Salah seorang ulama besar sepanjang sejarah Islam sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini adalah Al-’Allamah Syaikh Imam Ibn Taimiyah. Kebesaran beliau bukan semata-mata dari sisi keilmuannya semata; tetapi juga dari sisi ketakwaan, kesalihan, ketekunan dalam beribadah, kezuhudan, kewaraan, kesabaran, keteguhan serta semangat kepahlawanan dan keberaniannya baik di medan dakwah maupun di medan jihad (perang) fi sabilillah. Beliau adalah salah seorang ulama pembela al-Quran dan as-Sunnah serta penentang kekufuran dan bid’ah garda depan.
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, dalam bukunya, Ibn Taymiyah, Bathal al-Islâh ad-Dîni, (Damaskus: Maktabah Darul-Ma’rifah, 1977) antara lain menulis sebagai berikut:
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Ahmad bin Abdis-Salam bin Abdillah bin al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah an-Numairi al-Harrani ad-Dimasyqi. Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajlah (Tigris) dan Efrat, pada hari Senin 10 Rabiul Awal tahun 661 H. Beliau berhijrah ke Damaskus (Syria) bersama orangtua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil karena serbuan tentara Tartar atas negerinya.
Sejak kecil sudah tampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damaskus beliau segera menghapalkan al-Quran dan menuntut berbagai cabang ilmu kepada para ulama, huffâzh dan ahli-ahli hadis negeri itu.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu ushuluddin serta tafsir, hadis dan bahasa Arab. Wajarlah karena sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama, mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau menginfakkan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendirian dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah; mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna; yakni dalam tafsir, akidah, hadis, fikih, bahasa Arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya. Beliau bahkan melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakani (w. 727 H) pernah berkata, “Jika ia ditanya tentang suatu bidang ilmu maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa dia seolah-olah hanya ahli di bidangi ilmu itu. Orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Para fukaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya, pasti akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan mazhab-mazhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi ia bisa dipatahkan hujjahnya.”
Imam adz-Dzahabi rahimahullâh (w. 748 H) juga berkata, “Ia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami…Pada zamannya, ia adalah satu-satunya yang terbaik dalam hal ilmu, kezuhudan, keberanian, kemurahan, amar makruf nahi mungkar, banyaknya buku-buku yang disusun serta amat menguasai hadis dan fikih.”
Wajarlah jika pada umurnya yang ketujuh belas beliau sudah siap mengajar dan berfatwa. Namun demikian, sejarah telah mencatat, Ibnu Taimiyah bukan saja ulama besar yang wara’, zuhud dan ahli ibadah; tetapi pejuang di medan jihad (perang), bahkan beliau adalah seorang pemberani yang ahli berkuda. Beliau adalah pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman musuh dengan pedangnya; sebagaimana beliau adalah pembela akidah umat dengan lisan dan penanya.
Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah pertempuran. Akhirnya, dengan izin Allah, pasukan Tartar berhasil dihancurkan hingga selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Ketegaran, keberanian dan kelantangan beliau dalam mengajak pada al-haq ternyata menyalakan api kedengkian dan kebencian para penguasa dan orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafik meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami berbagai tekanan; dipenjara, dibuang, diasingkan dan disiksa.
Namun demikian, tekanan berat di berbagai penjara beliau hadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Damaskus. Beliau malah berkata, “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Beliau pun pernah berkata dalam penjara, “Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabb-nya. Orang yang tertawan ialah yang ditawan oleh hawa nafsunya.”
Penjara tidak menghalangi Ibn Taimiyah untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang akidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah. Pengagum-pengagum beliau di luar penjara semakin banyak. Di dalam penjara pun banyak penghuninya yang menjadi murid beliau. Mereka beliau ajari agar selalu ber-‘iltizâm dengan syariah Allah; selalu beristigfar, tasbih dan berdoa; serta selalu melakukan amalan-amalan sahih. Hasilnya, suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersama beliau. Akhirnya, penjara berubah menjadi ‘pesantren’; penuh dengan orang-orang yang mengaji dan menuntut ilmu dari beliau.
Selama dalam penjara beliau selalu beribadah, berzikir, tahajud dan membaca al-Quran. Perlu dicatat bahwa selama dalam penjara, beliau tidak pernah mau menerima pemberian apa pun dari penguasa.
Beliau akhirnya wafat di dalam penjara Qal’ah Damaskus, disaksikan oleh salah seorang muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah. Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H.
Demikianlah salah satu gambaran dari sosok ulama pejuang pada masa lalu. Masih bisakah kita menemukan ulama seperti beliau pada zaman kini? Wallâhu a’lam bi ash-shawwâb. []