Semua khusyuk menyimak pemaparan kalimah ulama, terharu menyaksikan tayangan perjuangan penegakkan syariah dan khilafah. Semua teriak “ Allahu Akbar!” terbakar semangatnya ketika diajak terus berjuang melanjutkan kembali kehidupan Islam.
Begitulah salah satu gambaran suasana Muktamar Ulama Nasional yang baru saja berlangsung pada 21 Juli lalu di Jakarta. Ulama dari berbagai daerah berkumpul, baik tua mau pun muda. Yang tua tidak kalah semangatnya oleh yang muda. Salah satunya adalah KH Iman Sanusi, Pimpinan Dewan Syuro DDII Kab. Brebes Jawa Tengah.
Meskipun usianya sudah lewat dari 70 tahun, semangatnya luar biasa. Ia terlarut dalam suasana muktamar yang di-setting sedemikian rupa sehingga perasaan haru dan gelora semangat silih berganti. Tujuannya tak lain hanya ingin menguatkan ukhuwah di antara ulama para pejuang syariah dan Khilafah untuk menyongsong nashrullâh.
Menyatukan Pemahaman
“Dengan muktamar ini, saya sangat menaruh harapan agar ada dukungan dari sani-sini, dari rekan-rekan atau ulama yang sangat menginginkan dan konsekuen untuk melaksanakan ibadah secara totalitas; untuk membuktikan agar perjalanan kita seperti yang telah dialami oleh pendahulu-pendahulu kita yaitu para Sahabat, para tâbi’în, dan para khalifah yang amanah,” harapnya.
Ia memang bukan anggota atau darisin HTI. Namun, ia begitu antusias mengikuti kegiatan HTI dan mempelajari ide-idenya. “Saya sangat antusias ikut di dalam kegiatan HTI termasuk acara muktamar ini,” ujarnya.
Karena ia berpandangan bahwa Hizbut Tahrir adalah suatu cara untuk mempersatukan umat agar memiliki kesepakatan sedemikian rupa sehingga semua kaum Muslim memahami syariah dan Khilafah itu wajib ditegakkan untuk mengganti demokrasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam ini. “Menegakkan syariah harus dengan Khilafah. Kalau tidak ada Khilafah, ya seperti sekarang ini; nggak ada yang proteksi hukum Islam. Kita sebagai penganut Islam mengatakan haram, tapi buat demokrasi kan tidak haram,” ujarnya.
Akibatnya, banyak sekali hukum Islam yang seharusnya dilaksanakan, tetapi tidak dilaksanakan karena tidak diproteksi pemerintah. “Kalau ada, khalifah pasti akan memproteksi dan hanya hukum Islam yang berjalan,” tandasnya.
Sosok yang Tegas
Secara rutin ia mengisi pengajian majelis taklim-majelis taklim yang dipimpinanya, baik majelis taklim ibu-ibu, remaja putra dan putri di daerahnya maupun memenuhi undangan pengajian dari daerah lain. Bagaimanapun baiknya seseorang dalam menyampaikan dakwah pastilah mendapatkan hambatan dan itu adalah risiko.
Dalam berdakwah ia biasa menyampaikan Islam apa adanya yang ada di dalam al-Quran dan al-Hadis. Di daerahnya ia dikenal sebagai ulama keras. “Jadi selama masih ada dalam al-Quran dan al-Hadis, saya sampaikan kalau tidak ada terpaksa harus kita buang dan kita jauhi,” ujarnya.
Nah, ketegasannya itu ternyata distigma negatif oleh orang-orang yang tidak menyukai harus selalu terikat dengan syariah. Maka ia pun dicap sebagai orang ‘keras’. Padahal yang mengecapnyalah sebenarnya yang keras karena tetap bersikukuh meskipun tidak ada dalilnya.
Ia pun pernah dilecehkan di sebuah masjid oleh seseorang yang berpangkat di kepolisian. Rupanya orang tersebut merasa tidak cocok dengan tatacara ibadah yang ia ajarkan di masjidnya itu.
Maklumlah masjid itu bukanlah masjid wakaf, tetapi masjid milik orang yang berpangkat itu. Karena itu, ketika tidak cocok ya tidak dipakai diberhentikan saat itu juga pengajiannya. “Saya dipermalukan di tengah jamaah. Hal ini membuat hati saya sangat, sangat kesal,” keluhnya.
“Waktu itu belum membahas khilafah, karena saya kan baru saja mengkaji tentang Khilafah belum sampai dua tahun ini,” ujarnya.
Saat itu ia sedang mengajarkan tatacara ibadah mahdhah dengan merujuk pada al-Quran dan al-Hadis. Yang tidak sesuai dengan sumber hukum Islam itu dengan tegas ia anggap salah.
Menjelaskan ibadah mahdhah saja sudah mendapatkan risiko sedemikian rupa, apalagi menjelaskan masalah Khilafah dan perang pemikiran yang selama ini terjadi, yang membuat kaum Muslim terjauhkan dari pemahaman Islam terkait dengan sistem pemerintahan Islam itu; yang membuat kaum Muslim mengira pemimpinnya adalah presiden. “Padahal pemimpin kita yang sebenarnya adalah Khalifah,” ujarnya.
Sebab, kalau tidak segera mengangkat seorang khalifah, umat Islam akan menjadi mainan penganut di luar Islam yang punya pimpinan. Jadi, jika kaum Muslim tidak memperjuangkan syariah Islam, nasibnya akan terus seperti sekarang ini.
Dengan tegaknya Khilafah umat Islam memiliki pemimpin, bukan hanya seindonesia, tetapi sedunia. Karena itu, ia pun setuju dengan perjuangan HTI. “Setuju. Setuju sekali dengan perjuangan dakwah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir” jawabnya penuh semangat.
Apapun risikonya dalam dakwah ini, ia sudah siap menghadapinya. Karena itu, tidak ragu-ragu untuk mengajak jamaahnya mengikuti kegiatan HTI. “Di pengajian-pengajian yang saya isi saya sampaikan kegiatan HT dan syariah Islam,” pungkasnya. [Joko Prasetyo]
KH Iman Sanusi (Pimpinan Dewan Syuro DDII Kab. Brebes Jawa Tengah):