Istilah al-khul’u termasuk dalam hukum tentang pernikahan. Khul’u berasal dari kata khala’a–yakhla’u–khal’an, secara bahasa artinya naza’a (melepaskan/menanggalkan).
Para fukaha menggunakan kata al-khul’u untuk menyebut kondisi khusus, yaitu kondisi saat istri tidak suka lagi kepada suami, tidak ingin lagi hidup bersama sebagai suami-istri dan keinginan untuk berpisah itu berasal dari si istri. Dalam kondisi ini syariah memperbolehkan si istri menebus perpisahannya dari suaminya dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suami kepadanya tanpa ada tambahan dan melepaskan diri dari suaminya atas izin imam atau yang mewakilinya, lalu akad pernikahannya di-fasakh (dibatalkan). Dengan itu, ia telah lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, dan si suami tidak berhak merujuk istrinya yang dikhul’u, tetapi ia boleh menikahinya kembali dengan akad dan mahar yang baru, tentu dengan kerelaan mantan istrinya itu.
Kondisi ini disebut al-khul’u, dengan uslûb majaz isti’ârah, diserupakan dengan khal’u ats-tsawb (melepaskan pakaian). Sebab, suami—sebagaimana diibaratkan al-Quran—adalah pakaian bagi istri dan sebaliknya; istri adalah pakaian bagi suami (lihat QS al-Baqarah [2]: 187).
Khul’u ini inisiatifnya berasal dari istri, bukan dari suami. Hal itu sesuai dengan ketentuan al-Quran dan as-Sunnah. Al-Quran menetapkan bahwa talak ada di tangan suami. Jika suami tidak lagi menyukai istrinya atau tidak ingin melanjutkan pernikahan dengannya maka ia bisa menceraikan istrinya itu. Ia haram menimpakan dharar terhadap istrinya agar istrinya merelakan sebagian hak miliknya supaya diceraikan (lihat QS al-Baqarah [2]: 231).
Jadi, hak menceraikan ada di tangan laki-laki (suami). Jika ia tidak ingin menceraikan istrinya, sementara istrinya tidak mau lagi menjadi istrinya karena sebab tertentu dan ia tidak ingin menceraikan istrinya dengan makruf, maka solusinya adalah khul’u; yaitu istri menebus dirinya demi berpisah dari suaminya.
Ibn Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Ibn Abbas:
Sesungguhnya khul’u pertama di dalam Islam adalah saat saudari Abdullah bin Ubay, mendatangi Rasulullah saw., lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, jangan sampai sesuatu menghimpun kepalaku dengan kepalanya (yaitu Tsabit bin Qais, suaminya) selamanya! Aku naik ke sisi balkon, aku lihat ia menghadap ke sejumlah orang, ternyata ia yang paling hitam, paling pendek dan paling buruk wajahnya!” Suaminya berkata, “Wahai Rasulullah, aku beri ia harta terbaikku, sebuah kebun. Jika ia menolakku, kembalikan kebunku!” Rasulullah bersabda, “Apa yang kamu katakan.” Wanita itu berkata, “Baiklah, jika ia mau, aku tambah!” Ibn Abbas berkata, “Rasul pun kemudian memisahkan keduanya.”
Jadi, jika seorang wanita tidak menginginkan suaminya karena ketidaksukaannya kepada suaminya atau tidak bisa lagi hidup bersama, sementara suaminya masih ingin, maka suaminya boleh meminta istrinya itu mengembalikan mahar yang dia berikan dan istrinya melepaskan diri (khul’u) darinya.
Khul’u hukumnya mubah bagi istri dan suaminya, bukan wajib, karena Allah berfirman:
فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Tidak ada dosa atas keduanya dalam hal bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya (QS al-Baqarah [2]: 229).
Seorang suami, selama menunaikan hak-hak istrinya—meski istrinya nusyûz, tidak taat kepadanya dan tidak ingin hidup bersamanya—diwajibkan oleh Allah untuk menasihatinya. Jika tidak mempan, pisah ranjang. Jika tidak mempan juga, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan/tidak melukai (lihat QS an-Nisa’ [4]: 34). Allah tidak mewajibkan selain itu, misalnya menceraikannya atau meng-khul’u-nya.
Kebolehan istri melakukan khul’u (meminta pisah) adalah karena adanya sebab pada dirinya yang dikhawatirkan mengakibatkan dia dan suaminya tidak bisa menjalankan hukum-hukum Allah (QS al-Baqarah [2]: 229). Istri haram meminta khul’u jika tanpa ada sebab tersebut karena Rasul saw. bersabda:
الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
Wanita yang meminta khul’u adalah wanita munafik (HR Tirmidzi dan al-Baihaqi dari Tsauban).
Hal senada diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani dari Abu Hurairah.
Maksudnya adalah wanita yang meminta khul’u dari suaminya tanpa ada sebab dalam dirinya yang dikhawatirkan menyebabkan dia dan suaminya tidak bisa menjalankan hukum Allah dalam kehidupan suami-istri.
Harta yang boleh diambil suami sebagai tebusan dalam khul’u adalah sejumlah mahar yang telah dia berikan kepada isterinya dan tidak boleh lebih. Hal itu karena meskipun ayat QS al-Baqarah [2]: 229 menyatakan secara umum, ayat tersebut dikhususkan oleh hadis. Dalam kasus khul’u Jamilah binti Ubay bin Salul dengan suaminya Tsabit bin Qais bin Syamas, Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda kepada Jamilah:
أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَتْ نَعَمْ. فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلاَ يَزْدَادَ
“Maukah engkau mengembalikan kebunnya?” Jamilah menjawab, “Baiklah.” Lalu Rasul saw. menyuruh Tsabit mengambil kebunnya dan tidak menambahnya (HR Ibn Majah).
Hal senada ririwayatkan oleh al-Baihaqi dari Ibn Abbas dan Abu az-Zubair.
Khul’u harus seizin imam atau yang mewakilinya, yaitu qadhi. Hal itu karena kebolehan khul’u bukan hanya didasarkan pada kekhawatiran suami-istri tidak bisa melaksanakan hukum Allah, tetapi Allah menambahkan syarat: “fa in khiftum allâ yuqîmâ hudûdaLlâh (jika kalian khawatir keduanya tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah).”
Adanya perubahan dhamir dari mutsanna (yakhâfâ) menjadi jamak (khiftum) menunjukkan bahwa khul’u itu disandarkan pada qanâ’ah pihak lain selain suami-istri itu. Pihak lain yang memiliki wewenang untuk itu adalah imam atau yang mewakili, yaitu qadhi. Hal itu juga diperkuat oleh peristiwa khul’u yang terjadi pada masa Rasul saw. dan Khulafaur Rasyidin.
Khul’u bukan merupakan talak, tetapi merupakan fasakh. Hal itu karena: Pertama, dalam QS al-Baqarah [2]: 229-230, setelah disebutkan bahwa talak itu dua kali, lalu disebutkan kebolehan khul’u dan kemudian disebutkan tentang talak ba’in kubrâ (talak tiga). Jika khul’u merupakan talak, artinya talak ada empat, padahal jelas, talak hanya tiga. Jadi khul’u itu bukan talak.
Kedua, dalam riwayat Ibn Jarir dari Ibn Abbas di atas hanya disebutkan “fa farraqa baynahumâ (Rasul lalu memisahkan keduanya).” Di dalam riwayat al-Baihaqi dari Ibn Abbas dan Abu az-Zubair disebutkan “wa khalla sabîlahâ (ia melepaskannya).” Dalam riwayat Malik di dalam Al-Muwatha’, an-Nasai, Abu Dawud dari Habibah binti Sahal al-Anshariyah yang mengajukan khul’u atas suaminya Tsabit bin Qais bin Syamas kepada Rasulullah saw., Beliau menyuruh Tsabit untuk mengambil kembali mahar yang telah ia berikan. Pada akhir riwayat dikatakan, “fa akhadza minhâ wa jalasat hiya fî ahlihâ (lalu Tsabit mengambilnya dan Habibah duduk di keluarganya).”
Rubayyi’ binti Mu’awidz bin Afra’ meriwayatkan bahwa Tsabit bin Qais memukul istrinya hingga tangan istrinya (Jamilah binti Abdullah bin Ubay) patah. Lalu saudara laki-laki Jamilah mengadukannya kepada Rasul saw., lalu Rasul saw. bersabda kepada Tsabit, “ “Ambillah miliknya yang menjadi kewajibanmu (mahar) dan lepaskan dia!” Tsabit menjawab, “Baiklah.” Lalu Rasul saw. menyuruh istrinya menahan diri satu kali haidh dan pulang kepada keluarganya (HR an-Nasai dan ath-Thabrani).
Adapun riwayat Ibn Abbas oleh Bukhari dan lainnya yang menyebutkan sabda Rasul “thalliqhâ tathlîqah (talaklah ia),” yang dijadikan dasar pendapat bahwa khul’u adalah talak, maka riwayat Ibn Abbas lainnya menyatakan, “fa farraqa baynahumâ,” dan “khallâ sabîlahâ.” Dengan demikian, kata thalâq tersebut bermakna bahasa, yaitu menghilangkan ikatannya.
Ibn Abbas sendiri berpendapat bahwa khul’u bukan talak dan ‘iddah wanita yang meminta khul’u adalah satu kali haid. Riwayat dari Habibah binti Sahal al-Anshariyah dan dari istri Tsabit bin Qais yang menjadi pelaku peristiwa juga tidak menyebutkan talak, tetapi menyebutkan “khalli sabîlahâ”, “talhaqu bi ahlihâ”, atau “jalasat fî ahlihâ”. Menurut ketentuan ushul, riwayat pelaku lebih kuat dan riwayat Ibn Abbas yang menyebutkan talak itu lebih lemah.
Ketiga, ‘iddah wanita yang meminta khul’u adalah satu kali haid. Hal itu sesuai riwayat Rubayyi’ binti Muawidz di atas; juga riwayat Ibn Abbas bahwa istri Tsabit bin Qais meminta khul’u dari suaminya:
فَأَمَرَهَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Nabi saw. lalu menyuruhnya menunggu masa ‘iddah satu kali haid (HR at-Tirmidzi).
Jadi, khul’u bukan merupakan talak, tetapi merupakan fasakh. Karena itu, si suami tidak berhak merujukinya setelah khul’u, baik selama masa ‘iddah ataupun sesudahnya. Namun, ia boleh menikahinya kembali dengan akad dan mahar baru, yang tentu saja dengan kerelaan mantan istri itu. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb [Yahya Abdurrahman]