negara.
1. Islam menjamin semua pedagang yang menjadi warga negara Daulah Islam.
Perdagangan, dari segi ruang lingkupnya, dibedakan menjadi perdagangan dalam negeri (domestik) dan perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Perdagangan domestik adalah transaksi perdagangan yang terjadi di antara individu warga negara Daulah Islam. Untuk perdagangan domestik, ketentuannya adalah sangat mudah, yakni sesuai dengan hukum-hukum jual-beli yang telah dinyatakan syariah.
Adapun perdagangan luar negeri secara umum didasarkan pada siapa yang melaksanakan aktivitas perdagangan tersebut, apakah warga negara sendiri atau warga negara asing. Karenanya, perdagangan luar negeri didasarkan pada asal pedagangnya, bukan asal komoditinya.
Ketentuan lain yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri adalah ketentuan tarif (pajak) ekspor dan impor. Pedagang yang merupakan warga negara Daulah Islam tidak boleh dikenai pajak (tarif/bea cukai) ekspor maupun impor oleh negara. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw.:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).
Adapun pengambilan beacukai atau tarif (pajak) ekspor dan impor dari pedagang-pedagang yang bukan dari warga Negara Islam adalah boleh. Namun, negara dapat juga membebaskan mereka dari pajak atau biaya apapun jika itu dipandang baik bagi kemaslahatan kaum Muslim.
Dengan demikian, Islam melihat posisi pedagang dari besar-kecilnya perdagangan yang mereka lakukan, artinya tidak membedakan antara pedagang besar dan pedagang kecil. Yang diperhatikan apakah mereka warga negara atau bukan warga negara.
Setiap pedagang, besar maupun kecil, yang merupakan warga negara Daulah Islam akan mendapatkan perlakukan yang sama serta mendapat jaminan kesempatan dan peluang yang sama untuk menjalankan kegiatan usahanya. Negara akan memfasilitasi pedagang besar untuk menjalankan usahanya agar berjalan dengan lancar sekaligus menjamin agar pedagang kecil dapat tetap berusaha tanpa harus kalah bersaing dengan pedagang besar.
2. Negara menjamin mekanisme pasar.
Dengan berjalannya mekanisme ekonomi/pasar, kegiatan perdagangan berjalan secara wajar, alami dan menguntungkan. Hal ini akan dialami seluruh pedagang kecil maupun besar. Karenanya, persaingan berjalan secara fair. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha akan memperoleh peluang lebih baik dibandingkan dengan yang malas. Sebab, semua fasilitas dimiliki semuanya.
Beberapa mekanisme ekonomi yang ditempuh Sistem Ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan kegiatan perdagangan yang fair dan adil adalah: Pertama, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya kegiatan perdagangan yang fair dengan jalan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Prasarana jalan yang baik, pasar yang lengkap, sarana transportasi dan komunikasi yang memadai adalah beberapa prasarana yang harus tersedia. Selain itu penyediaan pusat-pusat informasi pasar/harga akan membuat harga tidak terdistorsi sehingga tidak ada monopoli pedagang terhadap komoditas tertentu. Karenanya, perbaikan fasilitas pasar-pasar tradisional tetap menjadi prioritas selain kebijakan yang membolehkan tumbuhnya pasar-pasar modern di perkotaan.
Kedua, menggalakkan kegiatan pedagangan dan mendorong pusat-pusat perdagangan dengan bantuan modal usaha. Islam memerintahkan agar harta beredar di seluruh anggota masyarakat, tidak hanya beredar di kalangan tertentu, sementara kelompok lainnya tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan bisnis dan perdagangan. Untuk itu, negara menjadi fasilitator antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan hartanya dengan para pengelola yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah).
Negara juga dapat memberikan pinjaman modal kepada orang-orang yang memerlukan modal usaha tanpa dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat saja diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar ia tidak terbebani untuk mengembalikan pinjaman.
Ketiga, melarang kegiatan yang dapat mendistorsi pasar. Beberapa kegiatan yang dapat mendistorsi pasar dilarang oleh negara. Hal ini karena pasar yang terdistorsi akan menyebabkan mekanisme harga/pasar tidak berjalan dan akan menimbulkan penindasan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Larangan itu mencakup:
a. Larangan menimbun barang dagangan. Tindakan penimbunan barang dilarang berdasarkan sabda Nabi saw.:
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
Tidak melakukan penimbunan kecuali orang yang salah (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad dan ad-Darimi).
Penimbunan adalah kegiatan pengumpulan barang dagangan untuk menunggu waktu naiknya harga-harga barang tersebut akibat permintaan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ketersediaannya di pasar. Pengumpulan barang dikategorikan sebagai penimbunan jika sampai menyulitkan warga masyarakat untuk memperoleh barang tersebut akibat kelangkaannya.
b. Larangan monopoli dan pematokan harga. Dengan adanya monopoli, seseorang dapat mematok harga jual produk sekehendaknya sehingga dapat merugikan kebanyakan orang. Negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam menetapkan harga jual suatu produk yang ada di pasar karena hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar. Islam mengharamkan pematokan harga secara mutlak. Anas ra. bertutur:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ لَوْ سَعَّرْتَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ
Harga-harga pada masa Rasulullah saw. Pernah mengalami kenaikan sangat tajam (membumbung). Lalu orang-orang melapor, “Wahai Rasulullah, seandainya harga ini engkau patok (niscaya tidak membumbung seperti ini). Namun, beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan, Yang Maha Memberi Rezeki lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah.” (HR Ahmad).
Meskipun demikian, terhadap produk-produk yang termasuk dalam kepemilikan umum, Islam membolehkan adanya monopoli oleh negara. Namun, dengan begitu bukan berarti negara dapat mematok harga seenaknya demi mengejar keuntungan. Negara justru berkewajiban menyediakan berbagai produk tersebut dengan harga semurah mungkin.
c. Larangan menipu. Hal lain yang juga dilarang oleh Islam adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara sehingga para pedagang terpaksa menjual produknya dengan harga sangat murah. Padahal harga yang berlaku di pasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Abdullah Ibn Umar ra. berkata, “Kami pernah keluar menyambut orang-orang yang datang membawa hasil panen dari luar kota. Lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah saw. melarang kami membelinya sampai hasil panen tersebut dibawa ke pasar.” (HR al-Bukhari).
Peran Negara
Meski semua prasarana dan sarana serta berbagai ketentuan yang dapat menjamin para pedagang agar tetap eksis telah diberlakukan, tetap akan ada pedagang kecil atau lemah yang kesulitan dalam memperoleh modal, misalnya, baik karena ketidakadaan modal maupun karena merugi dan mempunyai hutang. Dalam hal ini, negara dapat membantu pedagang tersebut dengan memberikan bantuan cuma-cuma atau memberikan bantuan pinjaman modal tanpa bunga.
Mengenai pemenuhan kebutuhan hidup, contohnya negara memberi kepada individu masyarakat yang mampu menggarap lahan pertanian, namun tidak mempunyai lahan tersebut. Dalam hal ini, negara akan memberikan lahan yang menjadi milik negara kepada individu yang tidak mempunyai lahan tersebut. Negara bisa juga memberikan harta kepada individu yang mempunyai lahan namun tidak mempunyai modal untuk mengelolanya. Contoh lain: negara dapat memberikan modal usaha kepada pedagang yang tidak mempunyai modal untuk berdagang; negara juga dapat memberikan harta kepada individu atau pedagang yang mempunyai hutang, namun tidak mampu melunasinya, agar mereka dapat melunasi hutang-hutang mereka.
Umar bin al-Khaththab ra. pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka. Kemudian syariah juga memberikan hak kepada mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat. Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang mereka apabila mereka tidak mampu membayarnya.
Rasulullah saw. juga pernah memberikan dua dirham kepada seseorang seraya bersabda kepadanya, “Makanlah dengan satu dirham. Sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah untuk bekerja.” (HR Abu Dawud).
Khatimah
Demikianlah, Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan yang menjamin seluruh pedagang dapat menjalankan usahanya dengan baik. Ketentuan itu berlaku bagi seluruh pedagang tanpa membedakan pedagang besar atau kecil, pedagang tradisional atau modern. Semuanya dianggap sama dan diberi kesempatan yang sama. [Muhammad Riza Rosadi; (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia)]
Saudara muslem smua…perlu diingat bhw pemain retail terbesar diindonesia adalah carrefour..dan penyokong dana terbesar ke2 adalah pengusaha dr ISRAEL LAKNATULLAH….mshkah anda berbelanja di modern market C4 yg notabene menumpahkan darah saudara2 kita ditimurtengah?
Ingat…penyokong dana terbesar CARREFOUR ke2 adalah pengusaha dr ISRAEL LAKNATULLAH…Mshkah anda berbelanja.. disatu sisi saudara2 kita dibunuh dengan sangat keji…
SUDAH SAATNYA KITA MEMBANGUN JARINGAN DAN MASYARAKAT EKONOMI SYARIAH, AGAR MASYARAKAT MEMAHAMI DAN MENGETAHUI PERDAGANGAN YANG SECARA SYARIAH SEPERTI DAHULU ADANYA SYARIKAT DAGANG ISLAM