HTI

Jejak Syariah

Khilafah Membantu Aceh

Tahun 1522 Portugis memulai invasinya ke Sumatera Utara dan pulau-pulau lain di Indonesia dengan harapan memperoleh pasokan rempah-rempah dari Timur untuk dijual di Eropa. Kesultanan di Sumatera dan Jawa, yang hidup merdeka saat itu, menentang invasi ini.

Salah satu reaksi datang dari seorang pemuda Aceh, Fatahillah, yang baru saja menunaikan ibadah haji di Makkah (pada saat itu di bawah kepemimpinan Turki Utsmani). Pada tahun 1527, ia mengumpulkan sekitar 2000 prajurit Kerajaan Demak dan menyerang penjajah Portugis yang ketika itu menduduki Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta) di Kerajaan Pajajaran. Dengan serangan mendadak itu, ia mengalahkan Portugis dan mengusir mereka dari tanah pribumi.1

Namun, usaha Portugis tidak berhenti sampai di situ. Mereka menurunkan lebih banyak pasukan dan invasi pun terus berlangsung. Menghadapi keunggulan teknis pasukan Portugis, Kesultanan Aceh memutuskan untuk meminta bantuan Khilafah Utsmaniyah, yang reputasinya dikenal luas berkat para saudagar dan orang-orang yang berhaji.

Sultan Aceh kala itu, Ala ad-Din Ri’ayat Syah al-Kahhar, memutuskan untuk mengirim Husein Effendi, yang pernah ke Makkah dan fasih berbahasa Arab, ke Istanbul, ibukota Khilafah Utsmaniyah. Saat itu, bahasa Arab adalah bahasa internasional yang biasa digunakan di Negara Islam, sebagaimana bahasa Latin digunakan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Kapal yang membawa utusan Husein Effendi dan delegasinya, termasuk hadiah yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki Utsmani, mulai berlayar pada tahun 1565. Namun, kapal itu diserang oleh perompak di pesisir India. Dengan menyerahkan sebagian besar hadiah kepada para perompak, Husein Effendi berhasil menyelamatkan dirinya beserta awak-awaknya dan sebuah kapal2.

Akhirnya, mereka sampai di Laut Merah, yang berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, dan berlayar menuju Teluk Suez. Husein Effendi diperkirakan menjual kapalnya di sana (saat itu belum ada Terusan Suez) dan membeli kapal baru di pesisir Mediterania untuk meneruskan perjalanannya ke Istambul.

Waktu itu, Khilafah Utsmaniyah tengah berada di puncak kejayaannya, dengan luas wilayah lebih dari 10 juta kilometer persegi yang terbentang dari Algeria sampai kawasan Kaukasus hingga gerbang Wina di Eropa. Sultan Turki Utsmani saat itu, Sulaiman yang Agung, tengah berperang dengan Raja Jerman, Maximillian II. Dengan demikian, Husein Effendi harus menunggu sampai berakhirnya perang. Akan tetapi, setelah kekalahan Maximillian II, Sulaiman yang Agung wafat di Szigetvar (di Hungaria) pada tahun 1566.

Husein Effendi akhirnya harus menunggu pengangkatan sultan yang baru, yaitu Salim II, anak Sulaiman. Ketika upacara penobatan dilaksanakan pada tanggal 20 September 1567, Sultan melihat beberapa orang Indonesia yang pakaiannya tidak lazim dan menanyakan siapa mereka. Petugas protokoler menjelaskan situasinya dan mengatakan bahwa Husein Effendi dan delegasinya telah menunggu sekian lama untuk bertemu dengan Sultan. Sultan Salim II, yang merasa kesal karena tidak diberitahu perihal kedatangan tamu dari jauh, mengatakan bahwa beliau akan menerima mereka sore itu.

Karena semua yang dialami dan waktu yang lama, semua bekal dan persembahan yang dibawapun habis, hanya tersisa sekarung lada hitam. Dengan hanya membawa sekarung lada hitam, Husein Effendi diterima oleh Sultan dan menceritakan peristiwa buruk yang menimpa mereka serta alasan mereka melakukan perjalanan.

Sultan, yang mendengarkan dengan seksama, memahami kondisi mereka dan segera mengeluarkan perintah untuk memberikan bantuan finansial kepada delegasi Indonesia dan menyiapkan hadiah yang layak dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Sultan Salim II juga menyuruh agar ferman (surat perintah yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh para Sultan di Kekhilafahan Turki Utsmani) dikirimkan kepada para gubernur untuk membantu delegasi Indonesia sampai mereka meninggalkan wilayah Daulah. Beliau juga memerintahkan armada Utsmani di Laut Merah di bawah komando Laksamana Kurtoglu Hizir Reis untuk melakukan ekspedisi ke Sumatera (pada tanggal 20 September 1567).

Ketika itu, Kekhilafahan Utsmani mempunyai armada besar di empat lokasi berbeda, yaitu di Laut Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah dan Sungai Danube. Angkatan laut juga terdapat di Teluk Persia, tetapi tidak terorganisasi. Di dalam ferman itu juga tertulis bahwa beberapa ulama dan tenaga teknis akan ikut bersama armada dan tinggal di Sumatera selama dibutuhkan oleh Kesultanan Aceh. Para ahli pertambangan, khususnya ahli besi, baja dan tembaga, pakar persenjataan artileri, pakar militer, ahli mesin kapal dan perahu, serta para pembantu dan tenaga teknis dikirim ke Aceh. Ekspedisi militer ini merupakan bantuan teknis dan budaya yang pertama kali dilakukan dalam sejarah hubungan Turki dan Indonesia.

Kapal-kapal perang tiba di Sumatera pada tahun 1567. Mereka disambut dengan upacara yang meriah dan gelar gubernur (wali) diberikan kepada Kurtoglu Hizir Reis. Pasukan Turki dan Sumatera berhasil mengalahkan dan mengusir Portugis. Kemudian, tujuh belas dari sembilan belas kapal, termasuk Laksamana Hizir Reis, kembali ke wilayah Khilafah Utsmaniyah.

Namun, ada juga orang Turki yang memutuskan untuk menetap karena terkesan dengan kehangatan penduduk Aceh. Mereka menikahi pribumi dan berbaur dengan penduduk setempat. Mereka pun membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan budaya dan kekuatan militer di Aceh serta berkontribusi dalam pengembangan teknologi modern saat itu. Sumbangsih yang paling tersohor adalah Akademi Militer yang mereka dirikan. Akademi itu dinamakan “Askeri Beytul Mukaddes” yang dalam bahasa Turki berarti “Prajurit Tanah Suci”. Akhirnya, para instruktur dan administrator yang berasal dari Turki menyerahkan segala urusan kepada para pakar baru yang merupakan penduduk lokal. Kemudian, nama akademi itu menjadi “Askar Baitul Makdis” yang lebih sesuai dengan dialek Aceh. Menurut penelitian Prof. A. Hasjmy3 dari Aceh, pusat pendidikan militer telah melahirkan sejumlah pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Yang paling terkenal adalah Laksamana Keumala Hayati (Malahayati),4 satu-satunya laksamana perempuan dalam sejarah dunia masa kini.

Bangsa Turki menetap di kota tepi laut Banda Aceh, di desa yang sekarang disebut Bitai, Emperom dan Perkebunan Banda. Sampai sekarang, makam orang-orang Turki masih dapat dilihat. Namun, sebagian besar buku-buku agama dan teknik yang dibawa oleh pasukan Turki Utsmani dihancurkan saat perpustakaan tua di Desa Bitai dibakar pada Perang Dunia II. Inilah bukti adanya hubungan antara Khilafah Utsmaniyah dan Sumatera, Indonesia.5 [Gus Uwik]

Catatan kaki:

1 Buku Baluwarti, diterbitkan oleh Yayasan Harapan Kita, Jakarta, 1981.

2 Prof. Tariech Chehab: Journal of Southeast Asian History, Universitas Indonesia, Jakarta.

3 Prof. A. Hasjmy: a) The Role of Aceh Women in Government and War, Indonesian Obeserver, Yayasan Pecinta Sejarah, 28 Februari 1988. b) Peranan Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, Yayasan Pecinta Sejarah, 28 Februari 1988.

4 Sebelum Keumala Hayati, laksaman wanita pertama di dunia adalah Artemisia, permaisuri Raja Mosul di Anatolia. Artemisia bertempur melawan Angkatan Laut Yunani dan berhasil memenangkan pertempuran pada tahun 480 sebelum Masehi. Ia menjadi kepala negara setelah suaminya Mosul wafat. (sumber: Historia karya Herodotus)

5 Arsip Utsmani: Savfet Bey “The Sumatra Expedition of an Ottoman Fleet (1327 Hijriah); Savfet Bey, The Sailor of the East” (1329 Hijriah – Istanbul). Arsip ini ditulis dalam bahasa Turki kuno dengan huruf Arab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*