Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa bagi kaum Muslim. Ghirah keislaman kaum Muslim biasanya meningkat tajam. Inilah momentum untuk melakukan ’taqarrub istimewa’ yang bisa menjadikan umat ini menggeliat bangun untuk melanjutkan kembali kehidupan Islamnya.
Seorang pegawai negeri sipil di sebuah instansi pemerintah tiba-tiba mendadak alim saat Ramadhan tiba. Perilaku ’menyimpang’ dalam mengelola administrasi birokrasi seolah menjadi masa lalu yang tak pernah terjadi. “Kan lagi puasa, nggak boleh berbuat dosa,” gumamnya. Praktis perilaku korup untuk sementara waktu berhenti sejenak.
Di kawasan yang lain, pemandangan muda-mudi yang biasa bergandeng tangan kesana-kemari dan berpacaran pun seolah hilang—meski tidak semuanya. Mereka seolah baru sadar bahwa perbuatan tersebut adalah dosa sehingga tidak boleh dilakukan pada bulan Ramadhan.
Masjid-masjid dan mushala pun makmur pada waktu malam. Kaum Muslim sangat antusias mendatangi tempat tersebut. Mereka berbondong-bondong dengan mengenakan pakaian khas. Yang pria mengenakan baju koko dan yang wanita berkerudung.
Artis-artis tak ketinggalan; berubah perilaku pada bulan itu. Mereka yang sebelumnya jingkrak-jingkrak dan suka ngakak di panggung hiburan di layar kaca mendadak alim. Kemana pun disorot kamera, kealimannya terus ditampakkan. Anak-anak yatim pun diundang buka puasa bersama di rumahnya. Kadang mereka mendatangi panti-panti asuhan untuk menyampaikan sumbangan. “Di bulan Ramadhan saya sering nyumbang, sedekah, bahkan tampil sebagai pengisi acara Ramadhan. Tapi, di luar Ramadhan, saya kembali manggung, nyanyi dan kumpul bersama teman-teman yang lain,” kata mantan artis.
Para pejabat tinggi negara jadi gemar menyambangi masjid dan tempat ibadah. Mereka menyediakan makanan berbuka bagi karyawannya yang harus melewatkan waktu magrib di kantor sekaligus buka puasa bersama. Ini adalah hal yang jarang terjadi ketika bulan-bulan biasa.
Mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan tak ketinggalan. Mereka memutar lagu-lagu bertema Islam. Pajangan-pajangan seronok pun disingkirkan diganti dengan pajangan khas Ramadhan dan menyambut lebaran.
Suasana Ramadhan bertambah semarak ketika stasiun-stasiun televisi menayangkan tayangan-tayangan islami. Ramadhan menjadi salah satu acara yang dikemas sedemikian rupa oleh stasiun televisi untuk mendatangkan iklan, semata-mata untuk mengais keuntungan di tengah suasana ibadah.
Walhasil, nuansa Ramadhan begitu terasa mewarnai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini. Ramadhan menjadi kesempatan setahun sekali yang begitu penting, seolah tak ada yang mau ketinggalan dengan suasana Ramadhan ini.
Bulan Ramadhan mampu mengubah persepsi dan perilaku seorang Muslim sedemikian rupa. Orang fasik menjadi malu menampakkan kefasikannya. Orang munafik menjadi enggan mempertontonkan kemunafikannya. Orang zalim pun mengurangi intensitas kezalimannya. Sebaliknya, orang salih makin bersemangat menambah amal baiknya lebih daripada bulan-bulan lainnya.
Ramadhan mampu menciptakan atmosfir keimanan, suasana kebaikan, dan perasaan yang peka terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada bulan itu kaum Muslim mampu bersatu, serentak menunaikan perintah Allah yang berkaitan dengan ibadah shaum; shaum pada hari yang sama, berbuka (‘Id) pada hari yang sama; mampu menahan tidak makan dan minum seharian selama satu bulan penuh; bisa mengendalikan hawa nafsu; sanggup menjalankan ibadah-ibadah nafilah dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah; bersedia berkorban lebih besar dan lebih banyak dalam bidang harta benda; dan banyak lagi.
Kehilangan Makna
Namun, di tengah antusiasme kaum Muslim untuk melaksanakan ibadah wajib ini, ada anomali yang muncul. Ramadhan menjadi alasan untuk tidak bekerja maksimal. Banyak orang menjadi malas dan loyo dalam bekerja. Produktivitas menurun.
Ini membuktikan, disadari atau tidak, apa yang terjadi selama bulan Ramadhan ini belum menjadi sebuah spirit luar biasa bagi kaum Muslim dalam melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik pada masa-masa berikutnya. Ramadhan hanya ’disyiarkan’ pada waktu bulan tersebut saja. Setelah bulan itu berlalu, kehidupan kembali seperti semula, seolah tidak ada bekas sedikit pun dari Ramadhan ini.
Ini bisa terjadi karena ada pemahaman yang keliru di tengah masyarakat. Ramadhan dijadikan bulan suci yang harus dihormati, bukan bulan yang harus dijadikan tempat untuk berbenah diri menghadapi masa berikutnya. Jadi fokusnya adalah bagaimana menghormati bulan itu dengan aktivitas yang baik ala kadarnya. Akibatnya, tidak ada pengaruh yang signifikan antara puasa dan perubahan perilaku.
Pemahaman ini muncul bisa jadi karena banyak kaum Muslim tidak memahami hakikat puasa Ramadhan ini. Kalaupun mereka tahu tentang puasa, sifatnya dangkal. Tak aneh bila puasa pada bulan berkah ini muncul sebagai rutinitas tahunan. Bisa jadi banyak orang beramal karena pengaruh lingkungan sekitarnya, bukan karena kepahamannya terhadap perintah Allah tersebut. Ibaratnya, puasa Ramadhan adalah tren. Akhirnya puasa itu sekadar ibadah ritual sehingga kehilangan ruhnya. Tak mengherankan bila puasa hanya berpengaruh terhadap individual semata dan itu hanya terjadi pada saat puasa.
Kenyataan ini tidak lepas dari sekularisasi yang melanda umat Islam. Ibadah, termasuk puasa, dipandang hanya sebagai ritual semata yang tidak terkait dengan perilaku hidup lainnya yang lebih luas.
Dilihat dari upaya mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), semangat itu ada di kalangan kaum Muslim. Namun, dengan proses sekularisasi, pendekatan diri kepada Allah ini sifatnya menjadi sangat terbatas pada individu dan tidak berpengaruh terhadap lingkungan di luar dirinya; seolah pendekatan diri itu cukup hanya dengan ibadah mahdlah saja. Inilah buah dari ketiadaan pemahaman yang komprehensif tentang makna taqarrub illâ Allâh.
Yang lebih parah lagi, bagi sebagian orang, puasa dijadikan sebagai aktivitas pemuas batin setelah sekian lama berlumur dosa. Puasa menjadi tempat pelarian dan pengobat jiwa. Hasilnya adalah kepuasan batin dan ketenangan jiwa sesaat. Tidak lebih dari itu.
Puasa dan Ketaatan
Secara fikih, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Inilah yang menjadi pemahaman umum di tengah masyarakat. Walhasil, dampaknya sangat material dan inderawi belaka.
Padahal kalau kita menyimak hadis Rasulullah saw., ada makna yang lebih dalam dari sekadar menahan makan dan minum belaka. Nabi saw. bersabda, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini mengisyaratkan adanya aspek ketundukan yang luar biasa kepada Allah SWT. Orang yang berpuasa ikhlas meninggalkan hawa nafsunya untuk kemudian berpindah memenuhi ketentuan Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda, “Banyak orang yang berpuasa di mana bagian dari puasanya hanyalah rasa lapar dan dahaga.” (HR Ibnu Majah dengan sanad yang sahih).
Ada juga hadis lain dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Puasa itu bukanlah semata-mata menahan dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu atau berbuat jahil kepadamu maka katakanlah, ’Aku sedang puasa, aku sedang puasa.’” (HR Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim dengan sanad sahih).
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bahwa puasa tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan jimak, tetapi juga meninggalkan berbagai kemaksiatan; baik dari matanya, lisannya, tangannya, kakinya ataupun hatinya. Mereka mengendalikan seluruh aktivitasnya sesuai dengan aturan Allah SWT.
Karena itu, orang yang sukses dalam berpuasa akan menyadari keberadaan dirinya di dunia bahwa ia hanyalah makhluk dan harus tunduk dengan aturan-aturan Ilahi. Dengan kesadaran itu, ia harus rela menanggalkan hawa nafsunya dan kembali pada jatidirinya sebagai hamba yang diberi amanah oleh Penciptanya. Amanah itu adalah senantiasa mengatur kehidupan ini dengan ketentuan Ilahi, bukan hawa nafsunya, di manapun posisinya.
Buah Puasa
Puasa Ramadhan sebulan lamanya semestinya membawa perubahan yang luar biasa kepada semua orang yang melaksanakannya. Betapa tidak. Mereka telah berlatih untuk menahan nafsunya sehingga tidak berani sedikitpun melanggar ketentuan Allah. Kalau mereka telah berhasil menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya di luar Ramadhan halal, seharusnya mereka lebih bisa lagi untuk menahan diri dari hal-hal yang dilarang oleh-Nya.
Idealnya pasca Ramadhan lahir sebuah tatanan baru yang dipenuhi dengan suasana keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT; bukan sebaliknya, hadir kembali suasana kerusakan seolah Ramadhan tidak pernah ada.
Oleh karena itu, saatnya puasa Ramadhan kali ini menjadi momentum bagi seluruh kaum Muslim untuk meningkatkan kedekatannya kepada Allah SWT dalam arti sebenarnya. Puasa adalah taat syariah. Hasilnya akan terlihat ketika Ramadhan telah berlalu. Akankah kita semakin taat? Kalau kian taat berarti puasa Ramadhan kita sukses. Sebaliknya, kalau tidak ada dampaknya berarti kita rugi menjalankan puasa. Kalau setelah Ramadhan jadi tambah buruk, itu berarti celaka.
Jika seluruh kaum Muslim memahami hakikat puasa dan menjalankannya dengan penuh keikhlasan, kemudian hasil puasa itu diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat dan negara—tidak hanya pribadi—insya Allah akan lahir masyarakat baru yang taat syariah. Semangat taat yang luar biasa ketika puasa akan menjadi daya dorong bagi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kaum Muslim kian takut melanggar ketentuan Allah dan kian rindu untuk melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Inilah target akhir dari puasa yakni bertambahnya ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan adalah manifestasi dari ketundukan seorang hamba kepada perintah Allah dan keengganan untuk terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Sebagai perbandingan sekaligus contoh adalah kehidupan para Sahabat Rasulullah saw., sebagai generasi terbaik yang pernah dimiliki umat manusia, bagaimana atmosfer keimanan di tengah-tengah mereka pada bulan-bulan selain bulan Ramadhan senantiasa terpelihara sebagaimana halnya pada bulan Ramadhan. Ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat kontinu dan tidak berubah. Ketaatan mereka menjalankan syariah-Nya dalam aktivitas sosial, pemerintahan, dan kenegaraan, politik luar negeri dan peperangan selama bulan Ramadhan tidaklah surut. Rasulullah saw. dan para Sahabatnya atau generasi kaum Muslim terdahulu tidak mengendurkan jihad (perang) fi sabilillah—apalagi beristirahat selama bulan Ramadhan—dan memfokuskan diri mereka dengan amal-amal ibadah di dalam masjid, sebagaimana yang biasa kita lakukan saat ini. Peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Perang Badar Kubra, pembebasan kota Makkah (fath Makkah), pertempuran di ‘Ain Jalut melawan tentara Romawi dan lain-lain, semua itu terjadi pada bulan Ramadhan. Artinya, aktivitas kemasyarakatan dan kenegaraan pada masa Rasulullah saw. dan pada masa Kekhilafahan Islam berlangsung sebagaimana adanya, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan. Dengan kata lain, suasana dan atmosfir keimanan itu ada sepanjang tahun, bukan hanya pada bulan Ramadhan; seakan-akan sepanjang tahun adalah bulan Ramadhan.
Seorang Muslim yang baik tidak ‘bermetamorfosis’ menjadi ‘orang baik-baik lagi salih’ pada bulan Ramadhan, namun enggan melanjutkan perubahan itu di luar bulan Ramadhan.
Walhasil, jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan individu maupun kemasyarakatan dan negara melalui taqarrub ilâ Allâh. Saatnya kita bangkit dengan menguatkan kembali kedekatan kita kepada Allah pada bulan penuh berkah dan ampunan ini menuju terwujudnya ’izzul Islam wal Muslimin. [Mujiyanto]