يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedangkan mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya. Jika kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu. Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjid al-Haram mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya (QS al-Maidah [5]: 2).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ tuhillû sya’âiral-Lâh (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Mereka diserukan agar tidak melanggar sya’âiral-Lâh. Kata sya’âir merupakan bentuk jamak dari kata sya’îrah yang bermakna muf’ilah. Kata al-musy’irah bermakna al-mu’limah (yang memberitahukan); dan al-isy’âr berarti al-i’lâm (pemberitahuan). Oleh karena itu, segala sesuatu yang dijadikan sebagai pemberitahuan atas sesuatu yang lain, dapat disebut sebagai sya’îrah.1
Terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir mengenai makna sya’âiral-Lâh. Ada yang memahami kata tersebut hanya menyangkut taklif khusus, yakni syiar dalam manasik haji, seperti tawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, melempar jumrah, dan lain-lain. Terhadap semua syiar haji tersebut, kaum Muslim dilarang meninggalkan atau mengganti dengan aktivitas lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas dalam suatu riwayat, Mujahid, as-Samarqandi, dan al-Baidhawi.2
Ada pula yang memaknai secara umum mencakup semua syiar-syiar Allah. Atha’ bin Abi Rubah mengatakan, sya’âiral-Lâh adalah semua yang diperintahkan dan yang dilarang. Al-Hasan menafsirkannya sebagai dînul-Lâh.3 Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu ‘Athiyah juga berpendapat demikian.4 Penafsiran tersebut memberikan pengertian, kaum Muslim dilarang melanggar semua batas-batas yang berasal dari-Nya. Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Sebab, kata tersebut bersifat umum dan tidak terbatas pada syiar-syiar tertentu. Pasalnya, tidak ada dalil yang mengkhususnya sehingga tetap dalam keumumannya. Pengertian tersebut juga dapat dijumpai dalam QS al-Hajj [22]: 32.
Juga: wa lâ asy-syahr al-harâm (dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram). Penjelasan mengenai bulan haram terdapat dalam beberapa ayat dan hadis. Dalam QS at-Taubah [9]: 36 disebutkan bahwa bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas; empat di antaranya adalah bulan haram yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Kata asy-syahr al-hârâm dalam kata tersebut li al-jins (bermakna jenis) sehingga mencakup semua bulan haram.5 Frasa wa lâ asy-syahr al-harâm di sini memberikan makna: Jangan pula kalian menganggap halal berperang pada bulan haram.6Larangan tersebut itu juga terdapat dalam beberapa ayat lain, seperti QS al-Baqarah [2]: 194 dan 217). Akan tetapi, menurut jumhûr al-mufassirîn ketentuan itu telah mansûkh (dihapus) oleh QS at-Taubah [9]: 5.7
Diserukan pula: wa lâ hady wa lâ al-qalâid (jangan [mengganggu] binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qala-id). Menurut Ibnu ‘Athiyah, tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna al-hadyu. Al-Hadyu adalah binatang ternak yang diserahkan ke Baitullah, baik berupa unta, sapi, atau kambing.8 Adapun kata al-qalâid merupakan bentuk jamak dari al-qilâdah yang berarti kalung. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah binatang-binatang yang hendak dikurbankan dan ditandai dengan kalung. Penyebutan tersebut terkategori sebagai athf al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus atas yang umum) disebabkan kemuliaan dan keutamaannya. Semua binatang tersebut tidak boleh diganggu atau dirampas.
Selain itu juga: wa lâ âmmîn al-Bayt al-Harâm yabtaghûna fadhl[an] min Rabbihim wa ridhwân[an] (dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya). Kata âmmîn dalam frasa ini bermakna qâshdîn.9 Artinya, orang-orang yang bermaksud mengunjungi Baitullah.
Dijelaskan oleh sebagian besar mufassir, mereka yang dimaksud adalah kaum musyrik yang mengunjungi Baitul Haram.10 Jika demikian, apa maksud fadhl[an] min Rabbihim wa ridhwân[an] yang mereka cari itu? Kata fadhl[an] di sini berarti keuntungan material yang diperoleh dalam perdagangan yang mubah.11 Bahkan menurut Ibnu ‘Athiyah, ini adalah pendapat jumhur para ahli tafsir.12 Kebolehan mencari karunia Allah Swt. pada saat menunaikan haji juga disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]: 198. Adapun ridhwân keridhaan di sini bisa dimaknai pahala. Patut dicatat, keinginan terhadap sesuatu tidak menunjukkan teraihnya sesuatu itu.13 Oleh karena itu, meskipun orang musyrik menginginkannya, mereka tidak akan mendapatkannya. Lebih dari itu, semua amal mereka terhapus, dicampakkan ke dalam neraka, dan surga diharamkan bagi mereka. Kendati begitu, kaum Muslim dilarang mengganggu mereka ketika hendak melaksanakan haji selama masih mencari dua perkara itu. Namun jika mereka telah melakukan kejahatan, harus dicegah (lihat QS al-Hajj [22]: 25). Karena itu, ketika ayat itu turun, orang-orang musyrik masih dibiarkan melaksanakan haji. Sebagaimana dituturkan ar-Razi, menurut jumhur mufassirîn seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan dan Qatadah, ketentuan tersebut kemudian dihapus (naskh) oleh QS at-Taubah [9]: 28).14
Kemudian Allah Swt berfirman: wa idzâ halaltum fa[i]shthâdû (Jika kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu). Perintah berburu sesudah dilaksanakannya ihram itu berhukum mubah.15 Kesimpulan ini didasarkan fakta bahwa hukum asal berburu adalah mubah. Aktivitas tersebut berubah menjadi haram bagi orang yang sedang menunaikan haji (lihat QS al-Maidah [5]: 1). Karena itu, setelah haji ditunaikan, kembali hukum asalnya, yakni mubah.
Allah Swt berfirman: wa lâ yajrimannakum syanân qawm an shaddûkum ‘an al-Masjid al-Harâm an ta’tadû (dan janganlah sekali-kali kebencian kalian kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram mendorong kalian berbuat aniaya [kepada mereka]). Kata asy-syanân bermakna syiddah al-bughd (kebencian yang sangat). Ditegaskan dalam ayat ini, kaum Mukmin dilarang berbuat aniaya terhadap kaum yang mereka benci karena telah menghalangi mereka ke Baitullah. Menurut as-Samarqandi, kata an ta’tadû di sini berarti melampaui batas dalam pembalasan.16
Perintah itu kemudian ditegaskan dengan firman-Nya: wa ta’âwanû ‘alâ al-birr wa at-taqwâ (Tolong-menolonglah kalian dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa). Dijelaskan al-Jazairi, al-birr adalah setiap ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan at-taqwâ adalah mengerjakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang.17
Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, kedua kata tersebut memiliki satu makna. Pengulangan dengan kata yang berbeda itu untuk mengukuhkan dan melebihkan (li at-ta’kîd wa al-mubâlaghah). Sebab, setiap birr adalah taqwâ, dan setiap taqwâ adalah birr. 18
Dalam perkara tersebut, umat Islam diperintahkan saling bantu satu sama lain.
Allah Swt. berfirman: wa lâ ta’âwanû ‘alâ al-itsm wa al-‘udwân (dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran). Dijelaskan al-Jazairi, al-itsm menunjuk semua dosa (sâir adz-dzunûb), sedangkan al-‘udwân berarti kezaliman dan melampaui batas.19 Abu Hayyan al-Andalusi memaknai al-itsm dengan al-ma’âshî (kemaksiatan-kemaksiatan) dan al-udwân berarti melampaui batas-batas Allah.20 Penyebutan dua kata itu secara bersamaan juga terdapat dalam QS al-Baqarah [2]: 85, al-Maidah [5]: 62, al-Mujadilah [58]: 8, dan 9. Terhadap perbuatan-perbuatan terlarang tersebut kaum Muslim dilarang bekerjasama dan tolong-menolong.
Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: wa[i]ttaqûl-Lâh innal-Lâh syadîd al-‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya). Perintah untuk bertakwa itu meliputi semua perkara, tidak sebatas perkara yang telah sebutkan. Ancaman siksaan yang pedih itu menunjukkan bahwa perintah tersebut wajib.
Istiqamah dalam Ketaatan
Terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam ayat ini. Pertama: perintah menjalankan ketaatan terhadap semua hukum yang ditetapkan Allah Swt. Kata lâ tastahillû memberikan pengertian demikian. Intinya, kaum Muslim dilarang melanggar, mengubah dan mengganti semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan-Nya. Tidak ada pilihan bagi manusia kecuali tunduk dan patuh terhadapnya.
Dalam beberapa hukum memang ada perubahan dan penghapusan hukum (naskh). Namun, harus ditegaskan bahwa yang berhak melakukannya adalah Allah Swt., al-Musyarri’ al-wahdah (Pembuat syariah satu-satunya). Dialah yang berhak menghalalkan atau mengharamkan segala sesuatu. Adanya perubahan beberapa hukum itu sekaligus menguji sejauh mana ketaatan manusia terhadap hukum yang ditetapkan (perhatikan QS al-Maidah [5]: 48).
Kedua: ketaatan itu harus senantiasa dijaga kemurniannya karena Allah Swt. Dalam menjalankan ketaatan, tidak boleh bercampur dengan hawa nafsu. Semua sikap dan keputusan yang diambil harus bebas dari pengaruhnya. Larangan berbuat aniaya terhadap kaum yang dibenci jelas menunjukkan perintah tersebut.
Tindakan menghalangi manusia ke Baitullah jelas perbuatan tercela. Pelakunya pun layak dibenci karenanya. Namun demikian, kaum Muslim tidak boleh kehilangan kendali. Ketentuan syariah tetap harus dijadikan sebagai patokan. Kebencian terhadap mereka tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk berbuat aniaya terhadap mereka. Kalaupun harus memberikan balasan, balasan itu harus setimpal dengan perbuatannya (lihat: QS al-Nahl [16]: 126; QS al-Baqarah [2]: 190).
Ketiga: perintah saling bantu dalam mengerjakan ketaatan. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Karena itu, tolong-menolong dan kerjasama menjadi keniscayaan bagi manusia. Demikian pula dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Hampir semua kewajiban syariah memerlukan kerjasama dan tolong-menolong. Aktivitas jihad, dakwah, memberantas kemungkaran dan semacamnya mutlak diperlukan kerjasama dan tolong-menolong. Bahkan aktivitas ibadah yang tampaknya dikerjakan sendirian pun, seperti shalat, tetap membutuhkan kerjasama. Sebagai gambaran, untuk bisa mengerjakan shalat, jelas memerlukan pakaian untuk menutup aurat, tempat yang suci, air yang suci dan mensucikan, pengetahuan arah kiblat, ketepatan waktu, dan lain-lain. Semua itu akan jauh lebih mudah dilakukan jika ada at-ta’âwun (kerjasama) di antara kaum Muslim. Hal yang sama juga terjadi pada zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Karena ta’âwun dalam ketaatan termasuk aktivitas yang diperintahkan, maka semua pihak yang turut memiliki andil di dalamnya juga berhak mendapatkan pahala dari-Nya. Terus mengalirnya pahala dari sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakan orangtuanya—sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih—merupakan salah satu contohnya.
Harus diingat, kerjasama yang diperintahkan itu hanya berlaku pada kegiatan ketaatan saja. Sebaliknya, perbuatan dosa dan maksiat, dilarang untuk dikerjakan. Siapa pun yang terlibat dalam kerjasama tersebut, layak mendapatkan dosa.
Demikianlah. Siapa pun yang menginginkan kebahagian di dunia dan akhirat, wajib baginya mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt., memelihara kemurnian ketaatan karena-Nya dan saling bantu dan dukung melakukan ketaatan.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabî , vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 101.
2 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 449; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 434; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 413; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 253.
3 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabî , vol. 11, 101; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 434.
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 394; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146.
5 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 7; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 8
6 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2, 449; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 547. Lihat juga ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4, 394; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 413
7 As-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 490. Mujahid al-Sya’bi, adh-Dhahhak, Ibnu Zaid, pun berpendapat demikian, lihat ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 398. al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 6 juga berpendapat sama.
8 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102. Menurut Ibnu ‘Athiyan, tidak ada perbedaan mengenai pengertian al-hadyu tersebut. Lihat Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146.
9 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 5; al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102.
10 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 147; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 228.
11 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 5; 12 al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 102; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 413
13 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 147.
14 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 435.
15 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 103; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6, 228, al-Khazin, Lubâb ar-Ta’wîl, vol. 2, 6. Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 146 mengatakan, semua ketentuan yang berkaitan dengan kafir telah di-naskh.
16 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 11, 103; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 6, 229; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 5; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 148; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 305; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1, 253; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 2, 6.
17 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 414
18 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 587. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas, lihat ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4, 406.
19 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 150.
20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1, 587
21 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 434.