Difitnah melalui selebaran gelap, dilecehkan dengan cara diludahi dan dimaki bahkan diserang oleh orang suruhan germo dan bandar judi merupakan salah satu risiko dakwah.
Risiko itu pun pernah dialami KH. Asep Sudrajat, Pimpinan Pusat Pondok Pesantren Ulul Albab yang berpusat di Bandung Jawa Barat. “Tetapi Buya ingat cobaan yang dialami oleh Rasulullah saw. jauh lebih berat daripada yang dialami buya,” ujar lelaki kelahiran Bandung yang akrab disapa Buya itu.
Ia sedih mengapa sekarang banyak orang tidak berpikir bagaimana agar hukum Allah dapat dilaksanakan dengan baik. Berarti sebenarnya orang-orang tersebut belum merdeka, masih terkungkung oleh aturan hidup buatan manusia karena mendengar dan memahami Islam secara keliru dari orang-orang sekular nasionalis. “Selama ini Buya melihat bahwa kemerdekaan itu pada saat seseorang sudah bisa beribadah dengan kâffah, kan sementara ini masih belum,” tandas lelaki yang lahir 46 tahun lalu itu.
Membuktikan Komitmen
Pada 3 Juli 2000, ia mendirikan pesantren. Ini merupakan salah satu cara yang dilakukannya untuk membuktikan komitmen kepada Allah SWT sebagai hamba yang mengabdi kepada-Nya dengan tekad membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah. “Dengan adanya pesantren ini semoga masyarakat menjadi tahu tentang Islam yang sebenarnya, bukan informasi dari orang-orang sekular nasionalis,” harapnya.
Begitulah dasar pemikiran sosok yang dikenal konsisten menyuarakan penegakkan syariah Islam secara kâffah itu ketika ditanya mengapa mendirikan pesantren. Setelah berinteraksi dengan aktivis HTI, lulusan pesantren Al-Basyariah ini semakin kencang dalam menyuarakan kewajiban menerapkan syariah secara totalitas.
Sampai saat ini ia memang belum tercatat sebagai anggota atau pun darisin HTI, namun jangan ditanya tentang sumbangsihnya dalam upaya menyadarkan umat untuk kembali menegakkan syariah dan Khilafah. Ia sering menyampaikan orasi dalam berbagai masirah bersama HTI. Santri-santrinya pun tidak jarang ia kerahkan dalam aksi damai tersebut.
Bahkan pada Konferensi Khilafah Internasional pada 2007 lalu, ia membawa satu bis santrinya. Di sela-sela kesibukannya keliling berdakwah baik di dalam pesantren maupun di tengah-tengah masyarakat, ia pun sempat menamatkan beberapa kitab Syakhshiyah yang ia download dari situs resmi HTI dan di-print langsung itu, kemudian menyampaikan isinya kepada santri dan masyarakat dalam berbagai kesempatan.
Baginya hidup ini harus selalu terikat dengan hukum syariah. “Kalau tanpa syariah berarti kita ini betul-betul membangkang kepada aturan Allah SWT,” tegasnya.
Ia pun menegaskan Khilafah adalah bagian dari syariah itu sendiri yang merupakan instrumen atau lembaga penerap syariah secara kâffah. “Tidak akan mungkin syariah bisa tegak dengan baik tanpa Khilafah. Syariah dan Khilafah itu sesuatu yang menyatu, harus sama-sama diperjuangkan!” serunya.
Ia pun mencontohkan bahwa syariah memang tidak bisa tegak tanpa Khilafah. “Buktinya saja ketika orang sedikit-sedikit melakukan hukum hudûd, akhirnya dikatakan ada hukum di dalam hukum, kemudian kan dibubarkan oleh pemerintah!” ujarnya merujuk praktik hukum rajam yang dilakukan oleh pimpinan salah satu kelompok Islam kepada anggotanya yang berzina di Ambon beberapa tahun silam.
Risiko Dakwah
Aktivatasnya tak jarang mengundang risiko. Kalau difitnah, dikatakan macam-macam, itu sih sudah sering. Selebaran-selebaran gelap yang memfitnahnya pun terus bertebaran. Namun, ia menyadari bahwa risiko tidak menggugurkan kewajiban. Karena itu, dakwah jalan terus. Tak jarang ia dilecehkan karena ia berdakwah. Suatu waktu, ia mengisi pengajian di suatu forum. Ia ingin menanamkan kedisiplinan berakhlaqul karimah dan menegaskan bagaimana hukum hudûd harus diterapkan, tetapi ternyata ada beberapa mustami’ meninggalkan forum itu. Dalam perjalanan pulang, orang yang meninggalkan duluan forum tadi meludahinya kemudian melecehkannya dengan ledekan-ledekan yang tidak pantas.
Bahkan ia pun pernah diserang oleh sekelompok orang suruhan germo dan bandar judi karena sebelumnya ia mendakwahkan dan menjelaskan tentang haramnya berjudi, haramnya berkhalwat di masyarakat. “Buya anggap itu semua variasi dalam dakwah,” ungkapnya.
Bukti komitmen lainnya ialah dengan menyebarluaskan bacaan yang islami, termasuk majalah Al-Wa’ie. Ia mengajak siapa saja yang merindukkan tegaknya syariah dan Khilafah untuk berlangganan majalah tersebut. Bahkan, “Kalau bisa kita menjadi donatur kepada orang-orang yang tidak mempunyai uang di daerah-daerah tertentu sehingga mereka tetap bisa turut membaca Al-Waie,” ajaknya.
Ia pun selama ini memborong majalah tersebut dan menyebarkannya ke cabang-cabang Ulul Albab yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya itu, isinya pun sering ia jadikan rujukan pengajiannya.”Isi Al Wa’ie, insya Allah bisa dipertanggungjawabkan lantaran bersandarkan dalil yang shârih dan analisis ulama yang luar biasa,” pungkasnya.
Karena itu, tidak aneh jika beliau menjadi salah satu dari 7000 ulama yang menandatangani Mitsaqul ‘Ulama dan penuh antusias mengikuti Muktamar Ulama Nasional yang diselenggarakan HTI 21 Juli lalu di Jakarta [Joko Prasetyo]
KH Asep Sudrajat (Pimpinan Pusat Ponpes Ulul Albab, Bandung-Jawa Barat)