اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat (QS al-Fatihah [1]: 6-7).
Ayat ini termasuk dalam surah al-Fatihah. Disebut dengan al-Fâtihah (pembuka) atau Fâtihat al-Kitâb (pembuka al-Kitab) karena menempati urutan pertama dalam mushaf al-Quran, bukan dalam urutan turunnya. Nama lainnya adalah Umm al-Kitab (Induk al-Kitab) dan as-Sab’u al-Matsânî (tujuh ayat yang diulang-ulang).1
Kandungan surat ini terbagi menjadi dua bagian. Ayat pertama hingga ayat Malik yawm ad-dîn berisi pujian kepada Allah Swt. Ayat berikutnya hingga ayat terakhir berisi pelajaran kepada hamba dalam memohon kepada Tuhannya.2 Setelah mengikrarkan pengesaan Allah Swt. dalam ibadah dan permintaan, ayat ini berisi permintaan hamba kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus; jalan orang-orang yang Dia beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang sesat.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Kata ihdi merupakan fi’l al-amr (kata perintah) dari kata al-hudâ atau al-hidâyah. Secara bahasa, al-hudâ adalah ar-rasyâd wa ad-dalâlah (penjelasan dan petunjuk).3 Kata tersebut adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan). Adapun secara syar’i, al-hudâ berarti al-ihtidâ’ ilâ al-Islâm wa al-îmân bihi (mendapatkan petunjuk pada Islam dan mengimaninya).4
Kata ash-shirâth secara bahasa bermakna ath-tharîq (jalan).5 Pengertian ash-shirâth al-mustaqîm adalah ath-tharîq al-wâdhih al-ladzî lâ i’wâja fîh (jalan yang amat jelas yang tidak ada kebengkokakan di dalamnya). Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, pengertian tersebut telah disepakati oleh ahli takwil dari umat ini.6
Ada beberapa penafsiran mengenai perkara yang dimaksud dengan ash-shirâth al-mustaqîm. Sebagian mufassir menafsirkannya sebagai al-Quran. Penafsiran ini didasarkan pada hadis dari Ali yang mendengar Rasulullah saw. bersabda mengenai al-Kitab:
وَهُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ
Kitabullah adalah tali Allah yang kokoh, peringatan yang bijaksana dan jalan yang lurus (HR at-Tirmidzi).
Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya adalah Islam. Ibnu Abbas berkata, “Itulah dînul-Lâh yang tidak ada kebengkokan di dalamnya.”7
Jabir juga menyatakan, “Itulah Islam, yang lebih luas daripada antara langit dan bumi.”8
Demikian pula Ibnu Mas’ud dan sejumlah Sahabat.9 Ibnu Hanifah menegaskan, “Itulah agama Allah yang tidak diterima dari hamba-Nya selainnya.”
Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Zaid bin Aslam.10
Al-Quran atau dîn al-Islâm sebagai shirâth mustaqîm (jalan lurus) disebutkan dalam QS al-An’am [6]: 126, 153). Mujahid menafsirkannya dengan al-haqq (kebenaran). Abu al-‘Aliyah menuturkan bahwa jalan lurus itu adalah Rasulullah saw. beserta Sahabatnya.11
Pendapat tersebut tampak berbeda-beda. Namun, sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir, semua itu bisa dikembalikan pada satu perkara, yakni mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, semua pendapat itu benar dan saling berkaitan.12
Kesimpulan serupa juga disampaikan asy-Syaukani. Menurutnya, semua pendapat itu saling membenarkan dan menegaskan. Karena itu, “Siapa saja yang mengikuti Islam, al-Quran atau Nabi saw., maka sungguh dia telah mengikuti kebenaran.”13
Dalam ayat ini, kaum Mukmin diajari untuk memohon hidayah kepada-Nya. Karena dalam setiap shalat surat ini wajib dibaca, maka permintaan tersebut wajib diucapkan berulang-ulang setiap hari. Mengapa mereka masih diperintahkan untuk meminta petunjuk-Nya lagi? Bukankah ketika seseorang telah menjadi Mukmin berarti telah mendapatkan petunjuk-Nya?
Dijelaskan asy-Syaukani, bahwa makna thalab al-hidâyah (permintaan petunjuk) dari orang yang telah mendapatkan petunjuk adalah thalab az-ziyâdah (permintaan tambahan hidayah), sebagaimana firman-Nya dalam QS Muhammad [47]: 17.14
Ibnu Jarir ath-Thabari memaknai ayat ini sebagai permohonan taufik agar tetap berada di atas petunjuk-Nya. Mufassir terkemuka itu menafsirkannya: “Waffaqnâ li ats-tsabbât ‘alayhi” (berikanlah taufik kepada kami agar kokoh atas petunjuk itu).15
Al-Baghawi juga menafsirkannya sebagai ats-tatsbît wa thalab mazîd al-hidâyah (pengokohan dan permintaan tambahan hidayah).16
Menurut Ibnu Katsir, pengertian tersebut sejalan dengan QS an-Nisa’ [4]: 136 yang memerintahkan kaum Mukmin untuk beriman. Perintah tersebut bukan untuk menghasilkan suatu hasil, namun dalam rangka agar kokoh, tetap berlangsung dan terus-menerus. Hal yang sama juga terdapat dalam QS Ali Imran [3]: 8 yang memberitakan doa orang-orang beriman agar hati mereka tidak condong pada kesesatan sesudah diberikan-Nya petunjuk. Oleh karena itu, makna QS al-Fatihah [1]: 6 ini adalah: “Tetapkan kami senantiasa atas petunjuk itu dan tidak berpaling darinya kepada yang lain.”17
Dalam ayat berikutnya dijelaskan lebih rinci mengenai jalan lurus yang dimaksudkan. Allah Swt. berfirman: Shirâth al-ladzîna an’amta ‘alayhim ([yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat). Menurut Ibnu Abbas, jalan orang-orang yang diberi nikmat itu adalah jalan kaum Mukmin. Ibnu Zaid menafsirkannya sebagai jalan Nabi saw. beserta Sahabatnya.18 Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka adalah, “Para malaikat, para nabi, shiddiqûn, orang-orang yang syahid, dan orang-orang salih, yang taat dan beribadah kepada-Mu.”19Penafsiran ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam QS an-Nisa’ [4]: 69.
Gambaran mengenai jalan lurus itu dikukuhkan dan diperjelas lagi dengan frasa berikutnya: ghayri al-maghdhûb ‘alayhim wa la adh-dhâllîn (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat).
Diterangkan Abdurrahman as-Sa’di, orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang mengetahui kebenaran, namun meninggal-kannya, seperti yang terjadi pada kaum Yahudi. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan, seperti yang dialami kaum Nasrani.20
Jumhûr al-mufassirîn berpendapat bahwa maksud dari al-maghdhûb ‘alayhim (orang-orang yang dimurkai) adalah orang Yahudi, sedangkan adh-dhâllîn (orang-orang yang sesat) adalah Nasrani.21 Pendapat demikian dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Rabi’ bin Anas, Ikrimah, Mujahid dan Said bin Jubair.22 Penafsiran ini didasarkan pada hadis dari ‘Adi bin Hatim bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّ الْمَغْضُوبَ عَلَيْهِمْ الْيَهُودُ وَ الضَّالِّينَ النَّصَارَي
Sesungguhnya yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani (HR Ahmad).
Penafsiran itu kian dikukuhkan dengan banyaknya ayat yang memberitakan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang mendapat murka-Nya (lihat QS al-Baqarah [2]: 61, Ali Imran [3]: 112, dan al-Maidah [5]: 60). Adapun kesesatan kaum Nasrani diberitakan dalam QS al-Maidah [5]: 77.
Pengertian Hidayah dalam al-Quran
Dalam al-Quran, kata al-hudâ atau al-hidâyah disebutkan dalam banyak ayat. Meskipun menggunakan kata yang sama, ia menunjuk pada objek yang berbeda-beda. Di antara objek yang ditunjuk oleh kata al-hudâ atau al-hidâyah adalah: Pertama, hidayah yang diberikan secara merata kepada semua mukallaf berupa akal, kecerdasan dan pengetahuan penting yang meliputi segala sesuatu dengan kadar yang sesuai. Pengertian ini terdapat dalam QS Thaha [20]: 50.23
Kedua, petunjuk yang berupa ad-dalâlah wa ad-da’wah wa at-tanbîh (petunjuk, dakwah dan peringatan).24 Al-Jazairi menyebutnya dengan hidâyah bayân wa irsyâd (petunjuk penjelasan dan keterangan);25 yakni petunjuk berupa diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab-Nya. Dalam QS asy-Syura [42]: 52 diberitakan bahwa Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk manusia kepada jalan yang lurus. Seluruh nabi yang diutus kepada setiap kaum juga disebut sebagai hâd[in], pemberi petunjuk (QS ar-Ra’d [13]: 7). Allah Swt. juga telah menjadikan para nabi sebagai pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah-Nya (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 73). Petunjuk ini pula yang telah diberikan kepada kaum Tsamud. Namun, mereka lebih memilih kekufuran (QS Fushilat [41]: 17). Demikian pula petunjuk yang diberikan kepada Adam dan anak-cucunya (lihat QS Thaha [20]: 123). Penyebutan al-Quran sebagai hudâ li al-nâs atau petunjuk bagi seluruh manusia (lihat QS al-Baqarah [2]: 185) dapat dimasukkan dalam pengertian ini. Al-Quran dinyatakan telah memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus (lihat QS al-Isra’ [17]: 9). Semua petunjuk itu berarti penjelasan kebenaran dari Allah Swt. kepada hamba-Nya. Petunjuk ini juga diberikan kepada semua mukallaf. Dengan datangnya petunjuk itu kepada mereka, mereka tidak memiliki alasan di hadapan Allah Swt. jika mengingkari atau melanggarnya (lihat QS al-Nisa’ [4]: 165). Sebaliknya, jika ada suatu kaum yang belum mendapatkan petunjuk ini, maka mereka dijamin tidak akan mendapatkan azab (lihat QS al-Isra’ [17]: 15.
Ketiga, hidayah yang berupa pengokohan dan pemberian taufik.26 Dalam hal ini, manusia diteguhkan dan diberi taufik untuk mengikuti petunjuk-Nya yang disampaikan oleh rasul dan kitab-Nya. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, ayat ini (QS al-Fatihah [1]: 6) termasuk yang mengandung pengertian tersebut. Pengertian ini pula yang dikandung dalam QS Muhammad [47]: 17 yang menjanjikan tambahan petunjuk bagi orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Dalam QS Maryam [18]: 76 disebutkan bahwa Allah Swt akan menambah petunjuk kepada orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk-Nya. Dalam QS an-Nur [24]: 54 juga ditegaskan bahwa orang-orang yang menaati Rasul akan mendapatkan petunjuk.
Jika hidayah dalam pengertian pertama dan kedua diberikan kepada semua mukallaf, tidak demikian dengan hidayah dalam pengertian taufik. Hidayah tersebut hanya akan diberikan kepada orang-orang tertentu. Di antaranya adalah yang berjuang di jalan-Nya (Lihat: QS al-Ankabut [29]: 69).
Sebaliknya, ada pula beberapa golongan manusia yang tidak diberi hidayah taufik ini. Mereka adalah orang-orang kafir (lihat: QS al-Baqarah [2]: 264), orang-orang zalim (lihat: QS al-Baqarah [2]: 258), orang-orang fasik (lihat: QS al-Shaff [61]: 5), melampaui batas lagi pendusta (lihat: QS al-Mukminun [40]: 28) dan orang-orang yang Allah sesatkan (lihat: QS an-Nahl [16]: 37). Demikian pula orang-orang yang berpaling dari kebenaran. Allah Swt. pun memalingkan hati mereka (lihat: QS al-Shaff [61]: 5). Orang-orang yang melampaui batas dikunci hatinya (lihat: QS Yunus [10]: 74).
Selama mereka masih melekat dengan sifat-sifat tersebut, mereka tidak akan mendapatkan hidayah taufik-Nya. Oleh karena itu, jika ingin memperoleh hidayah taufik-Nya, mereka harus terlebih dulu melepaskan semua sifat yang menjadi penghalangnya. Kesempatan untuk mendapatkan hidayah taufik-Nya menjadi terbuka jika mereka bertobat dari semua sifat jahat tersebut (Lihat: QS ar-Ra’d [13]: 27).
Bertolak dari paparan di atas, jelaslah bahwa yang berperan langsung dalam perkara hidâyah dan dhalâlah adalah manusia. Manusia diberi keleluasaan dalam merespon petunjuk Allah yang disampaikan utusan-Nya dan tertera dalam Kitab-Nya. Tentu, pilihan tersebut mengandung konsekuensi. Siapa sajayang mengikuti petunjuk-Nya, ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka. Sebaliknya, siapa pun yang berpaling dari petunjuk dan peringatan-Nya, baginya kecelakaan di dunia dan akhirat (lihat: QS Thaha [20]: 123-124).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ketiga nama tersebut dapat dilihat dalam al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1 (Riyadh: Dar al-Thayyibah, 1989), 49.
2 Dalam Hadits Qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah disebutkan bahwa dalam surat al-Fatihah terbagi menjadi dua bagian. Setengahnya untuk Allah, dan setengahnya lagi untuk hamba-Nya. Bagi hamba-Nya apa yang dia minta.
3 Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 827. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 15 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 353.
4 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 ( Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 98.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kitab, 2003), 147; ay-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 75-76; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 143; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 23; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 46; ash-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 28.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1 (tt: al-Risalah, 2000), 170.
7 Asyl-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 75
8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 24; asy-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 76; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 23.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1, 175; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 76; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 23.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 24;
11 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 54. Dalam as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 79 disebutkan bahwa pendapat tersebut berasal dari Ibnu ‘Abbas.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 24-25.
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 24.
14 Asyl-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 23. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, 46
15 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1, 166.
16 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 549
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 25
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 1, 178-179; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 83
19 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 1, 178
20 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, (tt: al-Risalah, 2000), 39.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 149; as-Sinqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 1 (tt: Dar ‘Alam al-Fawaid, tt), 53.
22 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 83-84; 86.
23 Ar-Raghib al-Asfhani, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 536. Penjelasan hampir sama juga dipaparkan al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 2 (tt: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), 14-15.
24 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 33.
25 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 2003), 15.
26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 33.