Istilah ‘local genius’ acap dipakai di kalangan para pegiat lembaga non-pemerintah (NGO) atau LSM. Istilah ini menunjuk pada tokoh atau figur lokal (di desa atau daerah yang jauh dari kota) yang memiliki kemampuan berpikir atau keahlian yang tidak bisa dipandang remeh. Umumnya dipahami bahwa orang-orang yang berkualitas, baik dari segi pemikiran, keahlian atau hasil karya itu ada di daerah perkotaan atau di pusat pemerintahan. Namun, ternyata tidak selalu demikian. Fakta menunjukkan, meski di daerah yang terpencil, jauh dari pusat informasi atau pusat kegiatan politik, ada saja ditemukan orang-orang yang memiliki kemampuan yang istimewa. Orang-orang seperti inilah yang sering disebut dengan istilah sebagai ‘local genius’.
++++
Hal itu didapati pula oleh HTI dalam interaksinya dengan sejumlah tokoh, ulama, ustadz dan tokoh masyarakat di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Misalnya dalam acara Liqa Syawal yang diselenggarakan oleh HTI di sejumlah daerah seperti di Sumedang, Cirebon, Banjar, Bandung dan Makassar serta daerah lain pada awal bulan Oktober lalu. Para ulama atau kiai dari berbagai daerah yang umumnya tinggal di desa, yang dari segi penampilan tampak sangat bersahaja, ternyata memiliki pemikiran yang luar biasa; bahkan kadang terasa mengejutkan.
Coba simak penuturan KH Muhammad Khitab dari Kecamatan Jatinunggal, Sumedang. Kiai yang memimpin 4 RA (Rudhatul Atfhal), 14 MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan 7 MTs (Madrasah Tsanawiyah) serta 7 MA (Madrasah Aliyah) yang lokasinya jauh di pelosok desa, dalam kesempatan memberikan testimoni atau makalah dalam forum Liqa Syawal yang diselenggarakan oleh HTI Sumedang, mengemukakan kegelisahannya melihat kondisi umat Islam saat ini yang perilakunya disebutnya seperti anak kecil. Lihatlah, katanya, anak kecil itu suka sekali mainan macan; tapi kalau dikasih macan beneran, pasti takut. “Umat Islam sekarang juga kayak begitu. Kalau dikasih Islam yang benaran takut. Maunya Islam main-mainan,” disambut tawa hadirin.
Sebuah perumpamaan yang sederhana, tetapi terasa mengena. Lain lagi penuturan KH Al-Hafidz Ali Bayanullah, pimpinan Pondok Pesantren al-Bayan di Kecamatan Sukasari, Sumedang. Umat Islam saat ini, menurutnya, seperti anak ayam kehilangan induk. Tidak ada yang memimpin dan tidak ada pula yang melindungi. Ia memberi contoh, mengapa banyak umat Islam yang tidak shalat? “Bukan karena kurang da’i. Cukup banyak da’i di sekitar kita. Yang tidak ada adalah yang menghukum orang yang tidak mau shalat itu. Siapa yang mestinya menghukum mereka? Bukan ulama, tapi khalifah. Karena itu, khalifah sangatlah penting untuk segera diwujudkan,” teriaknya.
Adapun KH Zamzam Setiawan Lc, pimpinan Pondok Pesantren al-Mahmud, Kecamatan Tanjungsari, Sumedang, mengatakan bahwa semua manusia pada prinsipnya sama, yaitu ingin hidup senang dan bahagia. Persoalannya, dimana rasa senang dan bahagia itu bisa didapat? “Itu tidak lain hanya di dalam aturan Islam. Allah menciptakan manusia, Allah pula yang paling tahu bagaimana mengatur manusia. Manusia pasti akan senang dan bahagia bila mengikuti aturan-Nya dan pasti akan celaka bila menentangnya. Siapa yang menerapkan aturan Allah itu? Tidak lain, itulah pemerintahan Islam yaitu Khilafah,” ungkapnya mantap.
Mungkin cukup mengherankan, para kiai yang tinggal di pelosok-pelosok desa, ternyata pemikirannya tetap segar, aktual dan juga progressif. Soal tempat tinggal dan ladang berkiprah mereka yang jauh dari kota diakui oleh Ustadz Ujang Rohendi dari Kecamatan Sukasari, Sumedang yang memerlukan waktu berjam-jam untuk sampai ke kota kecamatan. Namun, itu tidak berarti mereka boleh ketinggalan zaman. Dia bilang, “Saya memang ustadz kampung, tapi tetap politis dan tidak boleh jumud.”
Katanya lagi, meski tinggal di kampung, “Saya tidak akan meleng (lengah) sedikit pun dari perjuangan syariah dan Khilafah ini!”
Mengapa bisa begitu? Penegasan KH Ali Badri dari Cirebon yang memberikan testimoni pada acara Liqa Syawwal yang diselenggarakan oleh HTI Wilayah 3 Cirebon, 9 Oktober lalu, kiranya bisa menjelaskan. Katanya, “Khilafah bukanlah cita-cita HTI saja, tapi juga para kyai di Pesantren.” Karena itu, ia menyerukan, “Marilah kita sebarkan ide itu sesuai dengan daya jangkau pengaruh kita. Misalnya kepada keluarga atau pesantren kita. Saya, misalnya, saya sampaikan ide khilafah kepada keluarga saya, maka tidak ada satu pun keluarga saya yang anti Khilafah.”
Keyakinan bahwa ide syariah dan Khilafah bukan hanya milik HTI juga diakui oleh Ustadz Abdulwahab Amin di Makassar. Dalam acara Temu Tokoh yang diselenggarakan oleh HTI Sulsel, 10 Oktober lalu, dia mengatakan bahwa baginya tidak ada pilihan kecuali syariah dan Khilafah.
Jadi, ide syariah dan khilafah tampaknya memang bukan ide yang asing buat para ulama karena semua itu ada di dalam kitab-kitab yang akrab di kalangan pesantren. Jadi tidak aneh, begitu melihat HTI bersemangat memperjuang-kan tegaknya Khilafah, para ulama terbangkitkan pula semangatnya menyokong perjuangan ini. Mereka seolah menemukan kembali spirit atau semangat juang yang selama ini terkubur. KH Zainal Abbas, ketika menyampaikan taushiyahnya pada acara Liqa’ Syawal yang diadakan oleh HTI DPD I Jabar di Bandung, 11 Oktober lalu sampai mengatakan, Katanya, “Saya sangat merindukan hidup dalam naungan Khilafah walaupun hanya sedetik saja.” Kontan saja, pernyataannya itu disambut pekik takbir hadirin.
++++
Dari sekelumit fakta di atas bisa ditarik pelajaran bahwa kebenaran Islam sesungguhnya memang berlaku universal. Untuk meyakininya tidaklah terlalu sulit. Hanya diperlukan kejujuran dan keikhlasan disertai sedikit pengetahuan. Itu bisa didapat oleh siapa saja, apalagi oleh seorang ulama; dimana saja, di desa ataupun di kota; dan kapan saja, kemarin, kini atau nanti.
Karena itu, jika ada pihak-pihak yang tampak begitu sulit untuk menerima ide syariah dan khilafah, mungkin saja ia kurang pengetahuannya, mungkin pula kurang kejujurannya atau keikhlasannya. Namun, tentu tidak berarti mereka kurang kejeniusannya. Sebab, syariah dan Khilafah sesungguhnya adalah ide yang biasa saja [Kantor Jubir HTI-Jakarta]