HTI

Afkar (Al Waie)

Jejak Neoliberal Di Indonesia

Menjelang digelarnya Pilpres pada 8 Juli 2009, “neolib” menjadi salah satu topik paling hangat. Hal ini seiring dengan dipilihnya Boediono oleh SBY sebagai pendampingnya di dalam memimpin Indonesia ke depan.

Tidak dapat dipungkiri, “neolib” atau neoliberalisme telah menjadi isu menguntungkan bagi kandidat Mega-Pro dan JK-Win dan sebaliknya merugikan kandidat incumbent SBY-Boediono. Isu ini membuat kubu SBY-Boediono “kebakaran jenggot”.

SBY menyebut pihak-pihak yang menuduhnya “neolib” tidak memahami apa yang disebut dengan neoliberalisme. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Pemerintah tidak mungkin menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Begitu pula Pjs. Gubernur BI, Miranda S. Goeltom, menganggap dirinya yang sudah 42 tahun belajar ekonomi tidak mengenal apa itu neoliberalisme. Sejumlah ekonom seperti Chatib Basri dan Raden Pardede juga menekankan bahwa tidak ada jejak neoliberalisme di Indonesia.


Definisi dan Akar Neoliberalisme

Saat ini perbincangan tentang neoliberalisme telah lepas dari akar ideologinya (Kapitalisme). Banyak yang memandang neoliberalisme hanya sebatas “isme” anti intervensi pemerintah dan anti subsidi. Karena itu, pasangan SBY-Boediono mengklaim pemerintahannya bukanlah pemerintahan neoliberal, melainkan pemerintahan yang menjalan kebijakan ekonomi jalan tengah. SBY beralasan, pemerintahannya masih menerapkan intervensi dan subsidi, termasuk program BLT dan PNPM Mandiri.

Neoliberalisme juga lebih banyak dipandang sebagai konsep ekonomi pasar berdasarkan Konsensus Washington yang dirumuskan oleh John Williamson (1989). Konsensus Washington yang berisi 10 item liberalisasi ekonomi seperti disiplin fiskal, deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi dan liberalisasi sektor finansial menjadi standar paket reformasi ekonomi yang ditawarkan (baca: dipaksakan) IMF, Bank Dunia dan Amerika Serikat kepada Dunia Ketiga.

Neoliberalisme merupakan “isme” yang dinisbatkan pada “watak” pemerintahan Augustu Pinochet (1873-1990) di Chile, sebagai hasil perselingkuhan keditaktoran dengan ekonomi pasar bebas (B. Hery Priyono: 2009). Perselingkuhan ini terjadi ketika Pinochet yang meraih kekuasaan melalui kudeta berdarah mengangkat Chicago boys untuk mengelola kebijakan ekonomi.

Chicago boys adalah para pemuda Chile yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Chicago. Selama 1955-1963, 30 pemuda Chile telah mendapat gelar PhD di bidang ekonomi. Di universitas inilah para pemuda tersebut dicuci otaknya dengan pemikiran ekonomi ala mazhab Chicago, yakni mazhab ekonomi yang dikembangkan oleh seorang imigran Yahudi Milton Friedman yang mendapat gelar “nabi” Neoliberalisme (Wibowo: 2004).

Milton Friedman bersama Friedrich August Hayek (ekonom dari Austria) menjadi peletak dasar bangunan neoliberalisme. Hayek mengunggulkan Kapitalisme pasar bebas dengan menempatkan harga sebagai metode untuk mengoptimalkan alokasi modal, kreativitas manusia dan tenaga kerja. Adapun Friedman berpandangan, insentif individual merupakan cara terbaik untuk menggerakkan ekonomi. Menurut Friedman, “Ada satu dan hanya satu tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumberdayanya untuk aktivitas yang mengabdi pada akumulasi laba…” (B Herry Priyono: 2003).

“Isme” liberal baru yang dikembangkan Friedman dan Hayek tidak dapat dipisahkan dari nilai dan spirit ideologi Kapitalisme yang dibangun dari filsafat liberalisme klasik. Menurut Betrand Russel (2002), filsafat liberalisme klasik merupakan inti pemikiran asas ideologi Kapitalisme, yakni sekularisme.

Liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan individu diperlukan untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai sekular ke seluruh dunia. Kebebasan individu tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) dan kebebasan berperilaku (freedom of behavior) (Zallum: 2001). Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian.

Dalam liberalisme klasik Adam Smith, perekonomian harus berjalan tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire). Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib) yang akan menciptakan keseimbangan secara otomatis. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak, indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim, dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan, maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Pandangan ekonomi Smith ini kemudian dikenal sebagai ekonomi pasar murni.

Berbeda dengan liberalisme klasik yang masih berbicara tentang kepentingan publik, liberalisme Friedman menempatkan transaksi ekonomi (motif materi) sebagai satu-satunya landasan interaksi antarmanusia dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan hubungan antarbangsa.

Meskipun neoliberalisme mengusung ide pasar bebas, bukan berarti persaingan yang tercipta di pasar berlangsung secara bebas. Dalam bahasa Prof. Claudia von Werlhof (2007), kebebasan ekonomi yang terjadi adalah kebebasan bagi korporasi, bukan bagi masyarakat. Tidak benar pula jika dalam kerangka neoliberalisme, negara tidak melakukan campur tangan. Bahkan sering dalam merealisasikan kebijakan neolib pemerintah menerapkan kebijakan “tangan besi”.

Tingkat resistensi masyarakat terhadap kebijakan neoliberal sangat besar. Untuk itu, kebijakan neoliberal selalu dibungkus secara apik sebagai bentuk kebohongan publik. Misalnya, globalisasi dan pasar bebas digembar-gemborkan sebagai jalan menuju kemakmuran; privatisasi dianggap sebagai upaya untuk memperluas kepemilikan masyarakat.

Terlepas dari adanya perbedaan neoliberalisme dengan liberalismenya Adam Smith, serta pandangan yang bertolak belakang dengan mazhab Keynesian yang mengedepankan campur tangan pemerintah, neoliberalisme merupakan wujud baru Kapitalisme yang lebih serakah dan jahat.


Neoliberal dari Masa ke Masa

Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar, khususnya Amerika Serikat.

Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan bahwa Amerika menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru merdeka masuk ke dalam cengkeramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi.

Amerika mendorong pembangunan berbasis hutang dan investasi asing di Dunia Ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap hutang (debt trap) sehingga negara pengutang mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lutut”.

Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden AS Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar” di wilayah Asing Tenggara (Ransom: 2006). Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia (Johnson Library: 1967).

Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah pejabat pro Amerika.

Soemitro bersama Soedjatmoko merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang berorientasi ke Barat. Pada 1949 di School of Advanced International Studies yang dibiayai Ford Foundation, Soemitro mengatakan Sosialisme yang diyakininya termasuk akses seluas-luasnya terhadap sumberdaya alam Indonesia dan insentif yang cukup bagi investasi asing. Adapun Soedjatmoko, di hadapan tokoh-tokoh Amerika di New York, menyampaikan strategi Marshal Plan di Eropa bergantung pada ketersediaan sumberdaya di Asia.

Sejak 1951 Soemitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di kampus ini, Soemitro bekerjasama dengan Ford Foundation mengatur pemuda Indonesia untuk disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley dan Harvard. Inilah cikal bakal lahirnya Mafia Berkeley.

Pada saat itu, Ford Foundation dipimpin Paul Hoffman yang juga pemimpin Marshall Plan di Eropa. Tujuan program pendidikan para pemuda Indonesia di Amerika adalah untuk mencetak para administrator modern di dalam pemerintah Indonesia yang secara tidak langsung bekerja di bawah perintah Amerika. Hal ini persis seperti yang dilakukan Amerika terhadap para pemuda Chile yang tergabung dalam Chicago Boys.

Jika Chicago Boys memegang peranan penting di tubuh pemerintahan setelah kudeta berdarah Jenderal Augusto Pinochet yang didukung Amerika, maka Mafia Berkeley mendapatkan kedudukan strategis setelah Jenderal Soeharto mengambil-alih kekuasaan dari tangan Soekarno dengan dukungan Amerika pula (Ransom: 2006).

Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkaplingan wilayah dan sumberdaya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).

Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport, merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut.

Setahun kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah anggota Mafia Berkeley duduk dalam kabinetnya. Soemitro Djojohadikusumo menjadi Meteri Perdagangan, Widjojo Nitisastro menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Emil Salim menjadi Wakil Ketua Bappenas, Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan, Subroto menjadi Direktur Jenderal Pemasaran dan Perdagangan, Moh. Sadli menjadi Ketua Tim Penanaman Modal Asing dan Sudjatmoko menjadi Duta Besar RI di Washington (Ransom: 2006).

Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada hutang. Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan hutang dan memobilisasi hutang baru. Bank Dunia berperan dalam memandu perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.

Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara siknifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).

Pada awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya, hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002).

Tekanan beban hutang Orba mendorong Pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang Pemerintah (Muttaqin: 2008).

Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas, khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.

Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 triliun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.

Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi: meningkatkan hutang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk hutang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 triliun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi, sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-Boediono bahwa mereka tidak menjalan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, karena mereka pernah menjadi incumbent.


Kesimpulan

Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme neoliberal pada saat ini. Karena itu, sangat memprihatinkan pejabat negara yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan dengan kebijakan negara-negara kapitalis besar sekali pun.

Ini adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalam “topeng” pembangunan, kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi dan privatisasi; termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.

Karena itu, Manifesto Hizbut Tahrir Indonesia untuk Indonesia lebih baik dan kuat dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah menjadi sangat relevan sebagai sebuah solusi. Sebab, masalah negeri kita tidak semata-mata masalah personal pemimpin yang neolib, tetapi juga akibat bercokolnya sistem Kapitalisme liberal di Indonesia. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*