Pengantar
Sebagian orang memahami bahwa taqarrub kepada Allah hanya tercermin dalam ibadah ritual dan aktivitas ruhiah. Selain amal seperti itu, apalagi politik, dianggap jauh dari aktivitas taqarrub. Pemahaman seperti itulah yang terlihat lebih mengemuka saat ini. Akibatnya, aktivitas politik dan para politisi jauh—bahkan sengaja dijauhkan—dari tuntunan Islam. Hasilnya, kita semua bisa melihatnya saat ini.
Apa sebab pemahaman seperti itu muncul? Benarkah berpolitik bukan bagian dari taqarrub? Jika merupakan bagian dari taqarrub, seperti apa bentuknya, bagaimana dampaknya bagi umat, dan bagaimana menumbuhsuburkannya?
Redaksi al-waie mewawancari Ustadz Muhammad Rahmat Kurnia untuk mengulas seputar masalah tersebut. Berikut petikannya.
Sebagian kalangan memandang kalau politik itu ’tidak ada kaitannya’ dengan taqarrub kepada Allah. Apakah memang seperti itu?
Tidak benar. Pandangan seperti itu lahir dari paham sekularisme yang memisahkan antara Islam dengan kehidupan, termasuk politik. Kaum sekular mendudukkan agama hanya sekadar shalat, zikir, membaca al-Quran, dan haji; hanya ritual saja. Padahal Islam itu agama paripurna dan Allah memerintahkan kita untuk menerapkannya secara total (kâffah). Juga, secara syar’i politik Islam itu bermakna ’ri’âyatu syu‘ûnil ummah bil ahkâmisy syar’iyyah’ (mengurusi urusan umat dengan syariah Islam). Jadi, justru sebaliknya, politik dalam maknanya seperti ini merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ilallâh).
Bagaimana caranya?
Pertama: jadikan dasar dan dorongan dalam melakukannya adalah iman. Kita meyakini bahwa kaum Muslim diperintahkan untuk memperhatikan umat Islam. Bahkan Rasulullah saw. yang mulia menyatakan bahwa siapa saja yang bangun pagi, tetapi tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka mereka hakikatnya bukanlah bagian dari kaum Muslim itu. Kedua: harus diniatkan lillâhi ta’âlâ. Aktivitas politik jangan ditujukan untuk mendapatkan kursi dan jabatan, tetapi untuk mengurusi rakyat dengan hukum-hukum Allah. Aktivitas politik adalah wujud perjuangan. Ketiga: aktivitas yang kita lakukan merupakan aktivitas politik Islam, yakni aktivitas untuk mengurusi berbagai urusan kaum Muslim untuk diselesaikan dengan ajaran Islam. Siapapun yang dapat memadukan ketiganya akan merasakan betapa dekat ia dengan Allah SWT saat beraktivitas politik.
Bisa dijelaskan cakupannya secara singkat?
Tentu saja cakupannya luas. Di antaranya adalah membina masyarakat dengan Islam, baik akidah maupun syariah, termasuk di dalamnya akhlakul karimah. Inilah wujud dari pengkaderan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Pembinaan masyarakat itu bisa dilakukan dengan halaqah, pengajian umum, seminar, diskusi, kajian tematik; pelajaran tafsir, hadis, fikih, dsb; kontak kepada para tokoh, dll. Pembinaan ini dikaitkan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari oleh masyarakat dan terkait dengan peristiwa yang tengah terjadi. Misalnya, ketika rame-rame kenaikan BBM dibahas pandangan Islam tentang air, padang gembalaan/hutan, dan energi sebagai milik umum; saat ada peristiwa pemboman dibahas haramnya hukum membunuh orang tanpa dosa dan menimbulkan ketakutan pada orang banyak ditambah dengan ada apa di balik isu terorisme itu, dll. Dengan cara seperti itu, umat akan memahami ayat dan hadis; jiwanya bersih penuh keimanan dan jauh dari kekufuran serta kemunafikan, meningkat taraf berpikir dan kepekaan politiknya, serta siap hidup mulia mati bahagia.
Aktivitas politik lainnya adalah mengoreksi kebijakan penguasa dan wakil rakyat yang menzalimi rakyat atau menyimpang dari hukum syariah Islam (muhâsabatul hukkâm), membongkar rencana jahat negara asing kafir imperialis di negeri-negeri Muslim (kasyful khuthath), dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat sesuai hukum Islam (tabanni mashâlihul ummah). Dakwah secara umum untuk menyerukan Islam kâffah dan amar makruf nahi mungkar merupakan aktivitas politik yang tinggi. Demikian pula penerapan hukum syariah Islam di tengah-tengah masyarakat.
Tengoklah, sepanjang hayatnya Rasulullah mengurusi dan memperhatikan urusan umat. Itulah contoh aktivitas politik Islam yang nyata.
Apa yang harus diperjuangkan dalam beraktivitas politik Islam?
Jelas, yang harus diperjuangkan adalah diterapkannya syariah Islam di tengah-tengah masyarakat, agar urusan dan kepentingan umat dapat dipenuhi sesuai dengan syariah Islam. Sebab, hanya dengan cara perjuangan demikianlah urusan umat terperhatikan, terjaga dan terpelihara. Hanya dengan penerapan syariat Islamlah umat terjamin akidahnya, jauh dari aliran sesat seperti Ahmadiyah dan liberal; terpelihara hak-hak dan harta kekayaannya; terjamin kebutuhan pokoknya; terjaga kejelasan nasabnya, dll. Hanya dengan cara demikianlah umat Islam memiliki kondisi yang kondusif untuk menaati Allah SWT secara penuh tanpa hambatan. Jadi, kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana/alat untuk menerapkan syariah Islam di tengah-tengah masyarakat.
Kalau seperti itu, taqarrub melalui aktivitas politik menjadi penting?
Ya, tentu. Bahkan bukan hanya penting, tetapi wajib. Bukan hanya dilakukan oleh politisi atau ilmuwan politik, tetapi juga oleh para ulama dan umat Islam pada umumnya. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan. Pertama: berkecimpung dalam dunia politik Islam hukumnya wajib. Bukankah Nabi Muhammad saw. menegaskan dalam hadisnya bahwa “Penghulu syuhada itu adalah Hamzah dan orang yang mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang berdosa”; “Bukan dari golongan kaum Muslim orang yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim”? Allah SWT juga memerintahkan agar ada di antara kaum Muslim yang mendakwahkan Islam secara kâffah dan melakukan amar makruf nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 104). Itu adalah bagian dari aktivitas politik Islam.
Kedua: aktivitas apapun akan sia-sia kecuali yang dipersembahkan untuk Allah SWT dan dalam rangka ber-taqarrub kepada-Nya. Bukankah kita diminta oleh Pencipta kita untuk bertakwa di mana saja dan kapan saja, termasuk dalam aktivitas politik?
Tegasnya, berpolitik secara islami adalah ’aktivitas mulia’ di sisi Allah?
Sungguh, amat mulia. Pertama: dari segi realitas. Allah SWT memerintahkan kita untuk mengurusi urusan umat alias berpolitik. Jika politik Islam tidak jalan maka akibatnya akidah umat tidak terjaga. Lihatlah, tidak jarang orang Muslim tertipu oleh gerakan liberal hingga menggadaikan akidahnya demi dunia. Pemurtadan masih terus terjadi karena dibiarkan dengan dalih hak asasi manusia (HAM). Tanpa politik Islam, syariah Islam tidak ditegakkan sehingga kebutuhan pokok rakyat tidak terjamin; harta kekayaan rakyat seperti tambang emas, minyak, hutan, listrik, dan air digadaikan kepada asing. Tanpa politik Islam, umat dicekoki dengan ajaran-ajaran Adam Smith dalam ekonomi; ajaran Darwin dalam evolusi; ajaran JJ Roussou, Hegel, Plato, dll dalam pemerintahan; ajaran Freud dalam masalah psikologi dan interaksi antar laki-perempuan. Muaranya, masyarakat makin terperosok ke dalam jurang hewani, jauh dari nilai-nilai dan hukum Allah Zat Mahasuci. Ringkasnya, tanpa politik Islam, dampak buruk yang dirasakan bukan hanya menimpa individual melainkan juga umat secara bersama.
Kedua: dari aspek sejarah. Siapapun yang menelaah sirah Rasulullah saw. akan menemukan bahwa sepanjang hayat beliau dipenuhi oleh perjuangan politik; mulai dari awal dakwah hingga mendirikan pemerintahan yang menerapkan Islam secara kâffah di Madinah. Semua aktivitas beliau penuh dengan perhatian dan pemeliharan urusan umat dan itu merupakan aktivitas politik. Begitu juga para Sahabat biasa bergaul dalam perpolitikan, termasuk politik internasional. Mereka mengamati perseteruan antara Romawi dan Persia kala itu.
Ketiga: dari segi pujian yang diberikan Allah SWT. Misalnya, orang yang lantang menyerukan kebenaran di hadapan penguasa disebut oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penghulu syuhada bersama dengan Singa Allah, Hamzah ra. Nabi saw. juga menegaskan bahwa jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran di depan penguasa zalim. Tentu, aktivitas tersebut adalah aktivitas politik yang kita pahami. Jelaslah, aktivitas politik yang sesuai dengan Islam merupakan aktivitas yang amat mulia.
Apa dampak positif jika para politisi menjadikan berpolitik sebagai amal taqarrub kepada Allah?
Dampak yang saya lihat akan muncul antara lain: Pertama, para politisi akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. Konsekuensinya, mereka akan berhati-hati dalam berbicara dan berbuat. Hal itu akan mendorong mereka bersifat amanah; tidak akan berani main belakang; tidak akan bersifat munafik alias bermuka dua. Kedua, ketika aktivitas politik dipersembahkan sebagai ibadah kepada Allah SWT maka mereka sejatinya hanya mengharapkan ridha Allah yang Mahakuasa. Mereka tidak mengharap terima kasih dari manusia. “Tidak ada balasan bagiku melainkan di sisi Allah,” menjadi keyakinannya. Dalam sikapnya pun akan berani berkata yang haq sebagai haq dan yang batil sebagai batil. Hal-hal yang bertentangan dengan syariah Islam dan kepentingan umat Islam akan dilawan. Ketiga, perjuangan Islam akan semakin menggema, dan sekularisme akan kian terkikis. Sebab, orang-orang yang menopang dan memperjuangkan-nya adalah orang-orang yang telah berjual-beli dengan Allah SWT. Hal ini diharapkan akan semakin menjadi wasilah bagi datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT hingga umat dapat menerapkan syariah-Nya dan menyatukan kaum Muslim dalam Khilafah warisan Nabi-Nya. Keempat, pemandangan seperti ini akan makin menggelorakan dukungan dari rakyat. Mereka akan dapat membedakan para politisi yang culas, cinta jabatan, berkarakter bunglon, dan hanya menyapa rakyat saat butuh suara; dengan para politisi yang tulus berjuang untuk Islam, tidak mengharap selain kebaikan dunia dan akhirat.
Lalu apa yang harus dipersiapkan oleh politisi dan umat agar aktivitas politiknya terkategori taqarrub kepada Allah?
Pertama: kita harus terus mengokohkan kepribadian islami kita (syakhshiyyah islamiyah). Seorang politisi sejati adalah mereka yang bergerak di tengah umat sekalipun dia bukan pejabat atau wakil rakyat. Dengan syakhshiyyah islamiyah yang ada dalam diri seseorang dia akan berpikir berdasarkan Islam, memberikan solusi yang berasal dari Islam, menyingkirkan segala hal yang bertentangan dengan Islam, dll. Singkatnya, isi kepalanya diformat dengan ajaran Islam. Begitu pula, orang yang berkepribadian Islam akan menundukkan hawa nafsunya hingga diatur oleh aturan Islam.
Kedua: tambah ilmu dan wawasan. Politisi sejati akan senantiasa membuka mata dan telinga serta jiwa dan hati terhadap ilmu. Tsaqâfah Islam dia tekuni, realitas pun dia pahami. Muaranya, menjadi orang yang tafaqquh fi ad-dîn dan tafaqquh fi an-nâs. Prinsipnya, hari ini harus lebih baik dari kemarin.
Ketiga: masuk dalam aktivitas politik. Cara paling penting dalam menjadikan aktivitas politik sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah SWT adalah menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Lakukanlah aktivitas politik islami seperti telah disebutkan. Jadikanlah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Ingatlah, setiap saat kita berpolitik berarti setiap saat itu pula kita tengah berjuang. Ini berarti setiap saat itu juga kita sedang berada dalam ketaatan kepada Allah SWT dan kita sedang ber-taqarrub kepada-Nya. Selain itu, sadarilah bahwa politik merupakan aktivitas akal dan hati. Akal kita berpikir tentang umat, sementara hati kita terus terikat pada Allah SWT, berdoa kepada-Nya, dan semata mengharap pertolongan dan ridha dari-Nya. [MR Kurnia]