Pengantar
Gagasan syariah dan Khilafah saat ini semakin bergulir tak terbendung, termasuk di Indonesia. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Bagaimana prospek kedua gagasan ini ke depan untuk bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat? Sejauh mana pula sesungguhnya peran Hizbut Tahrir dalam menyebarkan kedua gagasan tersebut?
Untuk memahami lebih jelas jawaban atas beberapa pertanyaan di antara sejumlah pertanyaan tersebut, berikut ini Redaksi mewawancarai kembali Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) HM Ismail Yusanto.
Bagaimana respon terakhir masyarakat terkait dengan upaya penegakan syariah dan Khilafah?
Alhamdulillah, dibandingkan dengan ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memulai dakwahnya secara terbuka awal tahun 2000-an, respon masyarakat di lapis bawah ataupun para tokoh umat sekarang ini sangatlah luar biasa. Apalagi jika dibandingkan dengan ketika HTI memulai dakwah di Indonesia di pertengahan tahun 80-an. Respon masyarakat sekarang tentu jauh lebih baik. Hal ini mungkin tidak dirasakan atau dilihat oleh orang lain. Namun, kita yang bergerak langsung di tengah umat merasakan benar hal itu. Terlihat dari, misalnya, dipadatinya selalu kegiatan-kegiatan baik seminar, diskusi publik, tablig akbar atau yang lainnya yang diselenggarakan oleh HTI. Di acara seperti itu, kita biasanya juga mengedarkan angket. Dari hasil angket terbaca respon yang luar biasa itu. Respon tokoh juga kita dapatkan dari pertemuan langsung dengan yang bersangkutan ataupun dalam acara khusus seperti temu tokoh atau workshop ulama. Dari sanalah kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana respon umat dan para tokohnya terhadap upaya penegakan syariah dan Khilafah.
Meski demikian, kita tetap menyadari bahwa hingga saat ini, ide syariah apalagi Khilafah belumlah menjadi arus utama pemikiran umat. Namun, kita yakin, dengan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten, pada waktu yang tidak lama insya Allah hal itu akan tercapai. Mengapa? Dari pengalaman, kita mendapatkan fakta bahwa keadaan umat saat ini umumnya memang belum paham tentang ide syariah dan Khilafah; ada juga yang salah paham; selain ada lagi yang pahamnya salah. Yang kita lakukan adalah memahamkan yang tidak paham dan meluruskan yang salah paham. Sejauh ini upaya itu alhamdulillah tidak menemui kesulitan yang berarti. Dengan penjelasan yang memuaskan akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan, mereka yang tidak paham dengan mudah dipahamkan. Begitu juga yang salah paham pun dengan cepat bisa diluruskan pahamnya. Yang pahamnya sudah salah memang tidak mudah untuk diluruskan, karena mereka dengan alasan memang sengaja memposisikan diri sebagai oposan (penentang) dari gagasan syariah dan Khilafah itu.
Apa alasan mereka mendukung ide syariah dan Khilafah?
Umumnya memang karena merasa keimanan dan kesadaran mereka tersentuh setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang kita sampaikan. Dengan dasar al-Quran dan as-Sunnah serta qawl (perkataan) para ulama, juga argumen historis dan empiris, penjelasan-penjelasan itu terasa demikian kokoh sehingga buat orang yang ikhlas dan berpikir wajar tidak ada tempat untuk mengelak. Mereka juga mendukung karena melihat fakta. Krisis multidimensi yang melanda dunia, termasuk Indonesia, membawa mereka pada kesimpulan bahwa mengharap sekularisme adalah perbuatan sia-sia. Tidak ada jalan lain kecuali kembali pada (syariah) Islam. Pembantaian terhadap umat Islam yang terjadi di berbagai tempat seperti di jalur Gaza, Irak dan Afganistan, dan yang paling baru di Xinjiang, Cina, dan di tempat lain juga membawa mereka pada kesimpulan bahwa umat saat ini memang demikian lemah dan hidup tanpa pelindung yang nyata. Ketika dijelaskan bahwa pelindung itu tidak lain adalah Khilafah, dan Khilafah pula satu-satunya yang mampu menyatukan umat sehingga kekuatan Islam bisa diwujudkan, juga dengan mudah diterima. Apalagi Khilafah memang telah pernah ada pada masa kejayaan Islam.
Apakah masyarakat yang setuju juga sekaligus menjadi motor penggerak syariah dan Khilafah?
Memang, ada yang sekadar setuju, tetapi ada juga yang kemudian tergerak untuk terlibat dalam perjuangan penegakan syariah dan Khilafah. Bersedia tidaknya masyarakat menjadi penggerak dakwah memang terkait dengan soal ide (fikrah) dan metode (tharîqah). Mungkin orang dengan mudah memahami ide syariah dan Khilafah, namun kadang agak sulit menerima metode perjuangan HTI dalam mewujudkan syariah dan Khilafah itu. Jadi, keadaan umat terkait ide syariah dan Khilafah memang sangat beragam. Ada yang ide saja tidak paham; ada yang paham ide saja, tetapi tidak mengerti bagaimana ide itu diujudkan; ada juga yang paham ide dan metode, tetapi belum mau terlibat. Dari semua itu, yang paling diharap tentu saja adalah paham ide dan metode serta mau terlibat secara nyata dalam perjuangan syariah dan Khilafah berdasar metode yang dipahami itu.
Jika demikian, betulkah opini yang menyatakan bahwa ide syariah dan Khilafah hanya milik Hizbut Tahrir?
Sangat salah. Mungkin karena HT-lah yang selama ini dikenal paling getol menyuarakan soal ini sehingga ide syariah dan Khilafah seolah identik dengan HT. Dari pengalaman, kita juga tidak pernah mendapati umat mengatakan bahwa ide syariah dan Khilafah adalah milik HT. Mereka dengan mudah mendukung ide syariah dan Khilafah justru karena mereka paham bahwa itu adalah ide Islam.
Seakan mendapat kesadaran baru atau tersadar dari kealpaan yang demikian panjang, dalam banyak forum kita sering menjumpai peserta atau tokoh yang dengan penuh antusias mengucapkan terima kasih atas usaha keras HT yang gencar menyuarakan ide syariah dan Khilafah sehingga akhirnya mereka menyadari arti pentingnya kewajiban itu.
Sering sebagian kecil masyarakat menganggap bahwa syariah dan khilafah adalah membahayakan bagi Indonesia. Benarkah demikian?
Bagaimana bisa dikatakan membahayakan? Syariah diperlukan untuk menggantikan sistem sekularisme yang telah nyata-nyata gagal membawa Indonesia ke arah yang dicita-citakan. Sebaliknya, Khilafah diperlukan untuk menyatukan Dunia Islam, yang dengan persatuan itu kekuatan akan terbentuk, dan dengan kekuatan itu kita bisa melindungi harta, jiwa dan kehormatan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mestinya, sekularisme dalam segala bentuknya yang telah nyata-nyata mempurukkan Indonesia itulah yang justru harus dinyatakan membahayakan Indonesia. Inilah bukti dari betapa rendahnya pemahaman umat Islam saat ini. Ini sama seperti anak kecil yang membenci dokter karena dianggap akan menyakiti dirinya, padahal dokter datang justru untuk menyembuhkan dia dari sakit.
Lalu bagaimana langkah ke depan HTI mengupayakan agar opini syariah dan Khilafah sebagai leading opinion?
Tidak ada jalan lain kecuali harus terus-menerus dijelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya syariah dan Khilafah sebagai solusi bagi Indonesia yang lebih baik. Bahkan sebenarnya bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia secara keseluruhan.
Adanya krisis finansial global yang tengah melanda dunia saat ini, termasuk krisis moneter pada tahun 1997 lalu yang melanda Indonesia, serta berbagai persoalan lain yang tengah dihadapi oleh masyarakat, bisa dijadikan bukti betapa parah kerusakan yang timbul akibat sekularisme. Solusinya tidak lain adalah syariah dan Khilafah.
Penjelasan-penjelasan itu harus dialirkan kepada umat dengan berbagai cara (uslûb) dan sarana (wasîlah). Berbagai forum seperti tablig akbar, diskusi publik, seminar, workshop, training, daurah, temu tokoh dan forum lainnya yang diselenggarakan oleh HTI adalah sebagian cara yang ditempuh HTI untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan itu secara massal. Adapun secara personal, hal itu dilakukan dengan kontak, audiensi atau silaturahmi kepada para tokoh baik dari kalangan ulama, cendekiawan, birokrat, militer dan kepolisian, pers, pengusaha dan lainnya, yang ada di tengah masyarakat. Selain dengan cara langsung, penjelasan juga disampaikan dengan sarana media massa. HTI memiliki buletin Jumat al-Islam yang terbit setiap pekan dengan tiras lebih dari 1,3 juta eksemplar, majalah al-Wa’ie yang terbit bulanan dan tabloid dua mingguan Media Umat. Ada lagi situs www.hizbut-tahrir.or.id, dan ratusan buku yang sudah tersebar luas di seluruh tanah air. Harapannya, dengan cara dan sarana yang demikian beragam, penjelasan-penjelasan itu bisa sampai kepada segala lapisan masyarakat sehingga ide syariah dan Khilafah semakin bisa dapahami dan disetujui.
Bagaimana dengan kekuatan ide-ide batil, yang banyak mendapat sokongan baik berupa dana, fasilitas dan kekuasaan?
Harus diakui, ini pekerjaan yang tidak mudah. Di era informasi sekarang ini, arus sekularisme telah melanda dunia, termasuk Indonesia, di segala aspek kehidupan. Perang opini menjadi begitu dahsyat. Pemenangnya tentu saja adalah yang paling banyak menguasai media. Apalagi pemilik media umumnya juga berhaluan sekular. Hal ini makin didukung oleh penguasa dan sistem yang juga secular. Akibatnya, perang ide syariah dan Khilafah sebagai al-haq melawan sekularisme sebagai al-batil bagaikan pertarungan antara David dan Goliath. Namun, dakwah tidak pernah kehabisan jalan. Di tengah hambatan yang demikian besar, selalu ada peluang untuk dakwah. Dengan pendekatan tauhid, dakwah menyentuh sisi yang paling dasar dari seorang Muslim, yakni keimanannya kepada Allah SWT, kematian dan surga. Kesadaran tauhid itulah yang mengubah orang; dari yang tidak paham menjadi paham; dari yang tak acuh menjadi peduli. Di negeri yang mayoritas Muslim seperti Indonesia ini, dakwah sesungguhnya hanyalah membukakan selaput yang menutupi kesadaran tauhid seorang Muslim, yang sekecil apa pun di dalam dirinya tentu masih ada iman kepada Allah. Itulah fakta yang kita alami di lapangan.
Karenanya, HTI tidak pernah gentar menghadapi tantangan yang ada, sebesar apapun, karena kita yakin pada kekuatan akidah. Lebih dari itu, kita yakin pula pada pertolongan Allah SWT. Jika Allah sudah menurunkan pertolongan, tidak ada kata tidak mungkin. Semua menjadi mungkin, termasuk mengubah pemikiran masyarakat yang saat ini tampak sudah demikian rusaknya. Yang penting, kita terus berjuang dengan metode atau tharîqah yang benar sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Itulah yang insya Allah akan terus dilakukan oleh HT hingga syariah dan Khilafah tegak.
Apa langkah-langkah strategis yang dilakukan HTI agar opini syariah dan Khilafah menembus alam pemikiran para pemegang kekuasaan?
Intinya sama, dakwah. Hanya uslûb atau cara dan strateginya saja yang mungkin agak berbeda jika dibandingkan dengan saat menggarap masyarakat awam. Dakwah kepada pemegang kekuasaan lebih memerlukan pendekatan personal melalui audiensi, dialog dan tatap muka. Di luar alasan-alasan yang bersifat politis, alhamdulillah kita sudah bisa menyampaikan dakwah kepada mereka yang kebetulan sedang memegang kekuasaan; entah itu lurah, camat, bupati/walikota, gubernur hingga presiden. Hanya saja, di level presiden, bobot politisnya tentu sangat tinggi sehingga memang tidak seleluasa dakwah kepada pemegang kekuasaan di level bawahnya.
Sebagian masyarakat sudah ‘tidak sabar’ menerapkan syariah dan khilafah. Bagaimana HTI menyikapi hal demikian?
Memang tidak sedikit kita menjumpai masyarakat, bahkan juga ulama, yang tidak sabar seperti itu. Di Malang saya pernah berjumpa dengan para ulama yang mendorong HTI agar dalam forum MUN (Muktamar Ulama Nasioanal) baru lalu, segera saja membaiat Khalifah. Jangan cuma kumpul-kumpul, musyawarah atau rembugan saja. Sudah capek. “Kalau cuma kumpul-kumpul gak ada gunanya,” katanya. Kira-kira begitu yang mereka sampaikan kepada saya. Ada sisi positif di sini, yakni semangat yang menggebu untuk segera mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah. Namun, karena semangat itu tidak diimbangi oleh pemahaman terhadap tharîqah dakwah, membuat mereka menjadi ‘tak sabaran’ seperti itu. Seolah perjuangan khalifah segera tercapai dengan hanya mengadakan acara pembaiatan. Padahal kan tidak seperti itu.
Khilafah hanya mungkin tegak jika terpenuhi tiga syarat sekaligus: adanya person yang memiliki otoritas (kewenangan) sebagai khalifah; ada wilayah sebagai tempat otoritas itu bisa dijalankan; ada dukungan dari rakyat. Sekadar membaiat, hanya menghasilkan seorang khalifah yang tidak memiliki kewenangan apa-apa. Tentu bukan ini yang kita maksud. Nah, untuk mendapatkan tiga syarat sekaligus itulah diperlukan perjuangan, terutama untuk syarat yang kedua dan ketiga. Dakwah kepada umat dan para tokoh berpengaruh (ashâb al-fa’âliyât) dilakukan agar mereka paham sehingga mau mendukung perjuangan ini.
Bagaimana peluang gagasan syariah dan Khilafah ke depan pasca terbentuknya anggota dewan dan pemerintahan yang baru?
Selagi kita bisa mempertahankan keistiqamahan dalam dakwah, insya Allah peluang itu tetap terbuka. Dengan bekal pencapaian dakwah sebelumnya, langkah kita ke depan menjadi lebih mudah. Apalagi jika nanti pemerintahan dan parlemen yang baru gagal membuat keadaan negeri ini menjadi semakin baik, saya pikir akan membuat ide alternatif seperti syariah dan Khilafah menjadi lebih mudah untuk diterima. Kemana mereka akan mengadu setelah sekularisme gagal jika tidak pada Islam? Ditambah dengan tauhid yang ada di dada, semangat kembali pada Islam tentu akan semakin membara.
Apa yang diharapkan umat oleh HTI?
HTI berharap umat Islam benar-benar memikirkan masa depannya berdasarkan Islam. Secara individual, umat harus sungguh-sungguh merealisasikan visi-misi hidupa mereka, yang diciptakan Allah SWT di dunia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya. Makna ibadah adalah tunduk dan patuh pada apa yang disyariahkan Allah dalam agama Islam. Kemudian secara komunal, umat juga harus sungguh-sungguh memikirkan bagaimana cara merealisasikan ibadah itu dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang tidak lain dengan menegakkan kehidupan berdasarkan aturan Allah. Karena itu, di bawah pemahaman makna ibadah, semestinya syariah ke depan tidak lagi sulit diterapkan. Umat sendiri yang semestinya memerlukan penerapan syariah. Begitu juga Khilafah, karena Khilafah adalah perintah syariah dalam rangka ibadah kepada Allah SWT, Zat Yang Mahagagah. []