HTI

Muhasabah (Al Waie)

Menyambut Seruan Ulama

Baru saja Muktamar Ulama Nasional berlangsung di Jakarta. Tepatnya tanggal 21 Juli 2009 M, yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1430 H. Dengan izin dan pertolongan Allah SWT, muktamar ini bisa berjalan dengan khidmat dan sukses. Meski dengan durasi waktu yang sangat panjang, dengan pembicara dan testimoni yang barangkali sangat melelahkan bagi para mustami’. Namun, sangat menakjubkan, lebih dari 7000 ulama yang hadir pada muktamar itu nyaris tidak beranjak dari tempat duduknya, dari awal hingga akhir acara.

Dengan mengambil tema, “Saatnya Ulama Bersatu Tegakkan Syariah dan Khilafah”, bersamaan dengan momentum Peringatan Isra’ Mikraj Nabi Muhammad saw. dan 88 tahun Runtuhnya Khilafah, muktamar ini mampu menyuntikkan semangat baru akan arti pentingnya tanah suci al-Quds, tanah penuh berkah, tempat Masjid al-Aqsa dan pusara para Nabi. Selain itu, dari sejumlah testimoni yang disampaikan tentang kondisi dunia Islam, tergambar dengan jelas, bahwa persoalan yang dihadapi oleh umat Islam di seluruh dunia ternyata sama.

Negeri mereka sama-sama mengalami penjajahan dan konspirasi asing. Tidak ada solusi, selain syariah dan Khilafah. Menakjubkan, karena ternyata kaum Muslim di hampir seluruh dunia Islam telah merindukan Khilafah. Aljazair, misalnya, meski data resmi yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan tingkat partisipasi politik sangat tinggi, faktanya tingkat golput justru lebih dari 80%. Mereka yang golput itu umumnya sudah muak dengan sistem sekular, dan menginginkan sistem Islam. Bahkan di India, negeri yang dikuasai oleh kaum Hindu, tuntutan terhadap syariah dan Khilafah juga menggema. Inilah beberapa fenomena menarik yang terekam dari sejumlah testimoni para ulama.

Yang tidak kalah pentingnya, muktamar ini pada akhirnya menghasilkan Piagam Ulama, yang intinya berisi empat hal: Pertama, penegasan bahwa Khilafah merupakan kewajiban yang agung dan berjuang untuk menegakkannya kembali adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Begitu agungnya kewajiban ini, hingga para Sahabat Nabi saw. sepakat untuk mendahulukan upaya menegakkan Khilafah daripada memakamkan jenazah Rasulullah saw., sekalipun mereka memahami bahwa memakamkan jenazah hukumnya juga wajib.

Kedua: para muktamirin memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Hizbut Tahrir atas perjuangannya untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan Khilafah, dan karenanya mereka siap memberikan dukungan dan bantuan, serta siap berada di garda terdepan dalam perjuangan ini.

Ketiga: dengan ilmu dan pemahaman terhadap hukum-hukum Islam yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka, para ulama itu akan berusaha mendekati ahlul-quwwah di negeri-negeri Muslim untuk memberikan dukungan (nushrah) kepada para pejuang Khilafah.

Keempat: menyampaikan:

1. Peringatan kepada orang-orang kafir yang telah merampas dan menjajah negeri-negeri kaum Muslim serta para antek-anteknya dari kalangan para penguasa yang zalim, bahwa kaum Muslim akan mengingat seluruh kejahatan yang pernah mereka lakukan terhadap Islam dan umatnya. Kelak, Khilafahlah yang akan membuat perhitungan dengan mereka.

2. Kabar gembira kepada kaum Muslim, bahwa fajar kebangkitan Khilafah akan segera menyingsing. Saatnya telah tiba dan janji Allah pun akan segera terwujud.

Subhânallâh, seruan yang mereka sampaikan melalui Piagam Ulama ini sungguh luar biasa. Piagam yang dihasilkan dan ditandatangani oleh sekitar 7000 ulama itu tentu akan menjadi bukti di hadapan Allah akan jasa dan perjuangan mereka dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini. Inilah sikap para ulama yang ditunggu-tunggu oleh umat.

Subhânallâh, para ulama yang hadir dalam muktamar ini juga luar biasa. Ini mengingatkan kita kepada para ulama’ ‘amilin (ulama’ pejuang), seperti Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyah dan ulama lain yang tetap dikenang oleh umat, karena sikapnya. Tidak salah kiranya jika saya mengatakan, bahwa selain menghasilkan Piagam Ulama’, muktamar ini juga telah berhasil mengembalikan karamah al-‘ulamâ’ (kemuliaan para ulama) dan haybah al-‘ulamâ’ (wibawa ulama’), yang nyaris rontok di mata umat; terutama ketika mereka menjadikan keulamaannya sebagai komoditas politik pragmatis dan oportunis; politik yang notabene tidak membawa kemaslahatan sedikitpun, baik bagi Islam maupun umatnya.

Karena itu, seruan para ulama ini sudah seharusnya kita sambut dengan gembira. Sebab, selain menyuntikkan semangat baru, umat pun menemukan kembali permata Islam, para ulama pejuang yang luar biasa. Bagaimana tidak, mereka datang jauh dari ujung Sumatera hingga ujung Papua. Ada yang menghabiskan waktu hingga seminggu untuk sampai ke Jakarta, karena harus naik kapal laut. Ada yang harus terdampar di Surabaya, lalu menyusuri jalan darat untuk sampai ke Jakarta. Ada yang terpaksa menunggu berjam-jam, karena kendaraannya terlambat, belum lagi terjebak macet dan mogok di perjalanan. Bahkan ada yang terpaksa kembali, karena kendaraan mereka terlambat, yang diperkirakan baru tiba di tempat, setelah muktamar selesai. Namun, semuanya itu ternyata tidak mengurangi sedikit pun semangat dan ‘azam mereka untuk hadir dan menjadi saksi muktamar bersejarah ini.

Selain itu, apresiasi yang tinggi tetap harus kita sampaikan kepada panitia dan seluruh syabab Hizb, yang bekerja siang-malam, tak kenal lelah. Mereka tidak saja harus berjuang untuk mengumpulkan para ulama, tetapi juga berkorban harta, waktu, tenaga dan pikiran demi suksesnya acara ini. Mereka, nyaris seperti para Sahabat, sanggup mengorbankan semuanya untuk menegakkan agama Allah. Di daerah terpencil, ada seorang aktivis Hizb yang mempunyai kambing, rela memberikan kambingnya untuk diinfakkan. Ada yang mempunyai jam tangan dan handphone satu-satunya, juga harus rela diinfakkan. Ini mengingatkan kita akan firman Allah:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ

Di antara orang-orang Mukmin itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (QS al-Ahzab [33]: 23).

Bukan hanya itu, mereka pun tak henti-hentinya munajat kepada Allah SWT; meminta pertolongan kepada-Nya. Doa Saad bin Abi Waqqas ketika menaklukkan sungai Dajlah pun senantiasa membasahi lisan mereka. Doa Saad ketika membawa pasukan berkuda berjalan di atas air sungai Dajlah, dan tirakat Muhammad al-Fatih ketika menaklukkan Konstantinopel itu telah mengiringi kesuksesan mereka. Allahu akbar!

Setelah menyaksikan bagaimana dahsyatnya muktamar ini, ada seorang ulama sepuh mengungkapkan isi hatinya, “Terlintas dalam benak saya, bahwa kondisi ini tak ubahnya seperti kondisi Nabi menjelang hijrah. Saya melihat, kaum Anshar di sini. Di sini saya temukan Saad bin Ubadah, As’ad bin Zurarah dan sahabat-sahabat Nabi—ridhwânu-Llâh ‘alayhim—yang lain. Maka, di usia saya yang sudah tua ini, saya berharap bisa menyaksikan Khilafah. Namun, kalau saya tidak sempat, biarlah kesempatan itu diambil oleh generasi setelah saya. Alangkah, indahnya kesempatan itu.”

Semoga Allah menjadikan kita sebagai generasi yang ditakdirkan menjadi saksi kemuliaan itu dalam kehidupan kita. Amin. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*