Istana Kaibon dan Surasowan, yang menjadi tempat tinggal para sultan Banten, kini yang tersisa hanya pondasi, sedikit tembok, dan pagarnya saja. Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Deandels, yang memimpin pasukan kompeni, adalah penghancur dua istana itu sekitar tahun 1808, ketika Kesultanan Banten dipimpin Sultan Aliuddin II. Kesultanan Banten akhirnya dihapuskan. Tepatnya pada tahun 1813. Sejak saat itu, tidak ada lagi pemerintahan yang dipimpin sultan di Banten.
Melemahnya Kesultanan Banten sebenarnya terjadi setelah Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, melakukan siasat licik dengan Belanda. Karena siasat itu, terjadi peperangan pertama antara Banten dan Belanda. Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) setidaknya masih mampu mempertahankan istananya. Hanya saja, karena iming-iming harta kepada Sultan Haji, kompeni mampu menghancurkan Istana Surasowan.
Banten terus melemah ketika Sultan Haji menjadi pemimpin. Banyak tukar guling wilayah yang dilakukannya dengan penjajah. Misalnya, perkebunan cengkeh di Lampung, kala itu menjadi kawasan Kesultanan Banten, diberikan ke VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), tanggal 12 Maret 1682 (www.wikipedia.org).
Pergolakan di pemerintahan Kesultanan dimanfaatkan Belanda untuk terus menggempur, menjajah dan menjadikan warga Banten sebagai budak; disertai dengan misi kristenisasi dan menghancurkan Islam secara bertahap. Akibatnya, Banten kehilangan pemimpin yang amanah, pemberani, serta kuat keimanan dan ketakwaannya. Akhirnya, Banten terus melemah dan dibumihanguskan.
Istana yang dibangun menggunakan batu-bata merah dan batu karang kini hanya tinggal puing. Yang masih tegak berdiri adalah Masjid Agung Banten dengan menara setinggi 30 meter yang khas dan hingga sekarang menjadi ikon lambang Provinsi Banten.
Kehidupan Banten
Banten terdiri dari wilayah Serang, Cilegon, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Sebelum abad ke-16, Banten adalah kerajaan yang berbasis agama Hindu dan memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajaran.
Pada awal abad ke-16 yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surasowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil bumi lainnya diekspor.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten ketika Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir, mengutus Prabu Kian Santang, penasihat Kerajaan Pajajaran, ke Makkah. Di sana ia memperoleh berita tentang Islam. Kian Santang kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat, termasuk di wilayah Banten Girang.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524), dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling dan Dipati Cangkuang.
Pada tahun 1526 Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten Girang (Hindu) dari Pajajaran. Islam lalu menyebar ke berbagai wilayah di Banten.
Akhirnya, seiring dengan pengusaan Banten, Kerajaan Pajajaran runtuh, termasuk Kerajaan Banten Girang.
Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surasowan, dekat pantai. Ini dilakukan pada 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan 8 Oktober 1526. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusatĀ pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surasowan didirikan sebagai ibukota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin.
Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasi-kan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. []
Daftar Pustaka:
1. Ensiklopedi Islam I, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-11, 2003. pp 236-239.
2. Asep Ahmad Hidayat, www.islam-sunda.com
3. Alwi Shahab, www.republika.co.id
4. Hoesein Djajadiningrat, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving, Nederland, 1913. Diterjemahkan, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa, Djambatan, Jakarta, 1983.
4. http://adhuy.wordpress.com/2006/02/14/sejarah-sunda-130-1579-m-yoseph-iskandar/+Yosep+Iskandar+Banten&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id
5. Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, Serang, 1993.