HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Pengangkatan Pejabat Negara Khilafah

Prinsip Umum Pendelegasian Tugas Negara

Pada dasarnya, seluruh kekuasaan di dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan amar makruf nahi mungkar. Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Hisbah, menyatakan:

Sesungguhnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya… juga ditujukan untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar; sama saja apakah pada wilayah al-harbi al-kubra, seperti pendelegasian kekuasaan Negara; ataukah wilayah al-harbi al-shughra, seperti kekuasaan kepolisian, hukum, atau kekuasaan maaliyah (harta), yakni kekuasaan-kekuasaan diwan-diwan keuangan maupun peradilan (hisbah) (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, 1/9).

Tujuan seperti ini hanya bisa diwujudkan ketika tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlut-taqwa (amanah) dan ahlul-kifâyah (orang-orang yang memiliki kapabilitas). Untuk itu, prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketakwaan dan kafâ’ah.

Berkaitan dengan ketakwaan, dalam riwayat shahih dituturkan, ketika Nabi saw. mengangkat seseorang untuk menangani detasemen tempur, beliau selalu berwasiat takwa kepada mereka (HR Muslim dan Ahmad).

Berkenaan dengan kemampuan (kafâ’ah), Nabi saw. selalu mendelegasikan tugas penting kepada orang yang memiliki kekuatan (HR Muslim dari Abu Dzar ra.).

Imam an-Nawawi juga menyitir sebuah riwayat, bahwa Nabi saw. atau Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata, “Siapa saja yang mengangkat seorang laki-laki sebagai pemimpin atas suatu kaum, sementara di kaum itu ada orang yang lebih diridhai Allah SWT, sesungguhnya ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-ya, dan kaum Mukmin.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, hadis no.3404).


Kriteria Pejabat Negara Ideal

Menurut Imam Ibnu Taimiyyah, kekuasaan itu memiliki dua pilar utama; kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Yang dimaksud dengan al-quwwah (kekuatan) di sini adalah kapabilitas dalam semua urusan. Kuat dalam urusan peperangan misalnya, (wilayah al-harb) terefleksi dalam bentuk keberanian hati, keahlian dalam mengatur perang dan strategi perang, serta keahlian dalam menggunakan alat-alat perang. Kuat dalam urusan pemerintahan terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan serta kemampuan dalam menerapkan hukum-hukum syariah. Adapun amanah direfleksikan pada takut kepada Allah SWT, tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah dan tidak pernah gentar terhadap manusia. (Imam Ibnu Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, 1/6-7, 9).

Senada dengan Imam Ibnu Taimiyah, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki 3 kriteria penting; al-quwwah (kekuatan); at-taqwa (ketakwaan); dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).

Pertama: al-quwwah (kekuatan). Menurut beliau, yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariah Islam. Seorang yang lemah akalnya pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya sedikit-banyak pasti akan menyusahkan rakyatnya.

Selain harus memiliki kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan) semacam sabar, tidak tergesa-gesa, tidak emosional dan lain sebagainya. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.

Kedua: at-taqwa (ketakwaan). Ketakwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariah Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak pada Hari Akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertakwa; ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, menzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan penderitaan.

Ketiga: ar-rifq (lemah-lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh Rasulullah saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa Aisyah ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.’” (HR Muslim).


Tharîqah
dan Uslûb Pengangkatan Pejabat Negara

Pengangkatan pejabat negara di dalam Islam dilakukan dengan tiga model. Pertama: pembaiatan oleh ahlul halli wal ‘aqdi atau umat. Pejabat negara yang diangkat berdasarkan metode baiat adalah khalifah.

Kedua: pemilihan (intikhâb) oleh rakyat. Pejabat negara yang dipilih berdasarkan intikhâb (pemilihan umum) adalah anggota Majelis Umat. Mereka dipilih untuk mewakili rakyat dalam urusan syura dan muhâsabah (koreksi/pengawasn terhadap penguasa).

Ketiga: pemberian mandat dari Khalifah. Semua pejabat negara, selain Khalifah dan Majelis Umat, diangkat oleh Khalifah atau orang yang diberi mandat oleh khalifah sesuai dengan akad niyâbah-nya; semacam mu’âwwin (pembantu Khalifah), wali, amil, qâdhi (hakim) dan lain-lain.

Dalam manuskrip-manuskrip sejarah maupun masterpiece para ulama fikih disebutkan bahwa Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali ra, diangkat berdasarkan baiat yang dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi maupun mayoritas kaum Muslim yang mendiami pusat kota. Begitu pula para khalifah setelah mereka; semuanya diangkat berdasarkan baiat yang dilakukan oleh ahlul halliy wal ‘aqdiy maupun kaum Muslim yang berada di pusat-pusat kota.

Adapun pejabat-pejabat daerah, semacam wali (penguasa tingkat I) atau amil (penguasa tingkat II), semuanya diangkat oleh Khalifah atau oleh mu’âwin Khalifah. Di dalam riwayat sahih dituturkan bahwa Nabi saw. pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota itu ditaklukkan. Kemudian setelah masuk Islam, Badzan bin Sasan diangkat menjadi wali di Yaman. Beliau juga pernah mengangkat Muadz bin Jabal al-Khazraji untuk menjadi wali di Janad; Khalid bin Walid menjadi ‘amil di Shun’a’; Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshariy menjadi wali di Hadramaut; Abu Musa al-Asy’ariy menjadi wali di Zabid dan ‘Adn; ‘Amr bin al-’Ash di Oman; Abu Dujanah menjadi ‘amil di Madinah; dan lain sebagainya.

Nabi saw. juga mengangkat para qâdhi untuk memutuskan perkara hukum di tengah-tengah rakyat. Beliau pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qâdhi di Yaman dan Abdullah bin Naufal sebagai qâdhi di Madinah. Beliau juga pernah menugaskan Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi qâdhi di Yaman (Yaman Utara dan Selatan). Rasul pernah menanyai keduanya, “Dengan apa kalian menghukumi?” Mereka berdua menjawab, “Jika kami tidak menemukannya di dalam al-Kitab dan as-Sunnah, kami akan mengqiyaskan satu masalah dengan masalah lain. Mana yang lebih mendekati kepada kebenaran, maka itulah yang akan kami pergunakan.”

Mekanisme pengangkatan pejabat negara seperti ini terus dijaga dan dipraktikkan oleh generasi-generasi umat Islam berikutnya hingga runtuhnya Kekhilafahan Islam.


Akuntabilitas Pejabat Negara

Ditinjau dari aspek akuntabilitas, seluruh penguasa dan pejabat yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah bertanggungjawab sepenuhnya terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab mereka. Tanggung jawab di sini bukan semata-mata tanggung jawab yang berkenaan dengan aspek-aspek profesionalitas atau legal formal belaka, tetapi juga menyangkut pertanggung jawaban yang bersifat ruhiah. Sebab, jabatan adalah amanah yang akan diminta pertanggung jawaban tidak hanya di depan orang yang mendelegasikannya, tetapi juga di hadapan Allah SWT.

Tatkala Umar bin Abdul Aziz ra. diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau menyita dan menyerahkan kepada Baitul Mal semua harta benda, tanah garapan dan harta-harta milik umum yang diambil dan dikuasai para penguasa Bani Ummayah dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, sebelum melakukan semua itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. memulai dari dirinya sendiri. Beliau ra. melepaskan hak atas semua kekayaan, kepemilikan, hewan tunggangan (kendaraan), perkakas rumah tangga dan semua minyak wangi simpanannya. Semuanya dijual dengan harga 23.000 dinar, atau setara dengan 4,25 gram emas X 23.000 = 97.750 gram emas, dan diserahkan kepada Baitul Mal. Jika harga 1 gram emas = Rp. 200.000, 00, maka total kekayaan beliau ra. yang diserahkan kepada baitul mal adalah Rp 19,550 milyar (Hulyat al-Awliyâ’, V/253).

Abdullah bin Umar ra., putra Umar bin al-Khaththab ra., pernah melaporkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memerintah-kan pencatatan kekayaan para kepala daerah (wali), di antaranya adalah Saad bin Abi Waqqash ra. Jika ada kelebihan kekayaan, beliau memerintahkan untuk membagi dua; separuh untuk pejabat tersebut dan sisanya diserahkan ke Baitul Mal (As-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’, hlm. 132).

Di dalam kitab Syahîd al-Mihrâb dituturkan, bahwa Abu Bakrah ra. pernah memprotes tindakan Khalifah Umar yang menyita separuh harta kekayaannya. Abu Bakrah ra. berkata, “Aku tidak bekerja kepada Anda.” Khalifah Umar ra menjawab, “Ya benar. Akan tetapi, saudaramu bekerja sebagai pengurus Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah–suatu tempat yang terletak di Bashrah, Iraq; dan ia meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang!” Khalifah Umar ra. lalu mengambil 10.000 dinar dan dibagi dua, dan Abu Bakrah mengambil separuhnya (Syahîd al-Mihrâb, hlm. 284).

Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa penguasa di dalam Daulah Islamiah bertanggung jawab terhadap tugas dan amanah mereka. Tindakan itu dilakukan karena jabatan dan tugas dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Mereka sangat takut dengan sabda Nabi saw.: Sesungguhnya, orang yang paling dicintai Allah kelak pada Hari Kiamat dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin adil. Adapun orang yang paling dibenci Allah kelak pada Hari Kiamat dan paling jauh tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin yang lalim (HR at-Tirmidzi).


Khatimah

Di dalam Islam, kekuasaan untuk mengangkat kepala negara (khalifah) ada di tangan rakyat melalui baiat. Hanya saja, khalifah diangkat bukan untuk menjalankan kehendak dan kedaulatan rakyat, tetapi kehendak dan kedaulatan Allah SWT. Dengan kata lain, pejabat Daulah Islamiyah diangkat untuk menjalankan hukum yang ditetapkan oleh Allah, bukan untuk menjalankan hukum buatan rakyat. Pasalnya, kekuasaan tertinggi membuat hukum bukan di tangan rakyat, tetapi di tangan Allah SWT. Allah SWT adalah satu-satunya pihak yang berhak menetapkan hukum bagi rakyat.

Atas dasar itu, hubungan antara penguasa dan rakyat di dalam sistem pemerintahan Islam tidak sama dengan pola hubungan antara penguasa dan rakyat dalam sistem pemerintahan otoriter maupun sistem pemerintahan demokrasi. Di dalam sistem demokrasi tingkat tinggi, mekanisme pengangkatan kepala negara (presiden dan wakil presiden) dan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota), dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Pejabat-pejabat negara lain adakalanya dipilih dan diangkat oleh presiden atau oleh lembaga perwakilan rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya.

Di dalam Islam, pejabat negara yang diangkat oleh rakyat secara langsung adalah khalifah dan anggota Majelis Umat. Pejabat lain seperti mu’âwin khalifah, wali, amil, qadhi, amirul jihad, dan sebagainya, seluruhnya dipilih dan diangkat oleh khalifah atau orang yang diberi kewenangan oleh khalifah berdasarkan ketetapan syariah Islam.

Mekanisme pemerintahan seperti ini tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya diktatorianisme dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Sebab, baik rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain. Jika kekuasaan membuat hukum ada di tangan manusia, tentu akan terjadi pemaksaan kehendak sebagian orang atas sebagian yang lain. Lahirlah penindasan terhadap orang lain dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Bahkan jika kita mengamati praktik pembuatan kebijakan di negara demokrasi, tampak jelas bahwa banyak kebijakan yang justru tidak berpihak kepada rakyat dan bahkan ditentang oleh rakyatnya sendiri. Lalu siapakah sebenarnya yang paling berdaulat di negera-negara demokrasi? Yang jelas bukan rakyat, tetapi penguasa yang menjadi antek para pemilik modal.

Fakta juga menunjukkan; pilgub dan pilkada yang digelar di seluruh Indonesia, sama sekali tidak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan dan pendewasaan politik rakyat. Rakyat tetap menjadi obyek penderita karena harus menanggung sejumlah dampak destruktif akibat dari proses demokratisasi dan liberalisasi; mulai dari dekadensi moral, kekosongan rohani, marginalisasi agama, kesenjangan pendapatan, dan lain sebagainya.

Lantas, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi? Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*