Pasca ledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton, perang melawan terorisme semakin gencar dilakukan. Media pun menjadikan Perang Melawan Terorisme menjadi menu utama berita. Para pengamat turut meramaikan isu terorisme dengan berbagai analisis. Yang menarik, berbagai diskusi tidak hanya berhenti pada upaya kepolisian yang gencar mengejar mereka yang dituduh sebagai teroris, tetapi mulai melebar pada upaya ‘ideologisasi’ gerakan teroris.
Dalam sebuah diskusi di sebuah TV swasta, AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) menuding habitat pelaku teror berideologi ‘wahabi radikal’. Senada dengan itu Kepala Desk anti Teror Ansyad Mbai, mengatakan target para teroris bukan hanya memerangi Amerika, tetapi juga ingin mendirikan Negara Islam yang berdasarkan syariah Islam atau Khilafah Islam.
Sejak awal perang melawan terorisme yang dipimpin oleh AS bukan hanya merupakan perang fisik, tetapi juga menyangkut perang pemikiran (war on idea). Pada tahun 2002, Sekretaris Menteri Pertahanan AS saat itu, Paul Wolfowitz, mengatakan, “Saat ini, kita sedang bertempur dalam perang melawan teror—perang yang akan kita menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran—jelas suatu tantangan, tetapi sesuatu yang juga harus kita menangkan.”
Hal senada dinyatakan Penasihat Keamanan Nasional AS Condoleezza Rice (2004) yang saat itu menjadi penasihat keamanan nasional AS, “Kemenangan sebenarnya tidak akan muncul hanya karena teroris dikalahkan dengan kekerasan, tetapi karena ideologi kematian dan kebencian dikalahkan.”
Tidaklah mengherankan, kalau sejak awal perang melawan terorisme sering bias dengan kepentingan asing; seperti stigmatisasi terhadap ajaran-ajaran Islam terutama syariah, Khilafah dan jihad. Pelaku pengeboman dan keluarganya berupaya dikaitkan dengan penampilan fisik atau simbol-simbol Islam seperti berjenggot, celana isbal (di atas mata kaki), dahi hitam, wanita yang memakai cadar, buku-buku dan majalah Islam sampai stiker jihad.
Media juga mengekpos para pelaku adalah ustadz, guru agama, jebolan pesantren, dll. Secara pemikiran (ideologi) para pelaku dinyatakan dari kelompok yang ingin mendirikan Khilafah Islam atau syariah Islam. Bandingkan dengan koruptor atau kriminal lainnya, tidak pernah diinvestigasi dan dikaitkan dengan alumnus universitas apa, bagaimana keluarganya, bagaimana pelaku berhubungan dengan tetangga atau sikap beragamanya.
Kesan mengaitkan terorisme dengan Islam memang sangat kuat dengan penggunaan istilah seperti ‘teroris Islam’, Jamaah Islamiyah, ‘militan Islam’ dan penyebutan lainnya. Hal ini sangat berbeda kalau pelaku terorisme adalah kelompok di luar Islam seperti IRA di Irlandia atau Macan Tamil di Srilanka. Media, pengamat atau pejabat publik tidak pernah mengaitkan pelaku dengan agamanya seperti penyebutan ‘teroris Kristen’ atau ‘militan Hindu’.
Stigmatisasi ini kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapapun kelompok Islam yang menentang Amerika atau ingin mendirikan syariah dan Khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal tidak semua kelompok Islam yang ingin mendirikan syariah dan Khilafah setuju dengan jalan pengeboman atau angkat senjata terhadap rezim pemerintahan sekular.
Hizbut Tahrir, misalnya, menegaskan dalam buku-bukunya perjuangan penegakan syariah dan Khilafah harus dilakukan dengan jalan dakwah melalui media perubahan pemikiran (fikriyah) kegiatan politik (siyâsah), bukan dengan angkat senjata (ghayr ‘unfiyyah). Kalangan Ikhwanul Muslimun misalnya juga banyak yang tidak sependapat dengan angkat senjata untuk menegakkan syariah Islam, bahkan di antaranya memilih jalan demokrasi. Sayang, media, pengamat atau pejabat publik tidak seimbang mengekspos hal ini.
Yang paling mengkhawatirkan kalau isu terorisme menjadi political hammer sebagai legitimasi politik untuk kepentingan negara-negara Barat atau rezim sekular yang represif. Atas nama perang melawan terorisme negara Barat kemudian melakukan intervensi ke negara lain seperti menyerang Irak dan Afganistan.
Tidak hanya itu dengan tuduhan teroris (yang sering tanpa bukti) seseorang bisa diperlakukan seenaknya; ditangkap tanpa dakwaan, ditahan tanpa alasan yang jelas, disiksa sampai dibunuh, dll. AS sendiri mempraktikkan hal ini di Penjara Guantanamo, Abu Ghraib dan penjara-penjara rahasia lainnya di beberapa negara represif.
Hal yang sama juga dilakukan oleh rezim-rezim represif untuk menuding siapapun lawan politiknya sebagai teroris dan memperlakukan seenaknya. Rezim represif Mesir, Saudi Arabia, Suriah, Uzbekistan—atas tuduhan terorisme—menangkap dan memperlakukan secara kejam lawan-lawan politiknya atau kelompok Islam yang menentang kediktatoran penguasa dan yang ingin menegakkan syariah Islam. Tidak berbeda dengan itu, Israel juga memperlakukan umat Islam di Palestina dengan brutal dengan alasan, mereka teroris. Pemerintah Cina juga berupaya membenarkan tindakan represif terhadap umat Islam di Xinjiang dengan alasan mereka terlibat jaringan teroris internasional.
Upaya ‘ideologisasi’ terorisme akan membuat Pemerintah menjadi alat kepentingan negara-negara Barat yang tidak menginginkan umat Islam menegakkan syariah dan Khilafah meskipun dengan cara damai. Ideologisasi yang disertai dengan stigmatisasi dan generalisasi mengaburkan dan memperluas medan pertentangan yang tidak perlu. Tidak hanya itu, Pemerintah bisa terjebak seperti masa Orde Baru. Isu terorisme menjadi political hammer untuk bertindak represif terhadap lawan politik atau kelompok Islam dengan tudingan mereka adalah teroris atau pendukung teroris [Farid Wadjdi]