Tidak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilâ Allâh (mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilâ Allâh hanya dianggap sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, zikir dan sebagainya. Sebaliknya, pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antarmanusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda pemerintahan Islam dianggap bukan bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Padahal sebenarnya tidak demikian.
Reduksi pengertian taqarrub ilâ Allâh ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama: dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua: adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub ilâ Allâh itu sendiri.
Pengertian dan Ruang Lingkup
Istilah taqarrub ilâ Allâh berasal dari nash-nash syariah yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, antara lain hadis qudsi dari Nabi saw. bahwa Allah SWT berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ …
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya; tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya.” (HR al-Bukhari & Muslim, Fath al-Bari, XVIII/342; Syarh Muslim, IX/35).
Dari frasa “mendekatkan diri kepada-Ku” (yataqarrabu ilaiyya) inilah kemudian lahir istilah taqarrub ilâ Allâh. Kata taqarrub secara bahasa artinya adalah mencari kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi, taqarrub ilâ Allâh secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bâri, XVIII/342).
Dari pengertian bahasa inilah para ulama berusaha merumuskan pengertian taqarrub ilâ Allâh secara syar’i. Para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, arti kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti jarak (masafah) jelas adalah mustahil. Jadi, hadis Nabi saw. di atas tidak dapat diartikan menurut arti hakikinya, melainkan harus dipahami dalam arti majazi (arti kiasan)-nya yang telah masyhur dalam gaya bahasa orang Arab. Maka dari itu, makna syar’i dari taqarrub ilâ Allâh adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (Fath al-Bâri, XXI/132; Syarh Muslim, IX/35; Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa‘, 1/499; Syarh al-Bukhâri li Ibn Bathal, XX/72).
Secara lebih rinci, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/9-12) menerangkan ruang lingkup taqarrub ilâ Allâh. Menurut beliau, orang yang melakukan taqarrub ilâ Allâh ada dua golongan/derajat. Pertama: orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (adâ‘ al-farâ’idh), yang meliputi perbuatan melakukan kewajiban (fi’l al-wâjibât) dan meninggalkan yang haram-haram (tark al-muharramât), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan shalat lima waktu. Kedua: orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawâfil), misalnya shalat tahajud dan tarawih.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilâ Allâh bukan hanya berupa ibadah mahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan semua kewajiban dan perkara-perkara sunnah; baik itu berupa ibadah mahdhah maupun berupa aktivitas interaksi antarmanusia. Yang juga termasuk taqarrub ilâ Allâh adalah aktivitas meninggalkan segala macam keharaman dan perkara-perkara makruh (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, 38/12).
Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah adalah taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana shalat dan puasa. Sebab, berdakwah adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada orangtua, membayar utang, bekerja mencari nafkah; semuanya merupakan taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab, semuanya adalah kewajiban yang ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada sesama Muslim; sebagaimana menyembelih kurban dan puasa Senin-Kamis. Sebab, semua itu adalah kesunnahan yang disukai dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga merupakan taqarrub ilâ Allâh, karena meninggalkan yang haram-haram juga merupakan taqarrub ilâ Allâh. Tidak makan makanan yang berbau ‘tajam’ sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilâ Allâh, sebagaimana tidak berbicara dalam kamar mandi. Sebab, keduanya adalah perbuatan yang makruh hukumnya.
Menerapkan Syariah Islam
Para ulama menegaskan bahwa taqarrub ilâ Allâh juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dengan melaksanakan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majm’ ûl-Fatawa (VI/410) berkata, “Wajib menjadikan kepemimpinan [imârah] sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan jalan menaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubât]. Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia hanya mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu.”
Dalam kitabnya yang lain, As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharf as-sulthân] dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda dimaksudkan untuk taqarrub ilâ Allâh dan infak fi sabilillah, maka itu akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun, jika kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat akan rusak.”
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm (XXXVIII/11) menerangkan, “Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub ilâ Allâh adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada istri dan anaknya.”
Kemudian Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan beberapa hadis yang mendasari pernyataannya itu. Kewajiban menegakkan keadilan secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi saw.:
كُلُّكم راعٍ وكُلُكم مسؤولٌ عن رعيَّته
Setiap diri kalian adalah bagaikan penggembala dan setiap penggembala akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adapun kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam (Khalifah), dalilnya antara lain sabda Nabi saw.:
إنَّ المُقسطين عند الله على منابِرَ من نُورٍ على يمين الرحمان-وكلتا يديه يمين-الذين يَعدِلُون في حكمهم وأهليهم وما ولُوا
Sesunguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha Penyayang), dan kedua tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam pemerintahan mereka dan di tengah keluarga mereka, dan mereka tidak berpaling.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
إنَّ أحبَّ العبادِ إلى الله يَومَ القيامةِ وأدناهم إليه مجلساً إمامٌ عادلٌ
Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan yang paling dekat majelisnya dengan-Nya adalah Imam (Khalifah) yang adil (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, aktivitas menerapkan syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah bagian dari taqarrub ilâ Allâh. Bahkan seperti kata Ibnu Taimiyah di atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilâ Allâh yang paling utama.
Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan, sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah (menyeluruh). Sistem pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam dan sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilâ Allâh akan bisa terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilâ Allâh secara kâffah.
Dengan kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme dan tanpa adanya Khilafah seperti kondisi saat ini, akan banyak hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak bisa dijalankan. Padahal menerapkan semua hukum syariah Islam adalah suatu kewajiban (QS 2: 108). Kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilâ Allâh yang kâffah. Selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi kerusakan belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah (As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, 1/174).
Urgensi Taqarrub ilâ Allâh
Urgensi taqarrub ilâ Allâh adalah demi meraih kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi saw.:
ولا يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنوافِلِ حتّى أُحبَّه
Tidaklah hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawâfil) hingga aku mencintainya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang mendekatkan diri kepada Allah maka dia akan dicintai Allah. Orang yang dicintai Allah akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari Allah, semisal keridhaan dan rahmat Allah; limpahan rezeki-Nya, taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/10-12; Syarah Muslim, X/35).
Sebaliknya orang yang tidak mau mendekatkan diri kepada Allah maka dia tidak akan dicintai Allah, tak akan mendapat berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan diganti Allah dengan orang lain yang mencintai-Nya. Allah SWT berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, siapa saja di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan mereka pun mencintai-Nya; yang bersikap lembut terhadap orang yang Mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan para pencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahatahu (QS al-Maidah [5]: 54).
Ibnu Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Dalam ayat ini terdapat isyarat seakan Allah berkata, ‘Orang yang berpaling dari mencintai Kami, yang tidak mau mendekatkan diri kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan dia, dan akan Kami ganti dia dengan orang yang lebih layak mendapat karunia ini.” (Jâmi’ al-’Ulum wa al-Hikâm, XXXVIII/12).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian taqarrub ilâ Allâh adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya, baik yang wajib maupun yang sunnah (nafilah); juga dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya, baik yang haram maupun yang makruh.
Taqarrub ilâ Allâh tidak hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, seperti shalat dan puasa, melainkan meliputi pula segala ketaatan dalam interaksi antara manusia, termasuk penerapan syariah Islam secara menyeluruh oleh seorang khalifah dalam bingkai negara Khilafah.
Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilâ Allâh, karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai kewajiban lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum syariah Islam secara kâffah (menyeluruh). Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah mereduksi taqarrub ilâ Allâh secara ekstrem menjadi hanya dalam tataran ritual dan spiritual belaka, selain hanya menimbulkan kerusakan di muka bumi karena telah memisahkan kekuasaan dan dari bimbingan agama. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]