Korea Utara (Korut) mengumumkan pada tanggal 25 Mei 2008 bahwa ia berhasil melakukan tes nuklir. Pada tanggal 8 Mei sebelumnya Korut memperingatkan bahwa ia akan memperkuat kekuatan nuklirnya dan menuduh pemerintahan Obama melakukan aksi permusuhan. Korut juga menolak adanya negosiasi yang melibatkan 6 pihak. Pada tanggal 27 Mei 2009, Korut menyatakan tidak akan menghentikan permusuhan terhadap Amerika Serikat (Al-Jazeera, 31/5/09).
Ketegangan semakin meninggi, terutama sejak Korut melancarkan tes nuklir pada bulan Oktober 2006, dan mencapai titik yang mengkhawatirkan bulan lalu ketika bulan lalu Korut menguji peluncuran misil balistik yang berarti Korut berhasil meluncurkan rudal berhulu ledak nuklir jarak jauh tanpa harus diluncurkan dari pesawat terbang, yang bisa dihentikan sebelum mencapai sasaran. Lalu setelah terjadi tes terakhir pada tanggal 25 Mei 2009, ketegangan mencapai titik yang paling mengkhawatirkan ketika dikabarkan bahwa tes nuklir berhasil dilakukan.
Reaksi Internasional
Reaksi Internasioanl berdatangan dari berbagai negara mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberikan sanksi kepada Korut. Namun, kantor berita Korut mengeluarkan pernyataan tanggal 25 Mei 2009 dengan mengutip pernyataan Kementerian Luar Negeri Korut, “Jika Dewan Keamanan PBB melakukan aksi provokatif, Korut akan mengambil tindakan pertahanan diri yang lebih kuat.”
Reaksi pemerintahan AS terungkap dalam kata-kata Obama, “Usaha Korut untuk mengembangkan senjata nuklir dan program misil balistik adalah ancaman terhadap perdamaian internasional dan keamanan; saya mengutuk aksi mereka…Kini AS dan masyarakat internasional harus mengambil tindakan.” (Russia Today, 25/5/09).
Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengatakan dalam Konferensi Forum Keamanan Asia di Singapura, “Kami tidak akan berdiam diri ketika Korut membangun kapasitas untuk menjadi sumber kehancuran bagi tetangganya maupun AS.”
Inilah ekspresi kemarahan AS terhadap perbuatan Korut.
Permasalahan AS dengan program nuklir Korut dimulai sejak tahun 1986 ketika AS menuntut informasi detil dari Korut, yang menolak untuk memberikannya kepada AS dan justru mengirim info sebesar 19 ribu halaman tentang program nuklirnya ke Cina. Perjanjian antara AS dan Korut terjadi pada tahun 1994 setelah AS mengancam akan membidik instalasi reaktor nuklir Korut. Perjanjian tersebut memerintahkan penghentian program nuklir Korut, menutup Reaktor Yongbyon yang telah beroperasi sejak 1987. Sebagai gantinya, AS akan mengirim 2 jenis reaktor ‘light-water’. Namun, AS tidak memenuhi janjinya sehingga Korut pun memulai program nuklirnya kembali, menyalakan Reaktor Yongbyon, dan mengusir 2 pengamat internasional pada tahun 2002. Ini terjadi setelah AS menuduh Korut melakukan program nuklir rahasia dan Korut membalas balik dengan menuduh AS tidak menepati janjinya.
Pada bulan Oktober 2006, Korut mengumumkan tes nuklirnya yang pertama. Pada bulan Februari 2007, 6 negara (Korsel, Korut, AS, Rusia, Cina dan Jepang) berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan operasi Reaktor Yongbyon, dengan insentif pengiriman pasokan bahan bakar dan bantuan dari AS sebesar 25 juta dolar. Setelah bantuan tunai mencapai Korut, Korut akan membolehkan inspeksi dari pengamat internasional serta menutup reaktor Yongbyon. Pada bulan juli 2008, Korut mengirim laporan tentang program nuklir sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Proses negosiasi terhenti pada tahun 2008 karena perbedaan persepsi dalam memonitor kepatuhan Korut dalam menghentikan program nuklirnya.
Pada awal tahun ini, Korut mengumumkan untuk menarik diri dari negosiasi 6 negara dan memulai kembali aktivitas Reaktor Yongbyon setelah kembali mengusir dua pengamat internasional dan mengancam untuk memulai tes nuklir. Pada bulan April tahun ini, Korut melakukan tes peluncuran roket jarak jauh yang bisa membawa satelit. Dewan Keamanan PBB pun mengeluarkan resolusi mengutuk uji coba roket dan menyerukan untuk memberikan sanksi yang sempat dibekukan setelah Resolusi no. 1718 pada tahun 2006, yang dikeluarkan setelah tes nuklir Korut yang pertama. Lalu pada tanggal 14 April 2009, Korut menarik diri dari perundingan 6 negara sebagai protes terhadap diberlakukannya sanksi terhadap dirinya sehari sebelumnya.
Dari fakta tersebut, tampak bahwa AS berlaku curang terhadap Korut dengan tidak memenuhi janjinya. Namun, Korut juga sudah menyadari kemungkinan tersebut. Ketika ia melihat AS berusaha mengelak, Korut pun memulai aktivitas nuklirnya. Tampaknya AS tidak berlaku tegas, mungkin karena tidak mau hubungannya dengan Cina terganggu, karena AS memiliki kepentingan yang jauh lebih besar dengan Cina ketimbang reaktor nuklir Korut.
Di samping itu, perbuatan, pernyataan dan tanggapan AS terhadap peristiwa di Asia Timur Laut menunjukkan tujuan AS yang jelas. Salah satunya adalah memperkuat keberadaannya di sana sehingga membuat negara-negara di wilayah tersebut semakin bergantung kepadanya. Hal ini untuk memastikan posisi Amerika untuk memaksakan kehendaknya dan mengeksploitasinya karena AS memiliki jumlah tentara yang besar sekitar 250 ribu personil.
Artinya, AS berusaha mengendalikan krisis untuk menguatkan posisi di wilayah ini dan menunjukkan kepemimpinannya, terutama untuk menakut-nakuti Cina bahwa AS tidak segan untuk mengobarkan perang di tetangga dekat dan sekutu Cina seperti Korut kapan saja. Di lain pihak, AS ingin menggunakan kesempatan untuk memeras Cina supaya mendapatkan kompromi di bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan; juga masalah politik regional sehingga bisa menunda penyatuan Taiwan ke Cina. Dengan itu, Cina bisa dikendalikan dan dibatasi ruang geraknya pada perbatasannya saja dengan menggunakan alasan program nuklir dan rudal Korut. Ini tidak aneh dan bisa diprediksi dari sikap AS menempatkan senjati anta rudal di Polandia dan radar deteksi rudal di Republik Czech untuk menghadapi Rusia dengan menggunakan Iran dan Korut sebagai alasan.
Mengenai sikap Cina, Cina menyerukan Korut untuk menahan diri dan memberikan kesempatan untuk negosiasi diplomatis. Dalam Forum Keamanan Asia di Singapura, Kepala Staf Militer Cina Ma Shao Tian mengusulkan untuk bersikap tenang dan menggunakan metode yang tepat dalam menghadapi Korut. Dia juga menyerukan untuk menghapus semua bentuk kepemilikan senjata pemusnah massal di wilayah ini (Al-Jazeera, 30/05/09).
Hal ini menunjukkan bahwa Cina tidak siap menghadapi kemungkinan diserangnya Korut. Sebagaimana AS yang mengeksploitasi isu nuklir, Cina juga berusaha menggunakan isu ini untuk kepentingannya, yaitu dalam menghadapi masalah Taiwan, agar bisa disatukan kembali ke Cina. Tujuan Cina adalah memberikan tekanan kepada AS agar melepaskan dukungannya kepada Taiwan sehingga tidak menolak usaha Cina dalam mengambil alih Taiwan. Artinya, AS dan Cina sama-sama menggunakan isu Korut untuk Taiwan, tetapi dalam arah yang berlawanan.
Adapun bagi Korsel, ia tidak ingin memburuknya situasi akan mengarah ke tercetusnya perang yang bisa mengakibatkan dirinya menjadi korban. Menhan Korsel Lee Sang-Hee menyatakan dalam Forum Keamanan Asia di Singapura, bahwa negaranya akan tetap bernegosiasi dalam kelompok 6 negara dan masyarakat internasional untuk mendapatkan solusi dari Krisis Korut (Al-Jazeera, 30/5/09).
Mengenai reaksi Rusia, ini terlihat dari pernyataan Kantor Kepresidenan Rusia dalam pembicaraan telepon antara Presiden Medvedev dan Perdana Menteri Jepang Taro Aso. Dua belah pihak sepakat untuk memberikan tanggapan yang serius dari aksi yang bisa mengancam keamanan dunia (Russia Today, 30/5/09).
Alexei Borodavkin, Deputi Menlu Rusia, menyerukan kepada Pyong Yang untuk tidak meluncurkan uji misil balistik (Russia Today, 27/3/09).
Pernyataan tersebut mengindikasikan posisi Rusia dalam menyikapi Korut yang berbeda dari Cina. Dengan mengatakan hal ini, Rusia bertujuan untuk dapat berhubungan baik dengan Jepang. Rusia tidak memiliki kepentingan di Korut, juga Rusia tidak ingin AS menggunakan isu Korut sebagai alasan menguatkan keberadaannya di wilayah tersebut. Rusia ingin Korut agar tetap memiliki komitmen dalam perundingan 6-negara dan tidak menarik dirinya, agar solusi bisa tercapai dan menghentikan konflik di semenanjung Korea tersebut.
Apakah ketegangan ini akan mengarah pada tercetusnya perang? Ataukah AS akan menyerang instalasi nuklir Korut adalah kemungkinan yang sangat kecil, minimal dalam masa dekat?
AS tidak menggunakan aksi militer ketika Korut tidak memiliki nuklir ataupun misil balistik. AS juga sudah mengetahui rencana Korut untuk menguasai teknologi nuklir ini. Jadi, bagaimana mungkin AS akan menyerang Korut ketika ia sudah memiliki senjata nuklir dan memiliki hubungan yang erat dengan Cina?
Namun demikian, AS akan menggunakan insentif dan cara lain untuk membujuk Korut agar mau terlibat kembali dalam meja perundingan dengan melibatkan Korsel, dan mencari celah untuk membuka komunikasi dengan beberapa elemen Korut. Dengan demikian, AS akan berusaha untuk memulai mengubah kepemimpinan Korut agar melahirkan pemimpin yang lebih moderat, yaitu yang memahami kepentingan AS dan mau menerima insentif yang AS tawarkan.
Inilah cara yang diadopsi AS dengan negara-negara komunis. (Sumber: “At-Tahlîl as-Siyâsiyah/Jawâb-Su’âl” 7 Jumaduts Tsani 1430 H [31/5/2009 M; Hizb-ut-tahrir.org/arabic).
kira-kira kapan dunia ini damai ya…….