Pendapatan Indonesia sebagian besar ditopang oleh pajak. Pajak disebut-sebut untuk kepentingan rakyat. Benarkah demikian? Mengapa pajak bisa menjadi sumber utama pendapatan negara? Adakah keadilan dalam pajak? Bisakah Indonesia membangun tanpa pajak? Darimana potensi penerimaan non-pajak?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, redaksi al-wa’ie (gus uwik) mewawancara Ichsanudin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan Mantan Anggota DPR). Berikut petikan wawancaranya:
Mengapa pajak menjadi sumber utama pendapatan negara?
Dunia preman memang seperti itu. Sistem kapitalis yang diemban selama 40 tahun ini menjadikan negeri kita menjadi dunia preman.
Mengapa demikian?
Pajak itu kan preman. Cuma dilegalkan lewat undang-undang. Bukan berarti pada zaman Rasul tidak ada pajak. Namun, caranya dengan memperhatikan berbagai persyaratan. Ini kan disamaratakan.
Berapa besarnya pajak yang dipungut oleh negara?
Pajak dalam negeri pada tahun 2009 sebesar 11,7% terhadap PDB. Namun, dilihat dari sudut total pendapatan negara adalah sebesar 72,5%. Tahun 2010 diperkirakan pajak dalam negeri sebesar 11,6%. Kalau dilihat dari sudut total pendapatan adalah sebesar 77,3%.
Dalam perspektif hubungan warga negara dengan pemerintahnya maka dalam konteks pajak ada dua kata kunci, yakni keikhlasan untuk membayar dan kemampuan untuk membayar. Dalam hal ini, warga Negara Indonesia tidak terlampau ikhlas membayar walaupun punya kemampuan untuk membayar. Sebab, pertama: pajaknya lebih merupakan hukum preman; kedua: pajak dipakai untuk mensubsidi orang kaya.
Apa buktinya?
Buktinya, Pemerintah Indonesia di era 2004-2009 menjual surat utang negara berdenominasi dolar dengan tingkat suku bunga 10,5% dan 11,75% untuk sepuluh tahunan. Padahal LIBOR (London Interbank Offered Rate [merupakan kurs referensi harian dari suku bunga yang ditawarkan dalam pemberian pinjaman tanpa jaminan oleh suatu bank kepada bank lainnya di pasar uang London [atau pasar uang antar bank –red]) hanya 2,25%. Artinya, surat utang bermata uang dolar itu dengan tingkat suku bunga tersebut sesungguhnya merupakan subsidi yang dibuat oleh Pemerintah RI bagi orang kaya yang membeli surat utang itu.
Berapa besar subsidinya?
Ya, sebesar 10,5% dikurangi 2,25% atau 11,75% dikurangi 2,25%. Besar sekali, kan? Siapa yang membayar? Yang membayar adalah orang-orang miskin di Indonesia melalui pajak dalam negeri tadi. Sebab, pajak dalam negeri terdiri dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, bea peralihan atas hak tanah dan bangunan, juga pajak-pajak lainnya.
Orang miskin kan kenanya PPn. Orang miskin tidak membayar pajak, tetapi terkena ‘pajak’ ketika membeli barang. Anda pikir, ketika Anda membeli pulsa tidak kena pajak? Beli indomie tidak kena pajak?
Terus, bagaimana keadilan dalam penggunaan pajak?
Di Amerika, soal pengembalian pajak kepada masyarakat itu memunculkan satu kajian yang disebut dengan “Why People Don’t Trust The Government”. Itu berlangsung selama 40 tahun, mulai 1964 hingga 2004. Selama satu pemerintahan tidak mengembalikan penerimaan pajak sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat selama itu rakyat tidak akan pernah percaya kepada pemerintah. Dengan kata lain, sehebat apapun tahta dan jabatan Anda serta setinggi apapun pangkat Anda, rakyat tidak punya sikap hormat. Dengan kata lain pangkat, dan jabatan itu tidak bermartabat, karena Anda hanya bisa menghisap tetapi tidak bisa mengembalikan. Dalam rangkaian sederhana, Anda bisanya hanya menari di atas penderitaan rakyat, sementara Anda punya jabatan dan kekayaan. Itu tesis Amerika.
Sekarang bagaimana sesungguhnya ketika kita berpijak pada Islam? Jika kita menggunakan zakat sebagai sistem perekonomian Islam, dia dikunci oleh pertanyaan: dimana kepemilikan rakyat, pemerintah dan swasta terhadap sumberdaya produksi dan distribusi? Selama kepemilikan itu didominasi oleh swasta, termasuk kepemilikan hajat hidup orang banyak, maka yang terjadi adalah penjajahan terhadap rakyat. Jadi kata kuncinya adalah pada kepemilikan atas sumberdaya, produksi dan distribusi. Dari sana Islam mengatur: tidak ada kepemilikan mutlak. Nah, ini semua ada hubungannya dengan mal (harta, red.); yakni kepemilikan orang miskin atas kepemilikan produksi dan sumberdaya. Jadi dalam kepemilikan itu relasinya nanti apa yang disebut dengan zakat mal, hak orang miskin, pekerja. Ketemulah di situ keadilannya. Dalam Islam sistematis banget.
Kan dikampanyekan bahwa pajak untuk pembangunan, untuk rakyat, dll. Bagaimana?
Apa yang disampaikan itu menyesatkan. Karena itu tadi, sebagaimana Anda bisa lihat, pengaturan penggunaannya tidak kembali sepenuhnya kepada masyarakat. Dia lebih banyak digunakan untuk birokrasi dan bayar utang. Kembali kepada masyarakat kan bergerak dalam belanja modal. Itu hanya 80-90 triliun. Kecil sekali. Padahal untuk bayar utang selalu bergerak di atas 115 hingga 170 triliun. Pada saat yang sama kita membuka lapangan kerja bagi asing lewat pinjaman program, dll. Ini kan tidak fair?
Mampukah Indonesia membiayai diri tanpa pajak?
Bisa banget.
Darimana sumbernya?
Indonesia mempunyai 5 kelebihan. Pertama: kelebihan letak. Anda kalau mau berdagang pasti cari tempat yang bagus, kan? Artinya, Indonesia dalam konteks regional dan internasional tata letaknya sudah memberikan keuntungan. Kedua: sumberdaya alam yang cukup, bahkan berlebih. Namun, karena semua itu kita serahkan kepada orang asing, kita jadi melarat, bahkan terhina. Ketiga: kaya akan jumlah penduduk. Dalam ekonomi, sumberdaya paling mahal itu sesungguhnya sumberdaya manusia, bukan sumberdaya alam. Keempat: kita mempunyai utang luar negeri pada tahun 2009 mencapai Rp 988,5 triliun (Surat Berharga Negara). Pinjaman luar negerinya Rp 645 triliun. Jumlah total utang negara sebesar 1.633,5 triliun. Tahun 2010 diperkirakan menjadi Surat Berharga Negara (SBN)-nya 1.065,5 triliun. Pinjaman luar negerinya menjadi 610 triliun. Totalnya 1675,5 triliun. Ini sesungguhnya dilihat sebagai aset. Caranya, harus dibalik. Anda yang punya utang besar maka Andalah yang seharusnya punya hak untuk menentukan kapan waktu membayar dan berapa besarnya. Utang dijadikan bargaining position, bukan justru menjadi alat untuk senantiasa ditekan dan didekte. Kelima: kemajemukan. Yang bisa menyebabkan terdiversifikasinya produk-produk. Nah, kelebihan ini yang harus dikelola dengan baik dan benar.
Supaya struktur pendanaan/pendapatan negara bisa berjalan dengan baik, apa yang harus dilakukan?
Selama negara tidak berpihak kepada rakyatnya maka tidak akan pernah baik. Sederhana saja logikanya. Selama demikian maka negara sejatinya tidak dikelola dengan berkah Allah. Kemerdekaan kita berkat rahmat Allah. Kehidupan berbangsanya juga harus didorong keinginan luhur, bukan didorong oleh keinginan partai.