Dalam satu kesempatan bertemu dengan Jubir HTI, M Ismail Yusanto, beberapa waktu lalu, KH Abdurrahman Khudori, pimpinan Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, yang juga adalah Rais Musytasyar dari PKNU, menanyakan tentang Konferensi Khilafah Internasional (KKI) 2007 yang dianggapnya luar biasa. KKI pada 12 Agustus 2007 lalu memang mendapatkan ekspos besar-besaran dari media massa dalam maupun luar negeri. Mungkin karena temanya yang “sangat provokatif”, Saatnya Khilafah Memimpin Dunia. Mungkin juga karena pelaksanaannya yang memang bersifat kolosal: diselenggarakan di Gelora Bung Karno, Jakarta, dihadiri oleh lebih dari 100 ribu peserta.
Banyak pihak, termasuk para wartawan—yang semula tidak yakin HTI bisa memenuhi gedung olah raga dengan kapasitas terbesar di Indonesia itu—menjadi terkesima. Ternyata semua tempat terisi penuh. “Gimana koq bisa begitu banyak pesertanya,” begitu kira-kira Mbah Dur, sapaan akrab beliau, bertanya kepada Jubir HTI yang memang sudah lama beliau kenal.
“Alhamdulillah, Pak Yai, itu adalah hasil kerja selama lebih dari 20 tahun,” jawab Jubir. Lalu Jubir menjelaskan bagaimana gerak langkah yang dilakukan oleh HTI selama ini; mulai dari cara merekrut kader, menyelenggarakan halaqah, melakukan pembinaan umum hingga akhirnya dakwah bisa berkembang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.
++++
Dakwah model Hizbut Tahrir memang lambat di awal. Untuk menjadikan matang, satu halaqah yang biasanya diikuti oleh kurang lebih 5 orang, misalnya, diperlukan waktu bertahun-tahun. Mengapa waktu yang diperlukan begitu panjang? Karena kitab atau buku pembinaan yang harus dikaji cukup banyak. Belum lagi metode pangkajian kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab, yang harus dibaca paragraf demi paragraf, kemudian dijelaskan isi dan pengertiannya oleh musyrif (pembina halaqah), yang membuat halaqah memang tidak mungkin diselenggarakan secara kilat. Belum lagi waktu untuk menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan dari para peserta halaqah. Ditambah dengan nasyrah-nasyrah (selebaran) yang merupakan materi lepas, tetapi dianggap penting untuk disampaikan kepada para peserta, membuat materi dalam halaqah menjadi semakin banyak. Walhasil, waktu yang diperlukan juga menjadi semakin panjang sehingga pertumbuhan jumlah kader yang dihasilkan juga menjadi sangat lambat. Percaya atau tidak, 10 tahun pertama dakwah HT di Indonesia hanya dihasilkan 17 orang kader. Itu artinya, satu tahun dihasilkan 1,7 kader. Ini tentu jumlah yang amat sangat sedikit, dan merupakan pencapaian dakwah yang amat lambat.
Namun, seiring dengan waktu, perkembangan dakwah makin lama makin cepat karena efek duplikasi. Jika 10 tahun pertama hanya dihasilkan 17 orang, 10 tahun kedua—jika perkembangannya linier—mestinya hanya menghasilkan 34 orang, tetapi ternyata tidak seperti itu. Perkembangan dakwah HTI tumbuh secara eksponensial. Dakwah yang semula hanya berkutat di satu atau beberapa kota dengan hasil belasan kader, pada 10 tahun kedua ternyata sudah berkembang di seluruh Indonesia. Sekarang, di pertengahan 10 tahun ketiga, dakwah HTI sudah tersebar di 33 propinsi, di lebih 300 kota dan kabupaten. Bahkan sebagiannya telah merambah jauh hingga ke pelosok.
++++
Mengapa dakwah HTI bisa seperti itu? Pertama: dakwah HTI, sebagaimana dakwah HT di seluruh penjuru dunia, dilakukan hanya berdasarkan pada tharîqah atau metode dakwah Rasulullah saw. Rasul memulai dakwahnya di Makkah dengan melakukan pembinaan dan pengkaderan. Rasul membina para Sahabat generasi awal yang mau menerima dakwah beliau dalam sebuah “halaqah”. Rasul menyampaikan dan menjelaskan risalah Islam berdasarkan wahyu yang telah diterimanya. Melalui pembinaan yang dilakukan secara intensif itu, para Sahabat yang selalu setia bersama Rasululah semakin lama semakin terbentuk kepribadian atau syakhsiyyah Islamnya; kokoh akidahnya, lurus pemikirannya, mulia akhlaknya, tulus ibadahnya dan giat aktivitas dakwahnya.
Dari kelompok kecil inilah, risalah Islam kemudian menyebar. Pelan tapi pasti, pengikut Rasulullah terus bertambah sehingga pengaruh dakwah Islam juga makin lama makin terasa di tengah masyarakat. Apalagi setelah Rasulullah diperintahkan Allah SWT untuk berdakwah secara terang-terangan, pengaruh dakwah semakin meluas hingga keluar wilayah Kota Makkah. Dari sanalah bibit-bibit dukungan kepada kepemimpinan Rasulullah muncul. Ini menjadi bekal penting dari hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah yang menandai tegaknya masyarakat Islam pertama, yang di dalamnya diterapkan syariah dengan Rasulullah sebagai pemimpinnya.
Kedua: berdasarkan pada pemahaman terhadap tharîqah atau metode dakwah Rasulullah itu, HTI melakukan dakwah dengan penuh kesabaran. Sering disampaikan, bahwa dakwah model seperti yang dijalankan oleh HTI itu memerlukan 3 bekal: sabar, sabar dan sabar. Tentu bukan sembarang sabar, tetapi sebuah kesabaran yang disertai dengan keyakinan, bahwa dakwah yang dijalankan sesuai dengan tharîqah dakwah Rasul itu pasti akan membuahkan hasil yang nyata.
Dakwah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah juga lambat di awal. Membina orang memang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Di dalam dakwah ada interaksi antara yang menanamkan ide dengan yang menerima ide. Dakwah jelas tidak hanya sekadar aktivitas menanamkan ide, tetapi juga usaha bagaimana agar ide tersebut bisa diterima, diyakini, diamalkan dan diperjuangkan. Sekali ide itu diterima maka ia akan tertanam dalam pada diri kader. Selanjutnya akan menjadi mesin penggerak di dalam diri masing-masing kader bagi kegiatan dakwah selanjutnya. Itulah yang terjadi. Para kader yang telah sekian lama dibina dalam halaqah, sebagaimana juga para Sahabat, terdorong untuk terus menggerakkan dirinya sendiri berdakwah di tengah masyarakat, mencari kader, memilah dan memilih serta membina kader dakwah berikutnya. Jika mekanisme seperti ini terus berjalan maka tak pelak lagi gerak dakwah makin hari tentu saja makin besar.
Proses-proses seperti inilah yang tidak banyak diketahui oleh orang lain, termasuk para pengamat. Mereka merasa heran, darimana koq seolah-olah HTI tiba-tiba muncul begitu saja. Kegiatan pembinaan dan pengkaderan itulah yang tidak banyak diketahui oleh orang. Padahal proses-proses inilah yang sangat menentukan. Inilah jalan Islam dalam mengubah keadaan; jalan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah. Hanya saja, tidak semua umat Islam, khususnya para aktivis dakwah, mau mengikutinya serta sabar menjalaninya.
Melalui mekanisme yang kurang lebih sama, dakwah HT di al Quds, Palestina pada tahun 1953 dimulai. Dari seorang Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani rahimahullâh, yang memulai halaqah dengan beberapa orang peserta di salah satu pilar di Masjidil Aqsha, kini 56 tahun kemudian, dakwah HT telah berkembang di lebih dari 40 negara. Pasti beliau juga tidak pernah menyangka kalau dakwah yang dimulainya dengan begitu sederhana itu telah tersebar ke mana-mana, termasuk ke berbagai pelosok daerah di Indonesia; ke berbagai tempat yang mungkin tidak pernah terbayang sama sekali sebelumnya. Itulah dakwah. Segala kemungkinan bisa terjadi karena melalui dakwahlah segala hal menjadi mungkin.
Proses-proses dakwah itu, baik di tahap pembinaan dan pengkaderan (tatsqîf wa takwîn) maupun tahap interaksi dengan umat (tafâ’ul ma’a al-ummah) terus dijalankan oleh HT di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
++++
“O, apik kuwi (bagus itu). Tapi aku ora iso (tapi saya tidak bisa melakukan)”, kata MBah Khudori mendengar penjelasan Jubir.
Ya memang, tidak mudah. Untuk mendapatkan hasil seperti yang dilakukan HTI, orang harus memulai semuanya seperti HTI melakukannya 20 tahun lalu. Mau? [Kantor Jubir HTI]