Zakat secara bahasa berasal dari kata zakâ –yazkû. Secara bahasa zakat artinya bersih/suci (ath-thahârah), tambahan dan berkembang (az-ziyâdah wa an-namâ) dan baik (ash-shalâh).1 Didalam al-Quran kata zakâ dan bentukannya disebutkan dengan makna ash-shalâh (QS al-Baqarah [2]: 232; al-Kahfi [18]: 19), dan dengan makna bersih atau suci (misal QS al-Baqarah [2]: 129, 151, 174; Ali Imran [3]: 77, 164; an-Nisâ’ [4]: 49; at-Tawabh [9]: 103).
Kata az-zakâh dalam bentuk isim makrifat (dengan alî lâm) disebutkan sebanyak 29 kali di 29 ayat, semuanya dengan makna zakat yang kita kenal. Ibn Faris di dalam ash-Shâhibî fî Fiqh al-Lughah dan Imam as-Suyuthi didalam al-Muzhir menyebutkan bahwa orang arab sebelumnya tidak mengenal zakat kecuali dalam arti an-namâ’ (berkembang). Namun syariah mendatangkan makna baru dan mentransformasi dari makna bahasanya kepada makna baru sehingga menjadi makna syar’inya. Menurut Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, zakat harta itu disebut zakat karena dengannya harta akan bersih dengan berkah dan orang akan bersih dengan ampunan. Menurut syaikh Abdul Qadim Zalum di dalam al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, istilah syara’ zakat mengandung kedua makna bahasanya (berkembang dan bersih). Karena pengeluaran zakat itu menjadi sebab datangnya berkah pada harta atau menjadi sebab banyaknya pahala dan akan membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan mensucikan diri dari dosa.
Adapun pengertian zakat secara syar’i, menurut Muhammad bin Abi al-Fatah al-Ba’li al-Hanbali di dalam al-Muthalli’, zakat adalah sebutan untuk harta khusus yang dikeluarkan dengan sifat-sifat khusus untuk kelompok yang khusus. Al-Jurjani di dalam at-Ta’rifât mengartikan zakat adalah ungkapan tentang pewajiban (pengeluaran) bagian tertentu dari harta pada harta tertentu bagi pemilik yang khusus. Dr. Muhammad Rawas Qal’aji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ mendefisikan zakat adalah pengeluaran bagian tertentu dari harta jika sudah mencapai nishab terhadap pos-pos pembelanjaan tertentu yang telah dinyatakan oleh asy-Syâri’. Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum, zakat secara syar’i adalah hak yang telah ditetapkan kadar/jumlahnya yang wajib (dikeluarkan) pada harta-harta tertentu.
Zakat hukumnya wajib, merupakan salah satu rukun islam dan merupakan ibadah. Wajibnya zakat didasarkan pada al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak sahabat. Allah SWT berfirman:
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dan tunaikanlah zakat (QS. al-Baqarah [2]: 43, 83, 110)
Perintah itu bersifat tegas berdasarkan indikasi bahwa orang yang menunaikan zakat akan mendapat pahala besar dan balasan surga (QS al-Baqarah [2]: 277; an-Nisâ’ [4]:162). Dan banyak hadis menjelaskan bahwa orang yang enggan membayar zakat akan mendapat azab yang pedih.
Ketika mengutus Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, Rasul berpesan diantaranya:
… فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ …
Maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat), yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalkan pada orang-orang fakir mereka (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad, lafal menurut Muslim)
Zakat merupakan fardhu ‘ain atas setiap orang muslim yang memiliki harta kena zakat yang sudah mencapai nishabnya, kelebihan dari utangnya dan telah berlalu satu haul (satu tahun qamariyah) -kecuali untuk zakat pertanian dan buah-buahan dikeluarkan saat panen-. Zakat juga wajib atas harta anak kecil dan orang gila.
Adapun harta yang di dalamnya diwajibkan zakat adalah:
Pertama, binatang ternak berupa Unta (al-ibil), Sapi (al-baqar) dan Kambing (al-ghanam). Abu Dzar menceritakan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ وَلاَ بَقَرٍ وَلاَ غَنَمٍ لاَ يُؤَدِّى زَكَاتَهَا إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْظَمَ مَا كَانَتْ وَأَسْمَنَهُ تَنْطِحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلاَفِهَا كُلَّمَا نَفِدَتْ أُخْرَاهَا عَادَتْ عَلَيْهِ أُولاَهَا حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
Tidaklah pemilik Unta, tidak pula pemilik sapi dan tidak pula pemilik domba/kambing, yang tidak menunaikan zakatnya kecuali pada Hari Kiamat kelak datang yang lebih besar dan lebih gemuk menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya, setiap kali yang terakhir selesai kembali lagi dari yang pertama hingga diputuskan diantara manusia (HR Bukhari dan Muslim)
Unta, Sapi dan Kambing yang wajib dizakati adalah yang digembalakan pada sebagian besar waktu dalam satu haulnya. Sedangkan yang tidak digembalakan yakni yang dikandangkan, atau dipekerjakan maka tidak wajib zakat. Dalam hal zakat hewan ternak ini terdapat ketentuan rinci tentang nishab dan zakat yang harus dikeluarkan dan telah dijelaskan rinci di dalam kitab-kitab fikih.
Kedua, hasil pertanian dan buah-buahan. Dalam hal ini yang wajib dizakati hanya empat jenis yaitu gandum (al-khinthah), jewawut/barley (asy-sya’îr), kurma (at-tamr) dan kismis (az-zabîb). Dari Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal bahwa ketika keduanya diutus ke Yaman, Rasul bersabda kepada keduanya:
لاَ تَأْخُذَا فِي الصَّدَقَةِ إلاَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَصْنَافِ اْلأَرْبَعَةِ: الشَّعِيرُ وَالْحِنْطَةُ وَالزَّبِيبُ وَالتَّمْرُ
Jangan kamu berdua ambil zakat kecuali dari empat jenis ini: jewawut, gandum, kismis dan kurma (HR al-Hakim, ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, al-Baihaqi berkata: para perawinya tsiqah dan (sanadnya) bersambung).
Lafal illâ (kecuali) dan didahului oleh huruf nafî atau nahî (dalam hadis ini lafal lâ (jangan)) maknanya adalah pembatasan. Jadi hadis ini jelas hanya membatasi zakat pertanian dan buah-buahan hanya pada empat jenis ini saja. Disamping itu hadis ini dan hadis lain dalam kontek ini menyebutkan kata al-khinthah, asy-sya’îr, az-zabîb dan at-tamr. Semuanya merupakan isim jamid, bukan sifat dan bukan ism ma’ân. Lafal-lafal itu tidak mencakup selainnya baik secara manthuq, mafhum maupun secara iltizâm. Dari lafal-lafal itu tidak bisa diambil makna makanan pokok, bisa dikeringkan, bisa disimpan dan lainnya. Jadi zakat pertanian dan buah-buahan hanya pada empat jenis itu dan selain keempatnya tidak ada kewajiban zakat.
Nishab zakat pertanian ini adalah jika jumlahnya mencapai lima wasaq atau lebih. Satu wasaq= 60 sha’, dan satu sha’ = 4 mud. Jika diairi denga rair hujan zakatnya 10 % dan jika dengan pengairan buatan zakatnya 5 %. Zakat pertanian dikeluarkan saat panennya (QS al-An’âm [6]: 141) dan dalam bentuk komoditasnya.
Ketiga, zakat barang dagangan. Samurah bin Jundub berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari apa yang kami siapkan untuk dijual (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Nishab komoditas perdagangan ini sama dengan nishab zakat atau perak. Jika sudah mencapai nishab salah satunya maka dimulai hitungan haulnya. Setelah berlalu satu haul maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %.
Keempat, zakat uang, emas dan perak. Nishab emas atau dinar adalah 20 dinar yaitu 85 gram emas. Nishab perak atau dirham adalah 200 dirham (595 gram perak murni). Dan zakatnya sebesar 2,5 %.
Zakat ini disebutkan dengan lafal adz-dzahbu (emas), al-fidhah (perak), ar-riqqah, al-wariq, dirham dan dinar. Lafal ar-riqqah, al-wariq dan dirham dalam bahasa arab hanya untuk menyebut dirham yang dicetak saja. Dan lafal dinar hanya untuk menyebut dinar emas yang dicetak saja. Dirham dan dinar yang dicetak itu adalah satuan mata uang dan satuan harga bagi barang dan upah bagi jasa. Karenanya penyebutan zakat ar-riqqah, al-wariq, dirham dan dinar juga menunjukkan zakat uang. Semua yang dijadikan sebagai satuan mata uang maka itu memenuhi sifat dirham dan dinar sebagai satuan mata uang dan standar harga. Karena itu di dalam semua mata uang juga terdapat kewajiban zakat. Mata uang saat ini yang disebut fiat money tidak diback up dengan emas maupun perak. Maka nishabnya mengikuti nishab emas/ dinar atau nishab perak/dirham. Jika sudah mencapai nilai salah satu dari nishab emas atau perak, maka di dalamnya ada kewajiban zakat. Maka siapa yang memiliki uang senilai 20 dinar ( 85 gram emas murni) atau senilai 200 dirham (595 gram perak murni), kelebihan dari utangnya, dan sudah berlalu satu haul, maka saat itu wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 % dari jumlah itu.
Harta zakat hanya didistribusikan kepada delapan golongan yang disebutkan di dalam QS at-Tawbah [9]: 60, yaitu: fakir, miskin, amil, mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, gharim, fî sabîlLlâh yaitu jihad fî sabîlLlâh, dan orang yang sedang dalam perjalanan (ibn as-sabîl). Hal itu karena Allah telah membatasinya dengan lafal innamâ, artinya hanya untuk delapan golongan itu saja. Jadi selain mereka tidak boleh menerima zakat. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Lihat, Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, bagian zakâ; Ibn Sayidih, al-Mukhashish, bagian az-zakâh; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, bagian zakâ; Al-Khalil al-Farahidi, Kitâb al-‘Ayn; Abu Hafash Umar bin Muhammad bin Ahmad an-Nasafi, Thalabah ath-Thalabah, kitâb az-zakâh.