Pengantar
Sebelumnya datangnya Islam bangsa Arab adalah bangsa yang tidak diperhitungkan di mata dunia. Namun, setelah Rasulullah saw, datang dengan risalah Islam mereka pun menjadi mulia dan terhormat; bukan hanya dari sisi kepribadian mereka, namun juga negara dan peradaban yang mereka bangun. Hal tersebut setidaknya tercermin dari pernyataan Umar bin al-Khaththab ra.:
إنَّا كنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللهُ بِاِلإسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ أَذَلَّنَا اللهُ
Kami dulunya adalah kaum yang paling hina. Lalu Allah memuliakan kami dengan Islam. Karena itu, jika kami mencari kemuliaan selain dari apa yang dengannya Allah telah muliakan kami maka Ia pasti menghinakan kami (HR al-Hakim; ia mensahihkannya dan disepakati oleh ad-Dzahabi).
Berbeda halnya dengan umat Islam saat ini. Meski akidah Islam tetap ada pada diri mereka, mereka justru mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan. Padahal mereka sesungguhnya adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia (lihat QS Ali Imran [3]: 110).
Salah satu penyebabnya adalah akidah Islam yang saat ini mereka anut tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya. Hal tersebut setidaknya terlihat pada tiga hal. Pertama: hilangnya ikatan akidah dengan pemikiran dan sistem Islam sehingga akidah tersebut tidak produktif. Kedua: hilangnya hubungan antara akidah dengan Hari Kiamat. Akibatnya, umat tidak berupaya agar kehidupan mereka diarahkan untuk menggapai indahnya kehidupan surga dan menjauhi pedihnya azab neraka dengan berlomba-lomba meraih ridha Allah SWT. Ketiga: akidah Islam juga tidak lagi dijadikan sebagai perekat ukhuwah di kalangan umat Islam sehingga mereka terpecah-belah dalam berbagai bangsa dan negara.1
Lalu bagaimana menjadikan umat Islam kembali bangkit dengan akidah Islam yang mereka anut?
Pertanyaan tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam Kitab Nizhâm al-Islâm bab “Tharîq al-خmân” karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, yang akan ditelaah lebih lanjyt dalam tulisan ini.
Asas Kebangkitan
Meski tidak mencantumkan latar belakangnya, dapat dipahami bab “Tharîq al-Imân” dalam buku ini bermaksud menjelaskan bagaimana membangkitkan umat Islam dari keterpurukannya dengan cara yang benar.
Kebangkitan yang hakiki menurut Syaikh An-Nabhani bukanlah berupa kemajuan dalam bidang ekonomi, teknologi, pendidikan, akhlak ataupun militer; namun pada peningkatan taraf berpikir.2 Pemikiran menjadi hal utama karena ia yang menentukan baik-buruknya tingkah laku seseorang atau umat dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, kemajuan dalam bidang-bidang di atas dapat dengan mudah diperoleh jika telah terjadi peningkatan taraf berpikir pada diri mereka.
Namun demikian, peningkatan taraf berpikir yang dimaksud bukan sekadar karena adanya perubahan dan peningkatan apa yang dipikirkan, misalnya dari sekadar memikirkan diri sendiri lalu meningkat dengan memikirkan keluarga atau umat manusia. Selama peningkatan taraf berpikir tersebut tidak dibangun oleh satu pandangan hidup tertentu maka perubahan yang dihasilkan tidak akan permanen karena mudah berubah, tidak mampu memberikan ketenangan hidup serta tidak dapat memecahkan berbagai persoalan hidup manusia.3 Dengan demikian, orang tersebut tidak akan pernah bangkit.
Lalu pemikiran apa yang dapat membangkitkan manusia? An-Nabhani menjelaskan bahwa pemikiran tersebut adalah akidah, yakni pemikiran yang menyeluruh tentang:
a) Manusia, alam semesta dan kehidupan; apakah ketiganya diciptakan atau tidak.
b) Sebelum kehidupan; apakah ada pencipta atau tidak.
c) Setelah kehidupan; apakah ada Hari Kiamat atau tidak.
d) Hubungan manusia, alam dan kehidupan dengan sebelum dan setelah kehidupan; jika memang ada pencipta, bagaimana hubungannya dengan manusia di dunia; jika ada Hari kemudian, bagaimana hubungannya dengan kehidupan manusia di alam ini.
Dengan cakupan pemikiran yang mendasar (asâsiyyah) dan menyeluruh (syumûliyyah) tersebut, maka akan dapat dibangun di atasnya berbagai pemikiran cabang, yakni pemikiran dapat memberikan jawaban atas segala persoalan hidup manusia sehingga manusia dapat mengalami kemajuan dan kebangkitan.
Meski demikian, pemikiran yang menyeluruh tersebut belum menjamin bahwa kebangkitan yang dihasilkan adalah kebangkitan yang benar. Oleh karena itu, pemikiran tersebut harus memenuhi dua kriteria. Pertama: harus sesuai dengan akal sehingga seseorang merasa puas dengan argumentasi (dalil) yang menjadi dasar pemikiran tersebut. Kedua: sesuai dengan fitrah manusia, yakni harus dapat memenuhi naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada diri manusia, yakni adanya sifat lemah dan terbatas pada dirinya sehingga ia membutuhkan pelindung dan pengatur. Dengan demikian maka pemikiran tersebut mampu memberikan ketenangan pada dirinya.4
Agar pemikiran di atas dapat memuaskan akal dan memenuhi naluri beragama pada diri manusia maka untuk mencapainya harus ditempuh dengan proses berpikir secara jernih (al-fikr al-mustanîr). Proses berpikir yang jernih adalah proses berpikir yang mendalam (‘amîq) tentang suatu obyek di atas, dikaitkan dengan apa yang ada di sekitarnya, dan yang berhubungan dengannya untuk mencapai hasil yang benar.5 Pentingnya proses berpikir jernih tersebut karena pemikiran yang akan diperoleh tersebut akan menjadi asas kehidupan dan pandangan hidup sehingga ia memustahilkan adanya kesalahan sekecil apapun. Kesalahan hanya mungkin terjadi pada pemikiran cabang yang berasal dari asas tersebut.6
Dalil Akidah
Karena obyek akidah di atas berkaitan dengan penetapan (itsbât) tentang hakikat sesuatu secara pasti maka ia pun harus dilandasi oleh dalil yang menyakinkan (qath’i) sehingga apa yang diyakini tersebut memang sesuai dengan realitas. Oleh karena itu, akidah yang juga diistilahkan dengan iman didefinisikan sebagai at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ (pembenaran secara pasti yang sesuai dengan realitas dan didasarkan pada dalil).7
Syaikh an-Nabhani kemudian menjelaskan bagaimana akidah Islam dibuktikan dengan proses berpikir yang jernih dengan mengetengahkan dalil yang meyakinkan (qath’i). Pemikiran tentang alam, manusia dan kehidupan akan menghasilkan jawaban bahwa ketiganya terbatas dan lemah. Segala sesuatu yang lemah pasti membutuhkan yang lain. Jika demikian maka ia pasti diciptakan. Dengan argumetasi demikian maka manusia pasti akan sampai pada kesimpulan akan adanya pencipta sekaligus pengatur ketiga hal tersebut. Dengan kata lain, ia telah sampai pada pemikiran tentang sebelum kehidupan dunia bahwa ketiganya diciptakan oleh Al-Khâliq.
Di dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah I dan Naqd al-Isytirâkiyyah al-Marksiyyah diuraikan lebih jauh mengenai dalil tentang keniscayaan adanya pencipta dan bantahan terhadap pandangan pihak-pihak yang menafikannya. Metode pembuktian seperti ini sejalan dengan metode al-Quran dalam menuntun manusia mengimani Allah SWT dengan cara mengajak mereka memikirkan hal-hal yang dapat diindera manusia di alam ini.
Syaikh An-Nabhani kemudian menjelaskan bahwa manusia hanya dapat berpikir pada hal-hal yang berada dalam jangkauan inderawinya. Dengan demikian, nama, zat dan sifat pencipta dan pengatur tersebut mustahil dapat diketahui oleh akal. Jika dipaksakan maka hanya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang spekulatif sehingga tidak dapat diyakini kebenarannya. Padahal Islam mengharuskan akidah diyakini secara penuh dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun. Selai itu, terdapat sejumlah nash yang mengharamkan untuk meyakini hal-hal yang bersifat spekulatif.
Di sinilah pentingnya pemahaman yang benar terhadap hakikat akal sehingga ia dapat ia difungsikan dengan tepat. Kekeliruan dalam memahami hakikat akal akan berakibat fatal dalam memahami dan meyakini persoalan yang berkenaan dengan akidah sebagaimana yang menimpa para mutakallimin. Kekeliruan tersebut bukan hanya telah menjadikan pembahasan akidah menjadi bertele-tele dan terkesan sulit, namun juga telah memberikan dampak yang serius bagi kemunduran umat Islam.8
Untuk meyakini hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal maka dibutuhkan sumber lain yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun demikian, sumber tersebut tentu harus diyakini kebenarannya oleh akal manusia agar penjelasannya dapat diyakini. Untuk itulah diutus seorang rasul yang dibekali mukjizat sehingga setiap orang yang menyaksikan mukjizat tersebut dengan proses berpikir yang jernih yakin bahwa ia adalah utusan sang pencipta. Kehadiran seorang rasul juga merupakan cara untuk memenuhi naluri pada manusia untuk beribadah kepada pencipta tersebut dan adanya aturan yang mengatur dirinya yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan.
Di dalam Islam, rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. dan mukjizatnya adalah al-Quran. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk kepada umat manusia tentang bagaimana menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan Penciptanya, Allah SWT. Penetapan bahwa al-Quran berasal dari Allah juga dengan menggunakan akal karena terbukti tidak seorang pun yang dapat menandingi kehebatan gaya bahasanya baik oleh orang Arab hatta Nabi Muhammad saw. sekalipun.
Setelah terbentuk keyakinan terhadap al-Quran maka secara otomatis seluruh isi kandungannya akan diyakini; seperti keimanan terhadap para nabi dan rasul sebelum Muhammad saw. beserta kitab suci mereka, keimanan kepada Malaikat, dan keimanan pada kehidupan setelah dunia ini, yakni Hari Kiamat. Dengan demikian, terjawab sudah pemikiran tentang kehidupan setelah dunia, yakni akhirat, dan hubungannya dengan kehidupan manusia di dunia, yaitu bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan di dunia ini apakah sesuai dengan aturan Allah SWT atau tidak. Bagi yang taat diganjar surga, sementara yang inkar akan dibalas dengan siksa neraka.
Output
Karena sifatnya yang mendasar dan menyeluruh serta diperoleh dengan proses berpikir yang jernih sehingga memberikan pembenaran yang pasti, maka akidah Islam merupakan landasan yang sangat kuat yang menghasilkan berbagai pemikiran cabang dalam seluruh kehidupan manusia. Dengan kata lain, akidah Islam merupakan landasan ideologi yang didefinisikan sebagai akidah yang diperoleh melalui proses berpikir yang melahirkan sistem kehidupan.
Dengan sifat tersebut, seseorang yang meyakini akidah Islam akan tunduk pada seluruh hukum-hukum yang bersumber dari akidah tersebut, yakni syariah Islam secara menyeluruh tanpa membedakan antara satu dengan yang lain seperti antara shalat dan Khilafah, zakat dan jihad fi sabilillah, thaharah dan qishâsh, dll.
Seseorang yang meyakini akidah Islam yang benar akan menjadikan akidah tersebut sebagai dasar bagi seluruh pemikiran (’aqliyyah) dan kejiwaan (nafsiyyah)-nya. Ia pun akan berupaya untuk menerapkan seluruh hukum-hukum yang terpancar dari akidahnya dalam sebuah negara karena metode kebangkitan hanya dapat diraih dengan menerapkan suatu pemerintahan yang berdasarkan akidah. Inilah yang terjadi pada bangsa Arab yang bangkit dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. yang kemudian diterapkan pada suatu negara. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Eropa dan Uni Soviet yang masing-masing bangkit dengan ide sekularisme dan materialisme yang diterapkan dalam pemerintahan—meski dua yang terakhir tidak menghasilkan kebangkitan yang benar, karena akidah yang dijadikan asas adalah akidah yang salah. Namun yang pasti, hal tersebut menjadi bukti bahwa adanya akidah semata belum cukup untuk melahirkan kebangkitan tanpa adanya negara. Wallâhu a’lam bis shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Taqiyuddin an-Nabhani, Nidâ’ Har ilâ al-Muslimîn min Hizb at-Tahrir, Khortum (1965), hlm. 40.
2 Taqiyuddin an-Nabhani, Hadîts ash-Shiyâm, hlm. 1
3 Taqiyuddin an-Nabhani, At-Tafkîr, Cetakan Pertama (1973) hlm. 76.
4 Muhammad Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi,. Darul Bayariq, Cetakan Pertama (1990) hlm. 35.
5 Ibid., hlm. 111.
6 Yusuf Sabatin, Tharîqa al-‘Izzah, hlm.16
7 Taqiyuddin an-Nabhani, Kayfiyyah Izâlah al-Atribah ‘an al-Judzûr, hlm. 5.
8 Lebih lanjut lihat: Muhammad Magfur Wahid, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah (2002), hlm. 203.
diwajibkan bagi orang yang beriman untuk berperang jika meninggalkan ini maka berdosa besar karena ini agama yang mulia disampaikan pendahulu kita yang dimuliakan hingga akhir jaman mati shahid adalah tujuan hidup. berjihadlah kalian dengan apa yang kalian sanggupi dengan peluru atw dengan bom shahid untuk mengahancurkan benteng orang2 kafir di muka bumi ini, jangan pedulikan perkataan orang2 pengecut orang2 munafik,musrik,kafir biarkan mereka dengan kesesatannya, toh nantinya mereka akan mati juga.