HTI

Hiwar (Al Waie)

Melalui Ulama, Syariah Dan Khilafah Bisa Tegak

Pengantar

Pesantren memiliki andil besar dalam perubahan di tengah masyarakat. Pada masa perang kemerdekaan, banyak muncul tokoh-tokoh perjuangan dari kalangan ulama dan santri. Mereka mengusir para penjajah kafir dari negeri ini atas keyakinan bahwa orang kafir tidak boleh menjajah negeri Islam.

Peran para ulama itu pun terus ada dalam masa awal kemerdekaan dan masa berikutnya. Hanya saja, belakangan peran itu kurang terlihat. Pesantren seolah-olah asyik dengan urusannya sendiri; kurang terlibat dengan persoalan masyarakat secara luas. Bahkan sebagian ada yang terasuki pemikiran sekular untuk memisahkan Islam dari urusan kehidupan duniawi.

Namun, perkembangan saat ini situasinya kembali berubah. Kini mulai muncul kembali ulama-ulama warasatul-anbiya, pewaris nabi, yang memperjuangkan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Bagaimana posisi pesantren dan ulamanya dalam perubahan menuju masyarakat Islam? Untuk menjawabnya, Redaksi mewawancarai KH Agus Akhyar Purakusumah, Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Barakah, Ciparay, Bandung. Berikut petikannya.

Bagaimana peran pesantren di tengah masyarakat?

Ada tiga komponen di pesantren dalam kampanye syariah. Pertama: keberadaan kiai sebagai tokoh masyarakat. Kedua: keberadaan santri sebagai bagian dari masyarakat yang berhubungan dengan kegiatan pesantren. Ketiga: ada link dengan para ustad yang merupakan alumni pesantren yang tersebar di berbagai tempat. Mereka biasanya selalu mempunyai agenda rutin tahunan dan membahas berbagai masalah, misalnya bahtsul kutub. Tiga komponen ini sangat potensial untuk tersebarnya opini ke tengah masyarakat.

Pemahaman tentang ide Khilafah di dunia pesantren secara umum seperti apa?

Saya harus mengatakan dengan jujur. Selama ini pemahaman umum tentang Khilafah belum seperti yang dipahami oleh HTI. Biasanya kiai memahami Khilafah hanya sebatas teori, sebatas ilmu, sehingga sulit diaplikasikan, mengingat satu hal, yakni tharîqah yang tidak mereka kenal. Ini persoalannya. Padahal dalam kitab-kitab fikih siyâsah itu dikaji. Mereka tahu bahwa imâmul-a’zham itu suatu kewajiban. Namun, bagaimana mengaplikasikan hal itu di tengah kondisi Indonesia yang sudah begini? Jadi mandeg. Kalau kiainya sudah seperti itu, bagaimana dengan santrinya? Bahkan di perguruan tinggi Islam, fikih siyâsah masuk dalam kurikulum. Namun, ketika masuk di Indonesia yang menerapkan sistem yang tidak sama dengan yang dipelajari, maka stagnan. Mengapa? Karena kajian itu hanya untuk mendapatkan gelar sarjana. Malah mereka justru menjadi bagian dari sistem yang rusak itu. Saya sendiri lulusan IAIN. Saya juga belajar fikih siyâsah. Namun, ketika harus mengaplikasikan, saya bingung karena sistemnya beda.

Faktor apa yang menyebabkan Khilafah itu baru sekadar teori?

Ini pengalaman pribadi. Memang pemahaman tentang Khilafah dimulai dari 1 Hijriah sampai 1342 Hijriah atau 1924 M, itu sama sekali blank (kosong). Pemahaman tentang fakta yang rusak bahwa Indonesia adalah bagian dari hegemoni Amerika dengan sistemnya yang sekular, itu juga tidak dipahami dengan benar. Dua sumber ini yang menyebabkan para ulama kebingungan bagaimana menempatkan wacana tentang siyasah atau Khilafah Islam itu diaplikasikan dengan benar.

Berarti ada faktor ketidakpahaman sejarah?

Betul. Saya kira kalau kiai melihat runtutan sejarah (timeline) yang pernah dimuat di Al-Waie, sesungguhnya itu menjadi basic pemahaman yang benar tentang perjalanan sejarah Khilafah Islam; bahwa konsep Khilafah itu bukan suatu yang teoretis, tidak ada bukti. Ini lho buktinya. Bukan hanya petanya, tetapi juga luas wilayahnya. Ketika dua pertiga dunia pernah dikuasai oleh Khilafah, ini blank sama sekali pada diri para kiai. Bahkan tidak sedikit kiai yang mengatakan bahwa namanya Muawiyah, Abassiyah, itu mereka sebut dinasti. Dalam benak mereka dinasti itu ya monarki atau kerajaan, bukan lagi Khilafah. Padahal kita bisa menyimpulkan bahwa ini bukan monarkhi, tetapi ini adalah Islam dengan adanya akad baiat. Akad baiat ini dibangun oleh Rasulullah dan tidak pernah putus sejak dari masa Abubakar hingga Sultan Abdul Majid II. Baiat ini tidak pernah tertinggal. Artinya apa? Bahwa benar ketika ada pelimpahan kekuasaan dari bapak kepada anak, ini mirip-mirip monarkhi. Namun, satu hal yang jangan pernah dilupakan, meskipun anak mendapat surat wasiat dari bapaknya yang khalifah, tidak serta-merta kemudian ia mengangkat dirinya sebagai penguasa ketika bapaknya meninggal. Mereka menyadari karena ini sistem Islam, bukan monarkhi. Kalau monarkhi kan tidak perlu minta restu masyarakat. Anak bisa langsung berkuasa. Namun, karena ini sistem Islam, mereka harus mendapatkan baiat dulu dari umat. Ini menunjukkan bahwa inilah Islam, inilah Khilafah. Meskipun ada sedikit penyimpangan.

Bisakah pemahaman yang sudah ada itu diubah?

Ini bergantung pada upaya dakwah. Bagaimana kita selalu kontak dengan para ulama. Kita jelaskan kepada mereka bahwa sebenarnya sistem Khilafah adalah sistem yang benar-benar eksis dan pernah menguasai dunia, diperkuat oleh pernyataan dari tokoh-tokoh kafir, misalnya Amerika, yang mengatakan pada 2020 Khilafah akan berdiri lagi atau wakil DPR Rusia yang mengatakan nanti akan ada lima negara besar; salah satunya Khilafah. Fakta yang rusak juga jangan ketinggalan, harus dijelaskan; yaitu sekular, kapitalis, demokrasi, HAM, yang masih dianggap sebagai harapan dan solusi oleh masyarakat. Semua ini harus dijelaskan fakta kerusakannya.

Bagaimana potensi pesantren ini dalam perubahan umat ke arah yang lebih baik ke depan?

Kalau melihat tipikal masyarakat hari ini, khususnya Indonesia, yang figur sentris, ini keuntungan besar. Artinya, sosok kiai masih diakui sebagai panutan umat. Biasanya kalau seorang kiai mengatakan, “Dukung Khilafah!” masyarakat tidak akan bertanya lagi misalnya mana dalilnya, karena yang ngomong adalah seorang kiai. Ketika pesantren memelopori perjuangan syariah dan Khilafah sesuai dengan realitas, ini harusnya tidak terlalu sulit karena keberadaan pesantren merupakan mercusuar, kiblat, tempat masyarakat mengambil pemahaman-pemahaman tentang kehidupan keislaman.

Bagaimana upaya memicu agar pesantren menjadi sumber perubahan tersebut?

Saya optimis karena kiai lebih mengedepankan aturan ketimbang ego. Memang, tetap ada kiai yang memunculkan egonya karena jumlah santrinya yang banyak ketimbang perjuangannya terhadap Islam. Namun, jumlah yang seperti ini sedikit. Karena itu, kiai-kiai yang ikhlas dengan pesantren dan santrinya yang merupakan bagian dari perjuangan Islam, potensinya masih sangat besar. Jika seorang kiai menyampaikan syariah dan Khilafah, itu sama artinya dengan sekian ribu masyarakat yang akan siap mendukungnya. Meskipun masyarakat itu tidak harus paham 100 persen. Jadi opini masyarakat ini menjadi aset bagi tegaknya syariah dan Khilafah.

Artinya, ini kembali kepada ulama?

Betul. Yakinlah masih banyak ulama yang ikhlas, loyal dan keberpihakannya jelas terhadap Islam. Melalui mereka inilah perubahan bisa kita harapkan di tengah-tengah umat demi tegaknya syariah dan Khilafah. []

KH Agus Akhyar Purakusumah:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*