Pendahuluan
Perdebatan tentang seberapa jauh negara harus berperan dalam membantu ekonomi rakyatnya, kembali mencuat setelah dunia dilanda krisis ekonomi yang sangat dahsyat pada November 2008 yang lalu. Stimulus fiskal yang biasanya dianggap sebagai kebijakan “haram” di mata ekonom kapitalis justru dijadikan sebagai solusi andalan untuk mengatasi krisis besar tersebut. Padahal doktrin ekonomi Kapitalisme sudah terlanjur mengajarkan bahwa pengelolaan ekonomi yang paling baik adalah apabila negara tidak terlalu banyak mencampuri urusan ekonomi, termasuk dalam membantu ekonomi rakyatnya, sehingga jalannya ekonomi diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas.
Apakah negara perlu menambah anggaran belanjanya untuk membantu rakyatnya atau tidak? Apakah kebijakan yang akan ditetapkan adalah pengeluaran anggaran akan lebih besar dari pendapatannya (defisit fiskal) ataukah sebaliknya? Inilah salah satu bagian penting yang akan senantiasa menjadi perbincangan dalam penyusunan APBN.
Untuk memperjelas masalah di atas, tulisan ini akan dimulai dengan melihat terlebih dulu bagaimana suatu negara dalam menyusun APBN-nya. Suatu negara yang hendak menyusun APBN-nya ternyata harus mengikuti suatu prinsip atau kaidah tertentu yang sesuai dengan paham ekonomi yang dianutnya. Negara yang menganut paham ekonomi Kapitalisme (konvensional), dalam menyusun APBN-nya, tentu akan sangat berbeda dengan negara yang menganut sistem ekonomi Islam.
Pembahasan berikutnya adalah bagaimana kebijakan anggaran belanja negara itu akan ditetapkan, khususnya pada negara Khilafah yang menganut sistem ekonomi Islam. Apakah dalam penyusunan anggaran belanjanya, negara Khilafah harus ikut terjebak dalam perdebatan antara defisit fiskal atau surplus fiskal? Ataukah kebijakan belanja negara Khilafah benar-benar memiliki prinsip dan kaidah yang sama sekali berbeda?
Sekilas APBN Konvensional
APBN dari suatu negara yang menganut paham ekonomi kapitalisme (konvensional) akan memiliki konsep penyusunan yang khas, yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu yang telah digariskan. Konsep itu dapat diketahui dengan melihat dua unsur utama penyusunnya, yaitu dari mana sumber utama penerimaannya dan untuk apa pengeluarannya (belanjanya). Selain itu, pemerintah dalam menyusun APBN-nya juga harus mendapat persetujuan dari DPR, untuk selanjutnya akan ditetapkan sebagai anggaran belanja selama satu tahun, yang biasa dikenal sebagai tahun fiskal.
Menurut paham ekonomi kapitalisme, sumber utama pendapatan negara yang utama hanyalah berasal dari pajak yang dipungut dari rakyatnya. Pengeluaran (belanja) utamanya hanyalah untuk membiayai kebutuhannya sendiri seperti: administrasi negara, operasi departemen pemerintah, pertahanan keamanan dsb. Di samping itu, belanjanya juga akan digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan pembangunan fasilitas umum seperti: membangun jalan, jembatan, waduk, sekolah, rumah sakit, dsb.
Dalam menyusun APBN-nya, pemerintah harus selalu merujuk pada prinsip anggaran berimbang. Artinya, belanja yang harus dikeluarkan oleh pemerintah harus seimbang (sebesar) dengan penerimaan dari pajak yang berasal dari rakyatnya. Jika pemerintah harus mengeluarkan belanja yang besarnya melebihi sumber penerimaannya, maka inilah yang akan disebut sebagai anggaran defisit atau biasa dikenal dengan sebutan defisit fiskal. Jika anggaran pemerintah mengalami defisit, maka biasanya akan ditutup dengan salah satu dari empat cara:
1. Penjualan obligasi (surat utang negara).
2. Pinjaman dari bank sentral dengan cara mencetak uang baru.
3. Pinjaman di pasar uang atau modal di dalam negeri atau luar negeri.
4. Pinjaman atau bantuan resmi dari pemerintah negara-negara donor.
Dari penjelasan singkat di atas kita dapat memahami, jika pemerintah harus menetapkan anggaran defisit, maka dari keempat sumber dana untuk menutupi kekurangan anggarannya, sesungguhnya hanya bermuara pada satu kata, yaitu: hutang!
Jika APBN memiliki beban hutang, siapa yang berkewajiban untuk membayar angsuran hutang pokoknya ditambah dengan bunganya (ribanya)? Jawabnya tidak lain: rakyat! Melalui apa? Melalui beban pajak yang akan senantiasa dinaikkan besarannya; atau dengan memperbanyak jenis-jenis pajaknya!
Inilah buah simalakama dari sistem APBN konvensional. Jika negara menetapkan anggaran defisit untuk menyelamatkan ekonomi rakyatnya, dalam jangka panjang justru akan membebani rakyatnya. Namun, jika pemerintah tidak mau memberi bantuan kepada rakyatnya, tentu ekonomi rakyat akan semakin terpuruk. Mana kebijakan yang harus dipilih? Inilah lingkaran setan dari ekonomi kapitalisme, yang tidak pernah akan berujung pangkal.
Sekilas APBN Nengara Khilafah
Bagaimana dengan konsep penyusunan APBN di negara Khilafah? Tentu prinsip dasar dan kaidah-kaidah penyusunan sangat berbeda dengan prinsip penyusunan APBN dalam ekonomi konvensional.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, perbedaan prinsip yang paling mendasar antara APBN konvensional dan APBN Khilafah adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaan-nya. Sumber-sumber penerimaan APBN negara Khilafah, yang lebih dikenal dengan sebutan Kas Baitul Mal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. Bahkan negara sedapat mungkin untuk tidak memungut pajak dari rakyatnya. Sumber-sumber utama penerimaan negara untuk Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam. Paling tidak ada 3 sumber utama, yaitu:
a. Sektor kepemilikan individu, seperti: sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.
b. Sektor kepemilikan umum, seperti: pertambangan, minyak bumi, gas, batubara, kehutanan dsb.
c. Sektor kepemilikan negara, seperti: jizyah, kharaj, ghanîmah, fa’i, ‘usyur dsb.
Jika sumber utama penerimaan negara sudah jelas, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan ketentuan pembelanjaannya?
Konsep dan Kaidah Pembelanjaan
Seorang kepala negara (Khalifah) dalam negara Khilafah memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan anggaran belanjanya tanpa harus meminta persetujuan Majelis Umat (atau DPR dalam sistem ekonomi kapitalisme).
Penyusunan anggaran belanja negara Khilafah juga tidak terikat dengan tahun fiskal sebagaimana yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Khalifah dalam menetapkan anggaran belanjanya hanya tunduk pada garis-garis atau kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh syariah Islam.
Khalifah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pos-pos pengeluarannya,dan besaran dana yang harus dialokasikan, dengan mengacu pada prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, berdasarkan pada ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Islam, agar jangan sampai harta itu berputar di kalangan orang-orang kaya saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
Pos-pos Pembelanjaan
Khalifah, dalam menetapkan pos-pos pembelanjaannya, paling tidak harus mengikuti enam kaidah utama dalam pengalokasian anggaran belanjanya, yaitu:
1. Khusus untuk harta di Kas Baitul Mal yang berasal dari zakat, pos pengeluarannya wajib hanya diperuntukkan bagi delapan ashnaf sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam al-Quran.
2. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk keperluan jihad dan menutup kebutuhan orang-orang fakir dan miskin.
3. Pos pembelanjaan wajib dan bersifat tetap dari Baitul Mal untuk memberikan gaji (kompensasi) atas jasa yang telah dicurahkan untuk kepentingan negara, yaitu: pegawai negeri, hakim, tentara, dsb.
4. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat wajib, dalam arti, jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyat. Contohnya adalah pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, air bersih dsb.
5. Pos pembelanjaan wajib yang bersifat kondisional, yaitu untuk menanggulangi terjadinya musibah atau bencana alam yang menimpa rakyat. Contohnya adalah terjadinya paceklik, gempa bumi, banjir, angin taufan, tanah longsor dsb.
6. Pos pembelanjaan untuk pembangunan sarana kemaslahatan rakyat yang bersifat tidak wajib, dalam arti, sarana tersebut hanya bersifat penambahan dari sarana-sarana yang sudah ada. Jika sarana tambahan tersebut tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kemadaratan bagi rakyatnya.
Tatacara Cara Pembelanjaan dan Solusi untuk Menutup Kekurangan Anggaran
Bagaimana tatacara seorang Khalifah dalam mengatur pengeluaran sekaligus dalam menutup kekurangan anggarannya?
Tatacara pengeluaran yang harus dijadikan pegangan oleh seorang khalifah dalam mengatur pembelanjaannya dikembalikan pada jenis-jenis dari pos pengeluaran sebagaimana yang telah diperinci dalam bab sebelumnya.
Untuk pos pengeluaran yang pertama, pengeluaran yang harus dilakukan oleh seorang khalifah hanya mendasarkan pada banyaknya zakat yang masuk ke Kas Baitul Mal, kemudian disalurkan pada delapan ashnaf sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Quran. Jika harta dari zakat itu tidak ada dalam Kas Baitul Mal atau harta zakatnya sudah habis, Khalifah tidak perlu mencari pinjaman lagi untuk membayar zakat bagi rakyatnya.
Untuk pos pengeluaran dari butir kedua sampai butir kelima, Khalifah harus mengeluarkan harta dari Kas Baitul Mal sebagai kewajiban yang harus segera ditunaikan oleh negara terhadap hak-hak yang harus diterima oleh rakyatnya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Jika Kas Baitul Mal mengalami kekurangan, harus dilihat lebih lanjut. Jika pemenuhan kekurangan itu tidak segera diberikan akan dapat menyebabkan terjadinya kemadaratan yang serius, Khalifah harus segera mengupayakan pemenuhan kekurangan harta tersebut. Dengan cara apa? Dengan cara membebankan kewajiban tersebut kepada kaum Muslim, dari kalangan yang kaya saja, dalam wujud penarikan pajak (dharîbah). Penarikan pajak tersebut hanya bersifat temporal. Jika kekurangan tersebut sudah terpenuhi, penarikan pajak tersebut harus dihentikan.
Namun, jika pemenuhan kekurangan itu dikhawatirkan tidak akan menimbulkan kemadaratan yang serius, pemenuhan kekurangan tersebut dapat ditunda sampai adanya pemasukan harta lagi, barulah pembayaran harta itu diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Untuk butir yang keenam, pengeluarannya harus mendasarkan pada ketersediaan Kas Baitul Mal. Jika dalam Kas Baitul Mal masih ada kelebihan dana, pengeluaran untuk pos ini dapat dilakukan oleh Khalifah. Namun, jika Kas Baitul Mal tidak mempunyai kelebihan dana, pengeluarannya harus ditunda sampai memperoleh pemasukan yang baru.
Demikian gambaran singkat mengenai konsep dan prinsip pembelanjaan negara dalam sistem Kekhilafahan. Wallâhu a’lam bi ash-shshawâb. []
Sumber Bacaan:
An-Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm. Beirut: Darul Ummah. Cetakan IV.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Ed. Ratri Medya & Wisnu Chandra Kristiaji. Erlangga. Jakarta. Indonesia.
Samuelson, Paul A. & Nordhaus, William D., 1999, Makroekonomi, Alih Bahasa: Haris Munandar dkk., Erlangga, Jakarta.
Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern – Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. Rajawali Press. Jakarta.
Tambunan, Tulus T. H. 1996. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Zallum, Abdul Qadim. 1983. Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Beirut: Darul Ilmi lil Malayin. Cetakan I.