HTI

Afkar (Al Waie)

Menghalalkan Segala Cara

Pengantar

Aktivitas dakwah dalam berbagai seginya, utamanya dalam penetapan tujuan (ghâyah) dan metode (tharîqah/manhaj) dakwah, wajib terikat dengan hukum syariah. Keterikatan dengan hukum syariah (at-taqayyud bi al-hukm al-syar’i) berlaku umum untuk seluruh perbuatan manusia, termasuk aktivitas dakwah. Maka dari itu, aktivitas dakwah tak boleh lepas dari pengaturan syariah. Tidak boleh ada penetapan tujuan atau metode dakwah yang menyalahi hukum syariah, walau hanya seujung rambut.

Prinsip ini sangat elementer dalam fikih dakwah. Namun, di lapangan banyak terjadi penyimpangan, baik menyangkut penetapan tujuan maupun metode dakwah. Misalnya, ada gerakan dakwah yang menetapkan tujuannya adalah “membentuk masyarakat madani”. Walau diberi muatan definisi baru yang seakan islami, terminologi “masyarakat madani” sebenarnya merujuk pada konsep civil society, sebuah ide yang lahir pada Abad Pencerahan (ke-17) di Eropa yang intinya adalah masyarakat sekular dan demokratis sebagai antitesis dari masyarakat di bawah sistem monarki dan hegemoni gereja. Padahal sekularisme dan demokrasi adalah sistem thâghût yang bertentangan dengan akidah Islam. Sungguh tak layak sebuah gerakan dakwah mempunyai tujuan “membentuk masyarakat madani.”

Selain penyimpangan tujuan, penyimpangan dalam metode dakwah juga sering dijumpai. Bahkan karena sudah dicengkeram dan dibutakan oleh pola pikir pragmatisme yang mengagungkan manfaat/hasil, cara yang ditempuh tidak lagi mempertimbangkan halal-haram. Yang menjadi pedoman seakan prinsip the end justifies the means (tujuan dapat menghalalkan segala cara). Inilah prinsip rumusan Niccolo Machiaveli dalam karyanya The Prince (abad ke-16).


Menghalalkan Cara

Sesungguhnya Islam tidaklah mengharamkan kekuasaan. Bahkan kekuasaan diperlukan demi penegakan syariah Islam secara menyeluruh. Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana caranya meraih kekuasaan itu, apakah dengan cara yang halal atau haram. Dengan mengamati realitas politik Indonesia saat ini, sayangnya kita melihat dengan jelas beberapa fenomena yang menunjukkan praktik “tujuan menghalalkan cara”. Semua cara ditempuh demi kekuasaan, walaupun menyalahi Islam. Di antaranya sbb:

1. Tidak konsisten dengan ideologi Islam.

Seharusnya gerakan dakwah atau partai Islam selalu konsisten dengan ideologi Islam, yaitu memperjuangkan agar syariah Islam dapat diterapkan di muka bumi secara sempurna (kâffah) (QS al-Baqarah [2]: 208). Namun nyatanya, ada partai Islam yang menganggap era perjuangan ideologi ini sudah berakhir, dan upaya memperjuangkan syariah tidak perlu lagi. Mereka mengatakan, “Era politik aliran sudah berakhir,” dan malah menegaskan, “Soal syariah Islam dan sebagainya, sudah tidak relevan lagi bagi kami...” Na’ûzhu biLlâh min dzâlik.

Tentu ini fenomena yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Kalau itu diucapkan oleh politisi sekular, tentu wajar saja. Namun, kalau diucapkan oleh pemimpin partai Islam, jelas itu tanda mereka tidak konsisten lagi dengan ideologi Islam.

2. Menjadi partai terbuka dengan menerima anggota orang kafir.

Pada dasarnya partai Islam hanya beranggotakan Muslim saja (QS Ali Imran [3]: 104). Maka dari itu, menjadi partai terbuka dalam arti menerima keanggotaan orang kafir diharamkan dalam Islam.

Sayangnya, ada partai Islam yang menjadi partai terbuka. Walaupun mereka telah mengeluarkan bayan (penjelasan) tidak menjadi partai terbuka, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Seorang tokoh partai Islam menyatakan bahwa partainya “berhasrat merangkul semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target perolehan suara 20 persen dalam Pemilu 2009”. Bahkan diberitakan, partai ini sudah mempunyai dua caleg dari kalangan non-Muslim.

3. Berkampanye dengan melanggar syariah Islam.

Berkampanye atau beriklan sebenarnya hukumnya mubah, selama tidak melanggar syariah, misalnya melampaui batas dalam menerangkan sifat barang dagangan. Diriwayatkan Umar bin al- Khaththab ra. pernah berkata, “Tidak masalah jika kamu menghiasi barang daganganmu sesuai dengan apa yang ada padanya.” (Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Khathab, hlm. 603).

Namun sayang, ada partai Islam yang mengkampanyekan diri dengan cara melanggar syariah Islam. Misalnya saja, mengangkat bekas Presiden Soeharto yang zalim sebagai pahlawan atau guru bangsa;atau kampanye yang disertai hiburan yang maksiat dan mengumbar aurat.

4. Berkoalisi dengan partai sekular.

Kalau sesama partai sekular berkoalisi tentu wajar. Namun, kalau partai Islam berkoalisi dengan partai sekular, jelas melanggar syariah karena termasuk dalam tolong-menolong dalam dosa yang diharamkan Islam (QS al-Maidah [5]: 2).

Sayang sekali, ada partai Islam yang ketika gagal mencapai target perolehan suara dalam Pemilu Legislatif 2009, lalu berkoalisi dengan Partai Demokrat yang sekular sebagai pemenang pemilu. Langkah ini jelas mengabaikan halal-haram. Salah satu rujukan mereka dalam masalah koalisi adalah kitab at-Tahâluf as-Siyâsî fi al-Islâm, karya Syaikh Muhammad Munir al-Ghadban. Padahal kitab ini mengandung banyak istidlâl (penggunaan dalil) yang salah. Kitab ini telah dikritik oleh banyak ulama, seperti kitab al-Musyârakah fi al-Barlamân wa al-Wizârah karya Muhammad Syakir Asy-Syarif, atau kitab Naqdh al-Judzûr al-Fikriyah li ad-Dimuqrâthiyah al-Gharbiyah, karya Dr. Muhammad Ahmad Mufti.

4. Berpartisipasi (musyârakah) dalam sistem pemerintahan sekular.

Melakukan musyârakah dalam sistem pemerintahan sekular haram dalam Islam. Sebab, pemerintahan sekular tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah (QS [5]: 44, 45, dan 47).

Namun sayang sekali, ada partai Islam yang melakukan musyârakah dalam sistem pemerintahan sekular saat ini. Dalih-dalih yang menjadi sandaran mereka untuk ber-musyârakah sebenarnya sangat lemah, seperti dalam kitab Min Fiqh ad-Dawlah fi al-Islâm karya Yusuf al-Qaradhawi. Tak sedikit kitab yang telah menjelaskan kelemahan kitab ini, misalnya kitab ad-Da’wah ilâ al-Islâm, karya Ahmad al-Mahmud.


Haram Menghalalkan Segala Cara

Sesungguhnya tujuan yang benar wajib ditempuh melalui cara yang benar. Islam tidak mengakui prinsip Machiavelis, yakni the end justifies the means (tujuan dapat menghalalkan segala cara). Yang benar dalam Islam justru sebaliknya, sebagaimana dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yakni tujuan tidak menghalalkan segala cara (al-ghâyah lâ tubarrir al-wasîthah). (Muqaddimah ad-Dustûr, 1963, hlm. 405).

Imam an-Nabhani menerangkan dalil dari kaidah itu, yaitu firman Allah SWT (artinya): Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48). Ayat ini, menurut beliau, menjelaskan bahwa yang menjadi pedoman dalam berbuat, baik itu menyangkut tujuan atau metode, adalah bi mâ anzaLlâh (apa yang telah Allah turunkan), dan bukannya bi-mâ nataja min a’mâl (apa yang dihasilkan dari perbuatan).

Menurut Imam an-Nabhani, tujuan dan metode adalah perbuatan manusia (fi’lul abdi). Yang menjadikan perbuatan manusia itu sah hanyalah dalil syar’i, bukan hasil atau manfaat yang akan dihasilkan dari perbuatan itu. (Muqaddimah ad-Dustûr, 1963, hlm. 405).

Maka dari itu, jelas tidak benar kalau ada partai atau kelompok Islam yang bertujuan meraih kekuasaan dengan menggunakan strategi atau langkah yang diharamkan. Misalnya tidak mau lagi memperjuangkan syariah, menjadi partai terbuka, berkampanye dengan melanggar syariah, berkoalisi dengan partai sekular dan terlibat dalam sistem pemerintahan sekular.

Semua strategi atau langkah itu tidak mencerminkan metode (tharîqah/manhaj) yang diajarkan dalam Islam, melainkan mencerminkan metode yang diajarkan ideologi Kapitalisme, yaitu pragmatisme. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar-tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori itu bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Pragmatisme merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, dengan tokohnya Charles S. Peirce (1839-1942), William James (1842-1920) dan John Dewey (1859-1952). (Jurdi, Aib Politik Islam, 2009: 238).

Jadi, partai Islam yang mengamalkan pragmatisme sebenarnya bukan partai Islam sejati, melainkan partai Islam yang mengamalkan ideologi kafir penjajah.


Mengundang Bahaya

Strategi menghalalkan segala cara yang ditempuh sebuah partai Islam setidaknya menimbulkan bahaya (dharar) bagi 3 (tiga) pihak. Pertama: bagi partai Islam yang mengamalkannya. Partai itu akan terancam oleh bahaya ideologi (al-khathr al-mabda’i). Maknanya, ideologi partai, baik fikrah (pemikiran) maupun tharîqah (metode)-nya, akan mengalami erosi dan pendangkalan, dan bahkan dapat mengalami degradasi atau kehancuran.

Kedua: bagi masyarakat pada umumnya. Ini karena tindakan menghalalkan segala cara adalah edukasi yang buruk kepada masyarakat, dapat menyesatkan masyarakat, di samping dapat memperburuk citra partai Islam secara keseluruhan di mata masyarakat.

Ketiga: bagi konstituen partai Islam itu. Bahaya ini muncul karena konstituen partai Islam umumnya adalah orang-orang yang ikhlas, lugu dan patuh kepada pimpinan partai (qiyâdah). Dengan menghalalkan segala cara, berarti partai Islam itu telah menipu konstituennya. Konstituen mengira partainya adalah partai Islam sejati, padahal sejatinya adalah partai yang menyimpang dari Islam, yang telah terjerumus ke dalam langkah-langkah pragmatis tanpa mempedulikan halal-haram.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Daftar Pustaka

Abu Ridho, 2008, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Gerakan Da’wah Islam, http://pkswatch.blogspot.com/

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, 2006, Fikih Ekonomi Umar bin Khathab (Al-Fiqh Al-Iqtishâdi li Amir Al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththâb)¸ Penerjemah Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa).

Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da’wah ilâ al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah).

An-Nabhani, Taqiyuddin, 1963, Muqaddimah ad-Dustur. (T.Tp.: Hizbut Tahrir).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*