Kalau ada istilah yang begitu populer setiap habis Pemilu, itulah koalisi. Apa itu koalisi? Secara ringkas, koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Dalam bahasa Arab, koalisi politik dikenal dengan at-tahâluf as-siyasi. Tahaluf berasal dari kata hilf[un] yang berarti perjanjian (mu’âhadah) atau kesepakatan (mu’âqadah). Siyâsi berarti politik. Koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Koalisi dapat pula diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. Bahkan sekarang ini berkembang pula menjadi kesepakatan antara beberapa partai untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) hingga mereka terpilih. Muaranya adalah bersama-sama menjalankan pemerintahan.
Di Indonesia tampaknya ada semacam kesepakatan para elit partai bahwa koalisi tidak dibangun atas dasar ideologi partai. Koalisi pun terjadi antara partai yang menamakan diri partai Islam dan partai sekuler. Landasan koalisi hanya didasarkan pada persamaan platform, sekalipun fakta menunjukkan bahwa yang dominan justru kepentingan sesaat. Platform yang dijadikan kesepakatan adalah sama-sama mengembangkan demokrasi dan membentuk pemerintahan yang kuat untuk mengokohkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Tidak disebut-sebut dalam kesepakatan itu berjuang bersama untuk menegakkan hukum Allah (syariah Islam).
Mengokohkan Hukum Sekular
Muncul pertanyaan, bolehkah berkoalisi dalam rangka mewujudkan platform demokrasi sekular tersebut?
Inti dari demokrasi adalah kedaulatan ada di tangan rakyat. Pembuatan berbagai perundang-undangan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Artinya, pihak yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, menyatakan apakah sesuatu itu terpuji dan tercela, menetapkan mana yang harus ada dan mana yang harus tidak ada di tengah masyarakat adalah para wakil rakyat di Parlemen dan di pemerintahan.
Koalisi partai Islam dengan partai sekular adalah koalisi untuk mengokohkan keberadaan hukum di tangan manusia. Padahal pihak yang memiliki otoritas untuk menentukan hukum hanyalah Allah Swt. Tegas sekali firman Allah Swt.:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Allah Swt. juga berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Kewenangan membuat hukum itu ada pada Allah (QS Yusuf [12]: 40).
Koalisi seperti ini merupakan aktivitas yang diharamkan oleh Islam. Bahkan Islam telah menganggapnya sebagai masalah penuhanan (rubûbiyyah). Allah SWT menegaskan:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah; mereka juga mempertuhankan Al-Masih putra Maryam (QS at-Taubah [9]: 31).
Terkait dengan masalah ini, Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa Adi bin Hatim pernah datang ke Madinah menemui Rasulullah saw. Saat itu Adi mengenakan kalung salib perak. Melihat hal tersebut, Nabi Muhammad saw. membaca ayat di atas (yang artinya): Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (QS at-Taubah [9]: 31). Adi pun berkomentar, “Sungguh, mereka tidak menyembah para rahib itu.” Rasulullah menyanggah, “Ya. Mereka menyembah para rahib. Para rahib itu telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Lalu mereka mengikuti para rahib itu. Begitulah, mereka menyembah para rahib mereka.” Lalu beliau mengajak Adi untuk masuk Islam dan dia pun menyambut ajakan Nabi saw. dengan mengucapkan kalimat syahadat.
Islam juga telah menganggap koalisi seperti dikemukakan di atas sebagai bentuk pengokohan berhukum pada thâghût, yang justru kaum Muslim telah diperintahkan agar mengingkarinya sebagaimana penegasan ayat al-Quran:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût. Padahal mereka telah diperintah untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS an-Nisa’ [4]: 60).
Kerjasama dalam Kemungkaran
Berdasarkan hal tersebut, terang sekali, koalisi demikian merupakan kesepakatan/perjanjian/koalisi yang tujuannya menegakkan dan mengokohkan hukum manusia yang tegas-tegas dilarang oleh Islam. Padahal Rasulullah saw. menegaskan:
لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام
Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Imam Nawawi memaknai hadis itu dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan hilf[un] yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah saw.] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syariah.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, III/302).
Jelaslah, dilihat dari aspek kesepakatan untuk mengembangkan demokrasi sekular, koalisi partai Islam dengan partai sekular merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Islam.
Pihak-pihak yang berkoalisi pun selanjutnya saling bekerjasama dalam menjalankan dan mempertahankan platform sekular itu. Aktivitas seperti ini bukanlah merupakan tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, melainkan tolong menolong dalam dosa dan keharaman. Karenanya, aktivitas koalisi demikian bertentangan dengan firman Allah Swt:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan; jangan tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran (QS al-Maidah [5]: 2).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas, “Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (at-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).” (Ibn Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, II/12-13).
Mencampuradukkan Haq dengan Batil
Dalam realitasnya, koalisi tidak lagi memperhatikan ideologi partai, apakah Islam atau sekular. Inti dari koalisi adalah kompromi. Akhirnya, kompromi pun tidak lagi memperhatikan ideologi partai. Bahkan sering ideologi partai dikorbankan; diganti oleh pragmatisme dan kepentingan sesaat. Suatu hal yang tidak dapat dihindari dari setiap kompromi adalah saling mengorbankan sebagian keyakinan dan kepentingan sendiri dengan menerima sebagian keyakinan dan kepentingan mitra koalisi. Celakanya, kompromi dalam koalisi justru terjadi antara hukum Islam dan hukum sekular, mencampurkan yang halal dengan yang haram, perkara haq dengan perkara batil. Tidak jarang, partai Islam tidak berani sekalipun hanya sekadar menyebut syariah Islam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kalian menyembunyikan kebenaran itu, sementara kalian mengetahuinya (QS al-Baqarah [2]: 42).
Adh-Dhahak memaknai ayat itu dengan menyatakan, “Janganlah kamu mencampurkan haq dengan batil, kebenaran dengan kedustaan.”
Abu al-Aliyah menyatakan, “Janganlah kamu mencampurkan haq dengan batil dan sampaikanlah peringatan/nasihat kepada para hamba Allah, umat Muhammad saw. Janganlah kalian mencampuradukkan antara Yahudi dan Nasrani dengan Islam, padahal kalian mengetahui bahwa agama Allah itu adalah Islam, sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah buatan manusia, bukan dari Allah.” (Ibn Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, Jilid I).
Lebih tegas lagi, Syaikh al-’Alim ’Atha Abu Rasytah mengatakan kandungan ayat itu, “Ayat ini melarang dua perkara. Pertama: mencampuradukkan haq dengan batil. Kedua: menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya. Sesungguhnya pencampur-adukkan haq dengan batil adalah penyesatan (tadhlîl), sementara menyembunyikan kebenaran berarti menutup-nutupinya dan mengabaikannya. Keduanya merupakan dosa besar dalam agama Allah ini.” (Abu Rasytah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, hlm. 42).
Dengan demikian, koalisi partai Islam dengan partai sekuler haram secara syar’i.
Legalisasi Partai Sekular
Salah satu wujud koalisi partai Islam dengan partai sekular adalah kerjasama, saling membantu, saling mempertahankan, saling membela dalam perkoalisian. Hakikat dari semua itu ada dua hal. Pertama: legalisasi, pengakuan dan keridhaan partai Islam akan keberadaan dan keabsahan partai sekular. Kedua: pengokohan partai sekular dengan menjadi teman dekat (bithânah) partai Islam. Padahal Allah SWT mengharuskan setiap kelompok/partai mendasarkan dirinya pada Islam. Allah SWT menegaskan hal ini:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali ’Imran [3]: 104).
Dalam Tafsîr Jalâlayn disebutkan bahwa makna menyerukan al-khayr adalah menyerukan al-Islâm. Senada dengan itu, Imam Ibnu Katsir, saat menafsirkan ayat itu mengutip riwayat dari Abu Ja’far al-Baqir, bahwa Rasulullah saw. membaca surah Ali Imran [3] ayat 104 tersebut seraya bersabda, “Al-Khayr adalah mengikuti al-Quran dan Sunnahku.”
Jadi, ayat ini menegaskan bahwa kelompok/partai yang dititahkan dalam ayat itu haruslah menjalankan dua hal: menyerukan Islam secara keseluruhan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Salah satu bentuk kemungkaran adalah sekularisme. Dengan adanya koalisi, alih-alih melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap partai sekular, justru partai Islam bergandeng tangan dan menjaga eksistensinya bahkan melegalisasi keabsahannya. Ini bertentangan dengan hukum Islam.
Ringkasnya, dari kajian beberapa realitas itu saja jelas bahwa haram partai Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Semoga Allah Swt. menunjukki umat Muhammad ini pada jalan-Nya yang lurus. Amin. []