HTI

Jejak Syariah

Ulama: Garda Terdepan Penegakkan Syariah di Indonesia

Pendahuluan

Ulama memiliki peran penting dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan syariah Islam di Nusantara. Namun keberadaan ulama tidak lepas dari dukungan politik pemerintah sebagai institusi pelaksana hukum Islam. Dalam perjuangan menegakkan syariah Islam, para ulama Nusantara tidak bersifat lokal, melainkan tercipta jaringan yang kuat dengan ulama di belahan dunia lain, khususnya di Timur Tengah. Hal ini ini sejalan dengan keberadaan pusat kekuasaan politik Islam di Timur Tengah.

Ketika penjajah berusaha melenyapkan syariah Islam, mereka melakukan rekayasa untuk membendung hasrat para ulama agar tidak menjadi garda terdepan pembela syariah Islam. Untuk menegakkan kembali syariah Islam, dengan sendirinya, para ulama memegang peran sangat penting. Untuk membuktikan peran tersebut, tulisan ini akan mengungkap catatan-catatan sejarah mengenai peran para ulama dalam menegakkan syariah Islam serta hubungan sinergis antara ulama dengan institusi kekuasaan yang menerapkan syariah Islam.


Ulama pada Masa Awal Kedatangan Islam

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari peranan ulama atau pendakwah sebagai utusan langsung dari pusat kekuasaan Islam di Madinah. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674-675 M terdapat utusan orang-orang Ta Shih (Arab) ke Cina. Utusan itu tak lain ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Secara diam-diam Muawiyah meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa, menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa saat itu.

Atas hal demikian, kedatangan utusan pendakwah Islam di Nusantara berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Sejarah Dinasti Cina yang berjudul Chiu T’ang Shu meriwayatkan, pada tahun 31 H/651 M terdapat dua orang utusan Ta Shih (Arab) ke istana Dinasti T’ang. Empat tahun kemudian, Istana T’ang juga menerima utusan dari Tan-mi-mo-ni , yang merupakan ungkapan Cina untuk Amir Al-Mukminin. Menurut sumber Cina, utusan itu mengatakan bahwa mereka telah mendirikan Negara Islam, yang sudah berlangsung selama 34 tahun dan sudah memiliki tiga orang khalifah. Cerita ini menggambarkan bahwa Duta Muslim itu pertama kali datang ke Cina pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.1

Sebelum tiba di Cina para pendakwah Islam itu terlebih dulu mampir di Kepulauan Nusantara, atau sebaliknya, dalam perjalanan pulang dari Cina mereka singgah di Nusantara. Hal ini terbukti dari catatan seorang rohaniawan Budha dan pengembara terkenal China, I-Tsing. Pada tahun 51 H/671 M I-Tsing menumpang kapal Arab dari Kanton. Kapal itu ternyata berlabuh di Muara Sungai Bhoga atau Sribuza. Sribuza telah diidentifikasi oleh banyak sarjana modern sebagai Palembang, Ibukota Kerajaan Sriwijaya.2

Secara faktual, kapal-kapal yang berlayar dari Timur Tengah ke Asia Timur harus melewati perairan Selat Malaka. Mereka harus singgah di wilayah ini, menunggu arah angin sebelum melanjutkan perjalanan. Karena itu, saat-saat yang ramai bagi persingahan kapal itu ialah bulan Maret dan Desember.3 Hal ini sejalan dengan catatan seorang penulis kronik Cina, Chou Ch’u-fei, yang mengungkapkan banyaknya utusan Arab ke Negeri Cina dan mereka harus singgah di Sriwijaya. Karenanya, para utusan dakwah tersebut sudah sangat mengenal wilayah Nusantara, termasuk Pulau Jawa. Lebih jelasnya catatan tersebut mengungkapkan:

Sriwijaya terletak di Nan-Hai (Lautan Selatan). Ia merupakan pusat perdagangan penting di antara berbagai negeri asing. Sebelah Timur terdapat negeri-negeri Jawa, sedangkan di sebelah barat terdapat Ta-Shih (Arabia), Ku-lin (pulau-pulau Selatan umumnya). Tidak ada negeri manapun yang dapat sampai ke Cina tanpa melewati wilayahnya (Sriwijaya).4

Kedatangan para ulama di Cina sebagai utusan dakwah terus berlanjut. Menurut catatan Nakahara, selama masa Kekhilafahan Bani Ummayah, tidak kurang dari 17 rombongan ulama yang sampai di Istana Cina. Selanjutnya pada masa Abasiyyah terdapat 18 rombongan ulama yang sampai di Istana Cina. Banyaknya utusan tersebut akhirnya membentuk komunitas Muslim di Cina, tepatnya di wilayah Kanton. Rombongan para ulama itu juga sudah pasti mengenal Nusantara sejalan dengan persinggahan mereka di perairan Sumatera.

Terbentuknya komunitas Muslim di Cina sejalan dengan terbentuknya komunitas Muslim di Sumatera, khususnya di wilayah Sriwijaya. Hal ini terutama setelah penutupan wilayah Kanton bagi para pendakwah Islam, walaupun akhirnya Kanton dibuka lagi bagi para pendakwah Islam. Komunitas Muslim di wilayah Sriwijaya bukan hanya berasal dari Arab atau Persia, tetapi sebagian ialah penduduk asli Sumatera akibat terjadinya interaksi yang cukup baik dengan para pendakwah dari Timur Tengah. Tokoh-tokoh ulama di wilayah Sriwijaya memegang peranan sangat penting dalam penyebaran Islam. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi duta Muslim Sriwijaya ke Cina. Di samping berdagang, mereka aktif berdakwah. Menurut catatan Al-Ramhurmuzi, yang dibenarkan Chau Ju-Kua, dalam kurun waktu antara 962 sampai 1155 M tidak kurang dari 13 ulama Sumatera yang datang ke Cina sebagai duta dakwah dan pedagang. Bahkan terdapat dugaan kuat bahwa di antara utusan itu terdapat ulama penduduk asli Sumatera.


Ulama dan Pembentukan Institusi Politik Islam

Pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani yang merupakan puncak kebesaran Islam, pengiriman ulama lebih terfokus pada penyebaran Islam di Nusantara. Pada tahun 808 H/1404 M Sultan Muhammad I dari Kesultanan Utsmani mengirim para ulama ke Pulau Jawa. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, ahli tata pemerintahan dari Turki; Maulana Ishaq dari Samarqand, yang dikenal dengan nama Syaikh Awwalul Islam; Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir; Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko; Maulana Malik Israil dari Turki; Maulana Hasanuddin dari Palestina; Maulana Aliyuddin dari Palestina; dan Syaikh Subakir dari Persia.

Sebelum ke Jawa, umumnya mereka singgah di Pasai. Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah, penguasa Samudra Pasai antara 1349-1406 M, mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa. Pada periode berikutnya, antara 1421-1436 M, datang tiga ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (dikenal Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (dikenal Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (dikenal sebagai Sunan Gunung Jati).

Sejak tahun 1463 M makin banyak ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (dikenal Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu; Raden Said (dikenal Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (dikenal Bonang); dan Raden Qasim Dua (dikenal Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.5

Dengan banyaknya ulama yang berdakwah, secara gradual terbentuk institusi politik Islam di seluruh wilayah Nusantara, seperti Kesultanan Perlak (berdiri pada 1 Muharam 225 H atau 12 November 839 M),6 Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore dan Bacan. Berkat dakwah yang dilakukan Kerajaan Bacan, banyak kepala suku di Papua yang memeluk Islam.7

Institusi politik Islam lainnya di Kalimantan ialah Kesultanan Sambas,8 Pontianak,9 Banjar,10 Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang11 dan Kutai.

Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak, yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang dan Mataram. Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi terdapat Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara, terdapat Kesultanan Bima.12


Ulama Sebagai Qâdhi

Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi, hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini tampak dalam bidang peradilan, dengan diterapkannya hukum Islam sebagai hukum negara yang menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad ke-17. Abdul Rauf Singkel, seorang ulama, misalnya,  menduduki jabatan qâdhi (hakim) dengan sebutan Qadli al-Malik al-Adil di Kesultanan Aceh. Abdul Rauf menulis kitab sebagai patokan (qanun) penerapan syariah Islam, berjudul Mir’at at-Thullab, dengan mengacu pada kitab Fath al-Wahhab karya Abi Yahya Zakariyya al-Anshari (825-925 H); juga mengacu pada Fath al-Jawwâd, Tuhfat al-Muhtâj, Nihâyât al-Muhtâj, Tafsîr Baydhawi, al-Irsyâd dan Syarh Shahîh Muslim. Mir’at at-Thullab mengandung semua hukum fikih Imam Syafii, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly, dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’at at-Thullab, terdiri dari: hukum nikah, talak, rujuk, hadlanah dan nafkah.13

AC Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten merupakan Kerajaan Islam Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara.14 Demikian pula di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri, dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan sejak tahun 1651-1680 M di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.15Sejarah Banten menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kyai ali atau ki ali, yang kemudian disebut dengan kali (qadli yang di-Jawa-kan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 M diberi gelar Faqih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qâdhi pada awalnya dijabat oleh seorang ulama dari Makkah, tetapi belakangan setelah tahun 1651 qâdhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten.16 Qâdhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik, misalnya penentuan pengganti Maulana Yusuf.17

Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok, yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan berkata, “Mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari.”

Kesultanan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.18

Kesultanan Demak sebagai Kesultanan Islam pertama di Jawa memiliki jabatan qâdhi, yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui adanya jabatan tersebut, dengan Sunan Kalijaga sebagai pejabatnya. Di Kerajaan Mataram, pertama kali dilakukan perubahan tata hukum karena pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (Hindu) menjadi peradilan surambi. Disebut demikian karena peradilan ini bertempat di serambi Masjid Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini dihukumi menurut Kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa Sultan Agung itu mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasihat hukum Islam dalam sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qâdhi atau hakim, sebagai imam masjid raya, sebagai wali hakim, dan sebagai amil zakat.19

Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam, seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan ’aqîqah dan bersedekah kepada fakir miskin; mengkhitankan anaknya; melakukan tatacara penguburan mayat, mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya.20

Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitâb an-Nikâh yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum perkawinan berdasarkan fikih mazhab Syafii. Kitab ini telah dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini menjadi pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah Kerajaan.21

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fath al-Jawwâd, yang isinya memuat ketentuan fikih di antaranya terkait ihyâ’ al-mawât (menghidupkan tanah mati). Dalam pasal 28 UU dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah di bawah kekuasaan Kerajaan. Karena itu, tidak boleh seorang pun melarang orang lain menggarap tanah tersebut, kecuali memang di atas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fikih Islam, yang menyatakan bahwa tanah yang belum digarap (tanah mawât) di bawah kekuasaan raja (negara), dan siapa saja yang menggarapnya adalah yang memilikinya.22

Dengan demikian, tampak jelas bahwa Islam dan syariahnya sudah menyatu dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemis.23


Ulama dan Penegakan Kembali Syariah Islam: Sebuah Renungan

Demikianlah, ulama memiliki peran besar dalam penyebaran Islam, pembentukan institusi politik Islam dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam. Ketika sekarang syariah Islam tidak diterapkan, maka ulama memiliki peran besar untuk berjuang menegakkan kembali kehidupan Islam. Sejauh mana kita sudah berjuang untuk menegakkan syariat Islam?

Seorang ulama mutaakhirin, Syaikh Taqyuddin an-Nabhani, dengan puluhan kitabnya yang ia tulis mengimbau, para ulama untuk berjuang menegakkan kembali syariah Islam. Nama An-Nabhani sebenarnya tidak asing. Ia adalah seorang cucu Syaikh Yusuf An-Nabhani, penulis sejumlah kitab, antara lain: Riyâdh al-Jannah fî Adzkâr al-Kitâb wa as-Sunnah; Fath al-Kabîr, Jam’u Karâmah al-Awliyâ’; Jâmi’ ats-Tsana ‘ala Allâh. Lalu apakah ulama sekarang sudah berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam? Inilah yang perlu menjadi renungan bersama. []

Penulis adalah Staf Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah-Jakarta

Catatan Kaki:

1 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII-XVIII (Bandung: Mizan, 2004) hal. 20-21

2 Ibid. hal. 22-23

3 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakata: PN Balai Pustaka, 1984:29)

4 Azyumardi Azra, op.cit. hal. 23.

5 Rahimsyah, Kisah Wali Songo. tt. Karya Agung Surabaya, hal 6

6 Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005. PT Madani Press, hal xxxvi

7 Sejarah Emas Muslim Indonesia, Sabili, no 9 th XI, hal 18

8 Machrus Effendi. Riwayat Hidup dan Perjuangan Syekh Muhammad Basyuni Imam Sambas. PT Dian Kemilau, Jakarta. 1995

9 Hasanuddin dkk. Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.2000

10 Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sekretariat Madrasah Sullamul ‘Ulum Dalam Pagar Martapura. 1996. 259 hal.

11 Syahzaman Hasanuddin, Sintang dalam Lintasan Sejarah. Romeo Grafika Pontianak.

12 Tentang beberapa Kesultanan Islam di Nusantara dapat dilihat: Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian ‘Dunia Islam Bagian Timur’. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. 2002

13 Peunoh Daly, “Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab Kaarya Abd Rauf Singkel”, Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1982), hal. 15-16.

14 Musyrifah Sunanto. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Hal 133-134. Rajawali Press. 2005. Pendapat AC Milner ini merupakan opini sejarah. Penggunaan kata kerajaan juga keliru, karena setelah beralih ke Islam, kerajaan Hindu-Budha dikonversi menjadi kesultanan.

15 Ibid, hal 135, 142. Hukum seperti ini merupakan hukum Islam tentang pencurian. Yaitu, siapa saja yang mencuri ¼ dinar (1 dinar setara dengan 4,125 gram emas) atau lebih, maka pelakunya dihukum potong tangan hingga pergelangan. Namun, jika melakukan pembegalan maka hukumannya dengan hukuman silang, yakni dipotong tangan kanan dan kirinya.

16 Ibid, hal 154

17 Ibid, hal 154-155

18 Musyrifah Sunanto. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hal 138. Rajawali Press. 2005. Hukuman rajam merupakan hukum Islam bagi pezina yang sudah atau pernah menikah. Sementara bagi pezina yang belum menikah hukumannya dicambuk 100 kali. Hukum seperti ini tidak dikenal sebelumnya. Ini menegaskan bahwa hukuman tersebut merupakan hukum yang diambil dari syariat Islam.

19 Ibid, hal 153, 157, 158

20 Ibid, hal 118

21 Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. Sejarah Banjar. 2004. hal 147

22 Ibid, hal 148

23 Hukum ihya al-mawat merupakan hukum Islam yang tercantum dalam hadits Nabi saw: Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak menjadi pemiliknya. Hukum ini jelas-jelas merupakan penerapan syariat Islam, sebab, hukum ihya al-mawat tidak dikenal dan tidak diterapkan pada masa sebelumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*