HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Ilusi Buku Ilusi Negara Islam

Pengantar

Sebuah buku dengan judul Ilusi Negara Islam telah diterbitkan The Wahid Institute beberapa waktu lalu, bekerjasama dengan Maarif Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika. Buku yang disponsori oleh LibForAll Fondation ditujukan untuk menghentikan laju perkembangan pengaruh gerakan Islam yang diistilahkan dalam buku itu dengan ‘Islam Transnasional’.

Buku ini diragukan dasar metodeloginya. Bahkan beberapa peneliti yang tercantum dalam buku tersebut menolak buku ini karena namanya dicatut. Jika buku tersebut merupakan penelitian yang akurat maka telaah kitab-kitab resmi yang dikeluarkan oleh gerakan yang menjadi obyek penelitian menjadi suatu keharusan sehingga pernyataan-pernyataan mereka memiliki dasar yang valid.

Sayang, hal tersebut tidak terjadi. Untuk meneliti HT, misalnya, penulis hanya menggunakan satu referensi yang dikeluarkan oleh gerakan tersebut, yakni Selamatkan Indonesia dengan Syariah. Itu pun alakadarnya. Selebihnya lebih banyak mengutip Zeno Baran dari International Crisis Group dan Ed Husein yang dianggap sebagai mantan pimpinan HT di London, padahal faktanya bukan. Berikut adalah sekilas tentang isi buku tersebut, sekaligus kritik terhadapnya.


Pendapat yang benar

Buku tersebut menganggap bahwa umat Islam yang bermaksud menegakkan syariah Islam secara menyeluruh dalam Khilafah Islam selalu memonopoli kebenaran yang mengarah pada penyalahan pihak lain dan bahkan berujung pada pertumpahan darah.1

Kesimpulan tersebut jelas salah karena telah melakukan generalisasi (fallacy of hasty generalization) terhadap seluruh kelompok Islam yang bermaksud menegakkan Negara Islam. Pada faktanya tidak semua gerakan Islam di Indonesia membenarkan tindakan kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam. HT, misalnya, sejak berdirinya tahun 50-an hingga hari ini tidak pernah mengadopsi cara-cara kekerasan. selain itu, penulis tidak sadar ketika mereka mengatakan bahwa umat yang berupaya menegakkan Negara Islam memonopoli kebenaran, pada saat yang sama mereka justru berupaya memaksakan pendapat mereka bahwa Negara Islam itu tidak wajib.

Dalam Islam sangat jelas, dalam persoalan akidah dan hukum syariah yang bersumber dari dalil yang qath’i dan maknanya juga qath’i tidak ada toleransi, sementara dalam masalah hukum-hukum fur’û yang dalilnya zhanni, perbedaan pendapat tidak dapat dinafikan. Sikap ini telah dilestarikan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Ini, misalnya, dapat dilihat dari penjelasan Abu Zahrah dalam Kitab Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah.

Para fukaha berbeda pendapat dan perbedaan tersebut menghasilkan sekolah-sekolah fikih yang kemudian menjadi mazhab. Hal yang wajib diterangkan di sini adalah perbedaan tersebut bukan pada masalah akidah dan pokok syariah, tetapi dalam memahami nash dalam menerapkan yang pokok kepada cabang. Semua yang berbeda paham menghormati nash-nash al-Quran dan as-Sunnah…; dalil yang qath’i menjadi pemutus (untuk menyelesaikan) perselisihan mereka…”2

Ini pula yang dijadikan pegangan oleh Hizbut Tahrir sebagaimana yang tercantum dalam kitab Mafâhîm Hizb at-Tahrîr:

Para pendiri mazhab di kalangan mujtahid menganggap hasil istinbâth mereka terhadap suatu hukum adalah benar namun masih mungkin mengandung kesalahan. Setiap mereka mengatakan, “Jika pendapat itu sahih maka itulah pendapatku dan buanglah pendapatku di balik tembok.” Demikian pula dengan pengemban dakwah; ia memandang pendapat yang diadopsinya sebagai pendapat yang benar yang berpotensi salah, sementara keimanan mereka terhadap Islam merupakan akidah yang tidak boleh ada keraguan sedikit pun.”3


Negara Islam

Buku tersebut juga menuduh bahwa pengusung ideologi transnasional dan para pendukungnya tidak memahami substansi Islam sebagaimana yang dipahami oleh para wali, ulama dan pendiri bangsa.

Pernyataan ini merupakan salah satu bentuk kesalahan logika yang sangat akut (fallacy of appeal to authority). Sebab, untuk menjustifikasi pendapatnya penulis mengatasnamakan wali, ulama dan pendiri bangsa tanpa menyebut alasannya. Seakan-akan pendapat yang mengatakan Negara Islam tidak wajib sejalan dengan pendapat para ulama dan pendiri bangsa.

Padahal para wali, ulama dan pendiri bangsa memiliki ragam pemikiran. Bahkan sebagian besar pendapat mereka justru berseberangan dengan logika penulis yang beraliran sekular-liberal tersebut. Sebagai contoh di dalam kitab Al-Mawardy dinyatakan:

Imamah (Khilafah) merupakan pengganti kenabian yang menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Keberadaannya pada umat wajib berdasarkan Ijmak, kecuali segelintir dari (golongan) al-A’sham.4

Al-Ghazali mengatakan:

Oleh karena itu, kewajiban adanya Imam (Khalifah) merupakan keharusan dari syariah yang tidak ada jalan untuk meninggalkan-nya.”5

Kedua ulama di atas yang merupakan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) dan sangat masyhur di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan nahdliyyin, dengan tegas menyatakan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah. Bahkan menurut Imam al-Qurthubi:

Tidak ada perbedaan tentang kewajiban hal tersebut (Imamah/Khilafah)di antara umat, tidak pula di antara para imam, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-A’sham.” 6

Dengan demikian, pernyataan bahwa penegakkan syariah Islam dalam format negara bertentangan dengan paham Aswaja merupakan pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis sekaligus menyalahi ketentuan syariah.

Demikian pula jika dikatakan bahwa penerapan syariah Islam tidak sesuai dengan pendapat pendiri bangsa. Memang, Soekarno menolak pemerintahan Islam, namun tidak berarti seluruh founding father negara ini mendukung hal tersebut. Ketika Soekarno berpidato di Amuntai 27 Januari 1953 dengan menyatakan bahwa jika negara didirikan berdasarkan Islam, maka banyak daerah berpenduduk non-Muslim akan lepas. Pidato tersebut serta-merta mendapat respons keras dari tokoh dan organisasi Islam seperti PBNU, PB Front Muballig Islam Medan, Dewan Tertinggi Partai Islam Perti, Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam, dan Pengurus Besar Persatuan Indonesia. Petikan surat PBNU kepada Presiden yang ditandatangani oleh KH. A Wahid Hasjim dan A. Sjahri menyatakan:

Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam, merupakan perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan syariah Islam dan wajib tiap-tiap orang Muslim menyatakan inkar atau tidak menyetujuinya…7


Perpecahan

Buku tersebut juga mencoba untuk menyebarkan ketakutan kepada publik bahwa penerapan syariah Islam akan menyebabkan perpecahan bangsa karena telah mengkotak-kotakan bangsa Indonesia yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda. Propaganda ini juga mengada-ada karena berupaya menjustifikasi bahaya Negara Islam dengan menakut-nakuti pihak lain dengan sesuatu yang belum pasti terjadi. Kesalahan tersebut dalam ilmu logika disebut appeal to fear, memunculkan ketakutan agar orang lain menerima pendapatnya.

Logika yang benar dan sesuai dengan realitas adalah sebaliknya. Berbagai konflik di sejumlah daerah yang mengarah pada pelepasan sejumlah wilayah Indonesia seperti Papua, Ambon dan Timor-Timur yang kini telah menjadi negara sendiri justru disebabkan oleh provokasi dari negara-negara asing yang mencoba mendapatkan keuntungan dari kemerdekaan tersebut, selain adanya kekecewaan dari sejumlah masyarakat terhadap berbagai kebijakan pusat yang dianggap tidak adil.

Dengan penerapan syariah, peluang lepasnya bagian-bagian wilayah Indonesia justru akan ditutup, setidaknya oleh beberapa argumentasi: Pertama, warga negara yang berupaya untuk memisahkan diri dari wilayah pemerintahan Islam dikategorikan sebagai bughat yang wajib untuk diperangi. Kedua, dengan pelaksanaan hukum tanpa pandang bulu dan distribusi kekayaan yang adil, tingkat keamanan dan kesejahteraan rakyat akan dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. Ketiga, negara wajib menghalau berbagai upaya intervensi untuk memecah-belah negara. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mendatangi kalian, sementara kalian bersatu atas (kepemimpinan) satu orang, dan ia bermaksud memecah-belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia” (HR Muslim).

Keempat, warga non-Muslim diberi kewenangan untuk melaksanakan ajaran agama mereka dalam masalah peribadatan, pernikahahan, makanan, minuman dan pakaian. Sebaliknya, dalam kehidupan publik posisi mereka sama dengan warga Muslim tanpa diskriminasi. Bukan itu saja, setiap tindakan yang merugikan non-Muslim yang menjadi warga Negara Islam atau terikat dengan perjanjian dengan Negara Islam dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang kelak dihisab oleh Allah pada Hari Kiamat nanti. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang membunuh mu’âhid (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Negara Islam) tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan” (HR al-Bukhari dan Ibnu Majah). HTI sendiri dengan gigih melawan segala bentuk disintegrasi. Terhadap upaya separatisme di Aceh, Papua, Timor-Timur dan Maluku HT telah mengeluarkan ribuan booklet dan selebaran yang menyerukan kepada Pemerintah dan masyarakat agar menolak berbagai kebijakan yang mengarah pada separatisme. Justru suara kelompok liberal nyaris tak terdengar terhadap berbagai isu separatisme. Wajar saja karena sponsor merekalah yang berada di balik proses separatisme tersebut.


Motif Perjuangan

Mereka mengklaim bahwa gerakan yang bertujuan menegakkan Khilafah tidak memahami dan bahkan kering dari nilai spiritual, kasar keras dan suka menghujat; sementara pihak merekalah yang mengetahui hakikat spiritual tersebut. Namun, fakta di atas justru menjadi dalil atas sikap penulis. Mereka begitu mudah memuntahkan pernyataan-pernyataan dan klaim yang tidak berdasar dan jauh dari sifat orang-orang yang memegang teguh prinsip-prinsip spiritual Islam.

Dalam pandangan Islam, menegakkan Khilafah Islam merupakan sebuah kewajiban bahkan menjadi kewajiban tertinggi sehingga siapapun yang menginginkan untuk memperoleh nilai spiritual tertinggi harus memperjuangkan kewajiban tersebut. Sebaliknya, mereka yang menolak kewajiban tersebut justru perlu dipertanyakan tingkat spiritualitasnya. Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Taimiyah berpendapat:

Usaha untuk menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-taqarrub kepada Allah adalah kewajiban. Taqarrub kepada Allah dalam hal kepemimpinan yang dilakukan dengan cara menaati Allah dan RasulNya adalah bagian dari taqarrub yang paling utama…8

Dalam kitab Dukhûl al-Mujtama’, Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri HT menyatakan:

Satu hal yang tidak boleh hilang dalam pemikiran meski sekejap bahwa tujuan utama bukanlah kekuasaan, tetapi melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia; metode untuk mencapai hal tersebut adalah dengan kekuasaan…dan bahwa pandangan pada kekuasaan tidak lebih dari sekadar metode saja.9

Jika dikatakan bahwa tujuan para penyeru Negara Islam hanya untuk meraih keuntungan duniawi, lalu bagaimana menjelaskan ribuan kaum Muslim kini meringkuk di penjara-penjara, bahkan sebagian dibunuh akibat mereka lebih memilih memegang teguh sikap mereka untuk menegakkan Khilafah Islam ketimbang bebas namun harus meninggalkan perjuangan tersebut?

Justru yang kasatmata adalah berbagai kelompok liberal yang secara terang-terangan bekerja untuk mengusung ide-ide secular. Mereka mendapatkan kucuran dana dari sejumlah funding asing. Tujuan mereka jelas memisahkan umat dari ajaran Islam sembari menarik mereka untuk mengikuti ideologi negara-negara kafir penjajah.


Menghalalkan Segala Cara

Buku tersebut juga menuduh bahwa tujuan akhir Islam garis keras adalah formalisasi syariah Islam dengan menggunakan segala cara.

Di dalam kitab Nizhâm al-Islâm disebutkan:

Dakwah Islam saat ini diemban sebagaimana sebelumnya dan hal itu dilakukan dengan meneladani Rasulullah saw. tanpa berpaling sedikitpun dari metode Rasulullah saw., baik secara golobal maupun parsial…10

Bahkan secara eksplisit Ahmad Mahmud, aktivis senior HT, dalam kitab Ad-Da’wah ilâ al-Islam membuat bab khusus yang berjudul, “Hal yang Halal Tidak Boleh Dicapai dengan Cara yang Haram.”11

Sebelumnya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani juga telah mengkritik kaidah ‘menghalalkan segala cara dalam Muqaddimah Dustûr.12


Pluralisme

Di dalam buku tersebut dinyatakan:

Pembacaan secara harfiah dan mengutamakan simbol mengarah pada pemahaman monolitik dan penyeragaman, mengabaikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang tidak mendukung kepentingan mereka. Akibatnya, mereka menolak pluralisme agama-agama maupun dalam agama itu sendiri. Ini berbahaya karena tidak memberikan ruang berbeda; setiap yang berbeda akan divonis kafir, murtad dan semacamnya. Gejala ini seharusnya menyadarkan kita semua bahwa bahaya sebenarnya ada di dalam selimut.

Pernyataan ini mengesankan bahwa gerakan yang bermaksud menegakkan Negara Islam merupakan gerakan yang memanipulasi ayat hanya untuk kepentingan mereka. Penulis menampilkan sebuah dalil yang mendukung pendapatnya yang telah diplintir maknanya dan mengabaikan ayat dan hadis-hadis yang mencela ide pluralisme yang meyakini kebenaran semua agama.13 Dalil tersebut adalah sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.: “Saya adalah orang yang paling dekat dengan Ibnu Maryam di dunia dan akhirat. Tidak ada nabi antara saya dan dirinya. Para nabi bersaudara; mereka saudara seayah. Ibu mereka berbeda-beda namun agamanya satu” (HR al-Bukhari dan Muslim). Menurut Ibnu al-Atsir abnau allât adalah saudara sebapak, dengan ibu berbeda.14 Hal yang sama juga dinyatakan oleh as-Suyuthi, seraya menambahkan, “…Mereka bersepakat dalam pokok tauhid, namun berbeda dalam masalah syariah.”15

Jadi, menjadikan hadis ini sebagai dalil pluralisme jelas keliru dan bertentangan dengan sejumlah nash yang mengkritik paham tersebut.

Namun, jika yang dimaksud penulis bahwa gerakan Islam yang berjuang untuk menegakkan Khilafah menolak pluralitas agama, yakni eksistensi agama selain Islam dan perbedaan pemahaman di dalam agama Islam sendiri, maka ini semakin membuktikan bahwa penulis sebenarnya tidak paham, salah paham atau pura-pura tidak paham terhadap obyek penelitiannya dan istilah yang digunakannya. Di dalam kitab Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Syaikh Taqiyuddin menjelaskan:

Misi ini (mengemban dakwah) menuntut Islam membiarkan manusia menentukan pilihannya. Jika mereka menghendaki Islam, mereka bisa langsung memeluknya. Jika tidak, mereka boleh tetap memeluk agama lama mereka. Mereka hanya dituntut tunduk pada hukum-hukum Islam tentang urusan-urusan muamalah (hukum perdata) dan hukum-hukum pidana. Tujuannya…untuk menumbuhkan perasaan jiwa warga non-Muslim bahwa kedudukan mereka di mata sistem Islam (dalam undang-undang perdata dan pidana) sama dengan kaum Muslim. Mereka semua saling terikat dan sama-sama sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban menerapkan sistem yang berlaku. Mereka dapat menikmati hidup dengan tenteram…”16


Penutup

Masih banyak hal yang dapat dikritisi dalam buku tersebut. Namun dari beberapa penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak lebih dari bagian dari alat negara-negara kafir untuk memecah-belah umat Islam di Indonesia dengan cara membentur-benturkan mereka, memanipulasi fakta pemikiran Islam dan memuja ide-ide Barat.

Mereka mengira dengan cara itu umat akan mudah dipecah belah dan opini persatuan umat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah yang kini makin mengkristal dapat dibungkam. Tentu saja, harapan mereka hanyalah ilusi. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb [Muhammad Ishak].

Catatan Kaki:

1 Lihat: Ilusi Negara Islam. hlm.8

2 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Dar al-Fikr al-’Araby (1996), hlm.301.

3 Taqiyuddin an-Nabhany, Mafahim Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir, hlm. 70

4 Al-Mawardy, al-Ahkamu as-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr (1960), hlm.5

5 Abu Hamid al-Ghazaly, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Beirut: Dar al-Maktabah al-Hilal (1993), hlm.256

6 Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al Qurthubi, Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, hlm 264-265, vol.I

7 Aliran Islam, No.45, hlm.4. dikutip dari H. Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta: GIP (1997), hlm.69.

8 Imam Ibnu Taimiyyah, as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 161.

9 Taqiyuddin an-Nabhany, Dukhul al-Mujtama’, Hizbut Tahrir (1958), hlm.9

10 Taqiyuddin an-Nabhany, Nidzamu al-Islam, Hizbut Tahrir (1958), hlm.58

11 Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, Lebanon: Dar al-Ummah (1995), hal.288

12 Lihat, Taqiyudin an-Nabhany, Muqaddimah ad- Dustur, Hizbut Tahrir, hlm. 405

13 Seperti QS. Ali Imran [3] ayat 19 dan 85, dan al Maidah [8] ayat 48

14 Ibnu al-Atsir, Jamiu al Ushul fi Ahaditsi ar Rasul, Maktabah Dar al Bayan hlm. 523 vol.8

15 As Suyuthi, Syarh as Suyuthi ala shahih Muslim, al-Maktabah as-Syamilah, hlm. 349 vol.5

16 Taqiyuddin an-Nabhany, Negara Islam, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah (2000), hlm. 233

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*