“Peradaban Berhutang Besar Terhadap Islam.” (Obama, 5/6/2009).
Lepas dari pro-kontra pidato Obama 5 Juni kemarin, ada yang menarik dari pidato itu, yakni pengakuan jujur Obama tentang sumbangan Islam terhadap peradaban dunia. Menurutnya, “Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin.” (http://jakarta.usembassy.gov.).
Pengakuan jujur ini penting dicatat untuk membantah pandangan beberapa pihak yang mengidap Islamophobia akut seakan-akan Islam tidak pernah memberikan sumbangan apapun terhadap peradaban dunia. Kita juga tentu harus mengakui dalam bidang sains dan teknologi, Amerika Serikat dengan ideologi Kapitalisme telah memberikan sumbangan besar untuk dunia. Banyak temuan-temuan besar di bidang sains dan teknologi di era Kapitalisme sekarang membuat dunia menjadi lebih mudah dan nyaman.
Memang tidak ada satu peradaban pun yang memutlakkan dirinya sebagai satu-satunya penyumbang kemajuan sains dan teknologi, baik itu Islam atau Kapitalisme. Sebab, setiap peradaban dunia memberikan sumbangan besar dalam bidang ini, baik sebagai penemu awal atau inovasi pengembangannya.
Yang membedakan adalah untuk apa sains dan teknologi itu digunakan: apakah untuk kebaikan manusia atau justru menjadi alat untuk memusnahkan manusia. Nuklir, misalnya, adalah penemuan penting abad ini. Tentu akan sangat berguna kalau nuklir digunakan untuk sumber energi, namun menjadi bencana ketika digunakan untuk alat pembunuh massal seperti yang dilakukan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki untuk kepentingan nafsu imperialismenya.
Pandangan Islam sendiri dalam masalah ini sangat jelas. Untuk memudahkan, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh membedakan antara madaniyah dan hadhârah. Segala hal yang berhubungan dengan sains dan teknologi bisa diterima dari manapun asalnya karena merupakan madaniyah (produk kebudyaan material). Umat Islam boleh menggunakan komputer terkini atau handphone canggih, internet berikut facebook atau email meskipun dikembangkan oleh negara-negara Barat. Tentu saja asal semua itu digunakan untuk perbuatan yang tidak bertentangan dengan hukum syariah.
Berbeda halnya dengan hadhârah (peradaban) berupa kumpulan pemahaman (mafâhîm) tentang kehidupan yang dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu. Islam melarang umatnya mengadopsi pemikiran liberalisme dalam ekonomi, demokrasi dalam bidang politik, atau ide pluralisme. Pemikiran ini merupakan pemahaman yang muncul dari pandangan hidup tertentu, yakni sekularisme, yang bertentangan dengan Islam. Satu-satunya pandangan hidup yang boleh dianut oleh Muslim hanyalah akidah Islam.
Pengakuan jujur terhadap peradaban Islam seperti ini bukanlah yang pertama kali. Namun, ada satu hal yang belum secara jujur diakui atau paling tidak sering ditutupi, bahwa peradaban Islam yang memberikan sumbangan besar bagi dunia ini terjadi di era Kekhilafahan. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem negara Khilafah yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan manusia.
Padahal peradaban apapun di dunia ini, apalagi yang cemerlang, pasti dibangun dari sebuah pandangan hidup yang jelas (ideologi) dengan sistem aturan yang mengatur kehidupannya. Semua itu tentu terlembagakan dalam sebuah institusi politik penting yang sering disebut negara. Peradaban Kapitalisme tentu memiliki basis ideologi yang jelas, sistem kehidupan yang jelas, dan butuh negara untuk mewujudkannya secara kongkret. Sama halnya dengan peradaban Islam, tidak mungkin muncul tanpa ideologi yang menjadi dasarnya (akidah Islam), sistem hukum/aturan yang mengatur kehidupannya (syariah Islam) dan institusi politik yang mengatur dan menerapkan hukum (Khilafah Islam).
Karena itu, sebuah kepicikan atau kedustaan yang fatal kalau memuji peradaban Islam, tetapi melepaskannya dari ketiga aspek itu (akidah, syariah dan Khilafah). Padahal ketiga hal itulah hal yang paling penting menentukan kemunculan sebuah peradaban dan keagungannya.
Sayang, justru ketiga hal itulah yang sering ditutup-tutupi bahkan menjadi obyek penyesatan dengan membangun stigma negatif terhadapnya. Pada tanggal 5 September 2006 Presiden George W. Bush mengatakan, “Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah, dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian.”
Tony Blair, saat menjadi perdana menteri Inggris, juga menyatakan, bahwa salah satu ciri dari ideologi iblis (evil ideology) adalah ingin menegakkan syariah dan Khilafah.
Tentu menggelikan dan tidak masuk akal, bagaimana sebuah ideologi kebenciaan, utopis dan penuh kekerasan—ada juga yang menyebutnya sebagai sistem zaman batu—menghasilkan peradaban agung yang diakui cemerlang oleh dunia; bisa menyatukan berbagai bangsa, warna kulit dan ras di seluruh dunia; serta diyakini bahkan diperjuangkan oleh pemeluknya dan bertahan selama 13 abad. [FW]
mereka adalah orang – orang yang berjalan seperti setan mabok…
kalou sudah tahu lantas kenapa gak ada aksinya…
malah justru sebaliknya,,,dan dibiarkan yang salah merajlela…
ya semoga aja mereka yang punya niat baik,,,karena allah swt maha tahu…dibebrikan hidaya islam,,amin
mn ideologi amerika serikat ???
thu yg mau awqh tanya……..wah kaccau.