Soal:
Benarkah jizyah yang diberlakukan kepada orang non-Muslim Ahludz-Dzimmah merupakan bentuk diskriminasi terhadap minoritas non-Muslim?
Jawab:
Untuk menjelaskan pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih dulu. Pertama: secara faktual, di dunia ini memang ada dua kelompok beragama, yaitu mereka yang memeluk Islam, dan karenanya disebut Muslim, dan mereka yang tidak memeluk Islam, dan karenanya disebut kafir; baik yang masuk dalam kategori Ahlul Kitab (seperti Yahudi dan Nasrani) maupun musyrik (seperti Hindu, Budha, Majusi dan sebagainya).
Kedua: Islam dengan tegas telah membagi dunia menjadi dua: Dâr al-Islâm dan Dâr al-Kufr. Dâr al-Islâm adalah wilayah negara Khilafah, yang menerapkan hukum Islam dan keamanannya di tangan kaum Muslim. Dâr al-Kufr adalah wilayah Negara yang menerapkan bukan hukum Islam dan keamanannya tidak berada di tangan kaum Muslim.1
Dâr al-Islâm adalah wilayah negara yang menjadi milik umat Islam, baik yang penduduknya memeluk Islam tanpa proses penaklukan maupun melalui penaklukan, yang berada di bawah naungan negara Khilafah yang menerapkan hukum Islam dan memegang penuh keamanan, baik di dalam negeri maupun ketika menghadapi serangan dari luar.
Karena Dâr al-Islâm ini adalah milik kaum Muslim, maka wajar jika negara tersebut harus dipimpin oleh orang Islam, dan tidak boleh non-Muslim. Namun, karena Islam itu rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), maka orang non-Muslim pun boleh tinggal dan hidup di dalam Dâr al-Islâm, menjadi warga negara Khilafah, dengan syarat mau membayar jizyah serta tunduk pada negara serta seluruh sistem hukum dan perundang-undangannya.
Ketiga: Kewarganegaraan tiap individu yang menjadi warga negara Dâr al-Islâm, atau Negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, ditentukan oleh: loyalitasnya pada negara, sistem perundang-undangannya dan status mukimnya di wilayah tersebut untuk selama-lamanya.
Selain ketiga hal di atas, secara detail para fuqaha’ juga telah menjelaskan tentang apa itu jizyah dan bagaimana kedudukannya dalam Islam?
Dalam kitab Mukhtâr as-Shihhah disebutkan, bahwa jizyah adalah sesuatu yang diambil dari Ahludz-Dzimmah.2 Ibn Qudamah menjelaskan, bahwa jizyah adalah wazhîfah (kompensasi)3 yang diambil tiap tahun dari orang kafir karena dia menetap di dalam Dâr al-Islâm.4 Imam an-Nawawi, ketika ditanya tentang bagaimana bentuk akad negara dengan Ahludz-Dzimmah, beliau menjelaskan: “Saya menetapkan Anda untuk menetap di Dâr al-Islâm, atau saya mengizinkan Anda untuk tinggal di sana, dengan syarat Anda harus membayar jizyah dan tunduk pada hukum Islam.” 5
Dari uraian di atas jelas sekali, bahwa logika pengambilan jizyah sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha’ di atas adalah terkait dengan izin dan legalitas yang diberikan oleh Negara Islam kepada orang kafir yang menjadi Ahludz-Dzimmah. Dzimmah adalah jaminan negara kepada mereka, yang dianggap “orang asing” atau “bukan pemilik”, untuk menetap di wilayah Dâr al-Islâm, yang merupakan milik orang Islam, dengan tetap bebas menjadi orang kafir, berakidah, beribadah, berpakaian, makan, minum dan menikah dengan tatacara kufur dan bukan tatacara Islam. Mereka tidak akan dipaksa untuk meninggalkan semuanya itu. Untuk mendapatkan jaminan tersebut, mereka harus membayar jizyah kepada negara. Namun, di luar tatacara tersebut, semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim wajib tunduk dan patuh pada sistem perundang-undangan negara. Inilah jaminan atau dzimmah yang diberikan oleh Islam kepada mereka.
Karena itu, jelas sekali tidak ada relevansinya, mempertanyakan soal adil-tidaknya pemungutan jizyah atas orang non-Muslim dalam wilayah Dâr al-Islâm.
Selain itu, harus dicatat, bahwa jizyah hanya dipungut dari: lelaki, balig dan berakal. Jizyah tidak akan diambil dari perempuan, anak-anak dan orang gila. Jizyah juga hanya diambil dari orang yang mampu. Yang tidak mampu justru akan mendapatkan nafkah dari negara. Ini berbeda sekali dengan konsep dan praktik pajak dalam sistem negara sekular atau negara-negara kafir, karena dalam praktiknya, pajak tidak pandang bulu; berlaku untuk laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, dewasa dan anak-anak.6
Selain itu, dalam pemungutannya, jizyah pun ada kadar dan ukurannya. Yang masuk kategori kaya (kelas atas) ditetapkan 4 Dinar (x 4,25 gram emas) atau 17 gram emas, atau senilai Rp 3,400,000 (jika 1 gram=Rp 200,000). Yang masuk kategori sedang (kelas menengah) ditetapkan 2 Dinar atau 8,50 gram emas, atau senilai Rp 1,700,000. Yang masuk kategori mampu, tetapi di bawah kelas menengah, ditetapkan 1 Dinar atau 4,25 gram emas, atau senilai Rp. 850,000.7 Juga harus dicatat, bahwa jizyah hanya dipungut sekali dalam setahun. Itu pun tidak boleh dipungut lebih dari kadar yang telah ditetapkan di atas.
Inilah hukum Islam tentang jizyah. Perlu ditambahkan, bahwa sebagai warga negara Khilafah, orang kafir hanya dikenakan jizyah. Jika mereka mempunyai tanah pertanian maka selain jizyah, mereka harus membayar kharaj, sebagai kompensasi dari penghasilan tanah pertanian mereka. Namun, mereka tidak terkena dharîbah (pajak). Sebaliknya, orang Islam dikenakan zakat fitrah perkepala dan zakat mal untuk harta mereka. Untuk tanah pertanian mereka, mereka akan dikenakan ‘usyur, jika tanah mereka berstatus tanah ‘usyriyyah, atau kharaj, jika tanah mereka berstatus tanah kharajiyyah. Selain itu, jika APBN negara defisit, negara bisa mengambil dharîbah dari umat Islam, khusus untuk laki-laki, balig, dewasa dan mampu. Lalu di mana letak ketidakadilan jizyah bagi orang non-Muslim?
Wallâhu a’lam.[]
Catatan kaki:
1 ‘Abdul Wahhab Khallaf, As-Siyâsah as-Syar’iyyah, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. V, 1993, hal. 71; Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. II, 1996, I/677.
2 Ar-Razi, Muhktâr as-Shihhah, hlm. 86.
3 Wazhîfah ini adalah pekerjaan (tenaga/jasa), gaji, makanan ataupun yang lain yang ditetapkan untuk diberikan oleh orang Kafir yang menjadi Ahludz-Dzimmah.
4 Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/567.
5 An-Nawawi, Al-Minhâj (Mughni al-Muhtâj), IV/242.
6 Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, cet. II, 1988, hlm. 69.
7 Ibid, hlm. 70-71.