HTI

Muhasabah (Al Waie)

Shulthan [an] Nashira

Ada tiga peristiwa yang akhir-akhir ini mengusik pikiran dan perasaan kita. Pertama: kita menyaksikan bagaimana jagat perpolitikan negeri kita hampir setiap hari diisi pemberitaan tentang pencalonan capres dan cawapres, berikut koalisi dan manuver tokoh partai dan partai politik yang akan menghadapi Pemilu Presiden, awal Juli 2009 yang akan datang. Begitu massifnya pemberitaan tersebut, yang nyaris tanpa jeda, membuat seolah-olah tidak ada hal lain dalam jagat perpolitikan negeri ini, selain itu-itu juga.

Lalu apa relevansinya kekuasaan yang mereka perebutkan dan mereka dapatkan selama ini dengan kondisi Islam dan umatnya? Hampir pasti tidak ada. Sebab, kekuasaan yang selama ini mereka miliki nyatanya tidak bisa menjaga kehormatan agama mereka, ketika al-Quran, Hadis, Nabi saw. dan ajarannya dinistakan begitu rupa. Kekuasaan mereka tidak pula bisa menjaga kehormatan umat. Bahkan melalui kekuasaannya mereka justru bekerjasama dengan kaum kafir penjajah untuk menyerang keyakinan dan akhlak saudara-saudara mereka, melalui proyek liberalisasi agama dan gender. Kekuasaan mereka juga tidak bisa menjaga kekayaan alam negara mereka sehingga begitu mudahnya kekayaan alam mereka dikuras, siang dan malam, oleh negara kafir penjajah. Lalu untuk apa kekuasaan mereka?

Kedua: kita menyaksikan bagaimana kebiadaban AS, bersama para penguasa bonekanya, Pakistan dan Afganistan melakukan serangan brutal terhadap para ulama dan pengemban dakwah di Lembah Swat, hanya karena mereka ingin syariah Islam diterapkan di sana. Lebih dari 180 pejuang Muslim telah gugur sebagai syuhada. Selebihnya, lebih dari ratusan ribu kaum Muslim (tua, muda, anak-anak, dewasa, laki dan perempuan) terpaksa harus mengungsi (al-Jazeerah TV, 10/05/2009). Ironisnya, pembantaian ini terjadi setelah penguasa boneka itu menghadap tuannya, Barack Obama, di Gedung Putih. Mereka seolah ingin membuktikan kesetiaan mereka kepada titah sang tuan. Kalau begitu, untuk apa kekuasaan mereka? Apakah untuk ini mereka mendapatkan kekuasaan dari umat?

Ketiga: kita menyaksikan bagaimana Masjid al-Aqsa tengah menghadapi proses Yahudinisasi. Bagian bawah masjid ini telah digali oleh orang-orang Yahudi. Di tengah proses Yahudinisasi itu, Paus Benedictus XVI melakukan kunjungan ke kawasan tersebut atas undangan PM Israel, Benyamin Netanyahu. Dalam pernyataan yang dikeluarkannya, sang Paus bukan saja menyakiti hati umat Islam, dengan menyatakan bahwa al-Quds untuk kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi pernyataan itu sekaligus melegalkan proses Yahudisasi yang tengah terjadi. Kaum Muslim yang tinggal di sana sebagai pemilik sah atas tanah kharajiyah itu pun seolah-olah harus hengkang, dan tidak mempunyai hak hidup di tanah suci itu. Padahal justru karena al-‘Ahd al-‘Umari-lah orang-orang Nasrani masih diberi hak hidup di sana, meski mereka kala itu sebagai pihak yang kalah. Ironisnya, tak satu pun penguasa kaum Muslim yang ada, baik di kawasan tersebut, maupun Dunia Islam, melawan atau setidak-tidaknya memprotes tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap saudara-saudara mereka. Kalau begitu, untuk apa kekuasaan yang ada di tangan mereka itu? Bukankah mereka mempunyai kekuasaan, personil tentara yang banyak, persenjataan dan peralatan tempur mutakhir? Untuk apa semuanya itu jika kehormatan Islam dan umatnya diinjak-injak begitu rupa, mereka tetap saja tidak melakukan apa-apa?

Ya, kekuasaan mereka memang tidak ada artinya. Kekuasaan itu justru telah menjadi fitnah bagi mereka sehingga mereka saling menjatuhkan dan saling membunuh semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan itu. Kekuasaan itu telah menjadi fitnah, karena ia telah berubah menjadi tujuan, bukan sarana untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan. Padahal Allah Swt. telah mengajarkan kepada Nabi saw. terkait dengan kekuasaan ini:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku secara benar dan keluarkan pula aku secara benar, serta berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80).

Pertama: Nabi saw. diperintahkan agar mempunyai kekuasaan. Sebab, kekuasaan penting bagi Islam dan umatnya jika digunakan untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan keduanya. Karena itu, kekuasaan ini tidak boleh berdiri sendiri; tidak boleh dijadikan tujuan; ia hanyalah sarana untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan. Apa sesungguhnya tujuan dari kekuasaan itu? Tujuannya tak lain adalah untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya.

Kedua: Nabi diperintahkan agar kekuasaan yang dimiliki benar-benar untuk menolong, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya. Inilah sulthân[an] nashîrâ yang dibutuhkan oleh umat, yang benar-benar harus dimiliki dan diwujudkan oleh umat ini.

Allah Swt. pun mengabulkan doa Nabi saw. Beliau benar-benar telah diberi oleh Allah sulthân[an] nashîrâ dari sisi-Nya, setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan. Kekuasaan yang diberikan oleh Allah itu diawali saat Nabi menerima Baiat Aqabah II, dilanjutkan dengan hijrah Nabi saw. ke Madinah, dan diproklamasikannya Negara Islam di sana. Itulah sulthan[an] nashira yang benar-benar diberikan oleh Allah kepada Nabi saw.

Benar sekali, setelah itu posisi Islam dan umatnya pun kokoh. Diawali hanya dari satu titik, yaitu Madinah, wilayah negara mereka pun berkembang hingga meliputi seluruh Jazirah Arab, hanya dalam waktu tidak kurang dari 8 tahun. Para penentang Islam dan umatnya pun satu persatu takluk dan tunduk di hadapan mereka.

Setelah Nabi wafat, kekuasaan itu pun masih tetap utuh, bahkan semakin kokoh dan mantap. Itulah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah, yang dipimpin oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan al-Hasan. Ketika fase ini berakhir, kekuasaan pun berpindah kepada generasi berikutnya secara berturut-turut; dari Umayah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah. Semuanya ini masih bisa kita sebut sebagai sulthân[an] nashîrâ yang diminta dan diwariskan oleh Nabi saw.

Karena itu, tidak aneh kala itu Islam pun tersebar di tiga benua, dan Khilafah Islam telah menjadi adidaya dunia tak tertandingi selama 10 abad. Umatnya pun dihormati dan dinobatkan sebagai pemimpin bangsa dan umat lain di seluruh dunia.

Sayang, setelah Khilafah diruntuhkan pada 3 Maret 1924 M/28 Rajab 1342 H, sulthân[an] nashîrâ itu pun hilang. Kekuasaan yang begitu besar dan perkasa itu seperti lenyap di telan bumi. Negara adidaya itu akhirnya dikerat-kerat menjadi 50 lebih negara-negara kecil. Untuk bertahan saja tidak bisa, apalagi mempertahankan Islam dan umatnya. Satu-satunya yang membuat negara-negara kecil itu masih tetap bisa bertahan adalah dukungan negara-negara kafir penjajah. Wajar jika kekuasaan yang melekat padanya tidak akan mungkin digunakan untuk menjaga, mendaulatkan dan memartabatkan Islam dan umatnya. Sebaliknya, kekuasaan itu akan senantiasa digunakan untuk melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah itu. Jadi, kekuasaan seperti ini tidak ada gunanya. Ada dan tidaknya sama saja. Bahkan keberadaannya akan selalu menjadi fitnah bagi Islam dan umatnya.

Contohnya adalah Pakistan. Ketika kekuasaan di tangan Musharraf, kekuasaan itu digunakan untuk merusak agama dan akhlak tentaranya sendiri, setelah itu tentaranya digunakan untuk membantai umat Islam di Masjid Merah. Di tangan Musharraflah wilayah Pakistan telah digunakan oleh negara-negara kafir penjajah, pimpinan AS dan sekutunya untuk menyerang kaum Muslim di Afganistan. Setelah Musharraf kehilangan kekuasaannya, orang berharap Pakistan menjadi lebih baik, nyatanya tidak. Di tangan Asif Ali Zardari, mantan suami Butho yang korup itu, kekuasaan telah digunakan untuk menodai kehormatan Islam dan umatnya, sebagaimana yang terjadi di Lembah Swat itu.

Karena itu, doa Nabi, “Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong,” sekaligus merupakan permohonan agar semua kekuasaan yang tidak bisa dan tidak digunakan untuk menolong Islam dan umatnya itu segera ditumbangkan dan dienyahkan dari muka bumi, digantikan dengan kekuasaan yang benar-benar bisa menolong Islam dan umatnya. Hanya dengan itulah doa Nabi saw. itu benar-benar dikabulkan oleh Allah.

Kapan semuanya itu akan terwujud? Tentu ketika Khilafah berdiri. Khilafahlah sesungguhnya sulthân[an] nashîrâ yang diminta oleh Nabi. Wallâhu a’lam. []

One comment

  1. Subhanallah, tulisan yang menyentuh. Semoga ini menyadarkan pengusa2 saat ini untuk menjadikan kekuasaannya menjadi kekuasaan yang menolong. kalo tidak bisa ya serahkan saja pada yang bisa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*