APBN senantiasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu 5 tahun terjadi peningkatan dari Rp 509 triliun menjadi 1.009 triliun rupiah pada tahun 2010. Namun, setiap pengumuman RAPBN yang dilakukan Presiden selalu mengundang kritikan karena APBN ini dianggap tidak pro rakyat. Pasalnya, dari sisi pengeluaran, anggaran untuk subsidi selalu turun, sementara anggaran utuk membayar utang luar negeri atau belanja birokrasi senantiasa meningkat. Sebaliknya, dari aspek penerimaan, penerimaan dari pengelolaan SDA semakin kecil, sedangkan penerimaan dari sektor pajak selalu mengalami peningkatan sampai lebih dari 75% dari APBN. Walaupun angka APBN meningkat setiap tahun, jumlah rakyat miskin juga semakin meningkat.
Pajak: Andalan Utama Ekonomi Kapitalis
Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak dari kebijakan ekonomi kapitalis yang meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Akibatnya, kesejahtera-an rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal ini dapat kita lihat dari peran pajak sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Dalam hal ini, perusahaan swasta dibebani untuk memiliki tanggung jawab sosial dan ekonomi.
Fungsi budgeter yaitu menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Jadi wajar jika setiap tahun selalu terjadi target peningatan pajak baik secara kuantitas (jumlah rupiah) maupun kualitas (jenis pajak dan jumlah pembayar pajak). Dalam konteks Indonesia cengkeraman Kapitalisme (neoliberal) ini semakin kuat dengan melihat perkembangan APBN dari tahun ke tahun; secara kuantitas terjadi peningkatan jumlah penerimaan negara dari sektor pajak. Tahun, 1989, misalnya sumber pendapatan negara yang berasal dari Pajak masih sekitar 51%. Namun, tahun 2006 pendapatan negara dari pajak meningkat menjadi 75%; sisanya dari pengelolaan SDA dan pinjaman. Menurunnya penerimaan bukan pajak adalah dampak kebijakan Pemerintah yang semakin kapitalis melalui proyek swastanisasi pengelolaan SDA ke swasta, khususnya asing, melalui peningkatan investasi yang dilegalkan melalui UU seperti UU SDA, UU Minerba, UU Penanamaan Modal; yang terbaru rencana swastanisasi pengelolan listrik. Lalu dari sisi kualitas, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, Pemerintah terus meningkatkan obyek pajak dan subyeknya. Saat ini menurut survey Bank Dunia ada 52 jenis pajak yang ditetapkan di Indonesia. Jumlah para wajib pajak juga dilipat gandakan sehingga mereka yang harus memasukkan SPT ditargetkan mencapai di atas 10 juta.
Fungsi regulasi yaitu menjadikan pajak sebagai alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial. Dengan fungsi ini diharapkan pajak bisa dijadikan sarana untuk mendistribusikan kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Namun kenyataannya, setiap APBN yang disusun oleh Pemerintah selalu tidak pro rakyat. Sebagai contoh, RAPBN 2010 dinilai masih pro birokrasi dan kalangan kapitalis. Hal ini bisa dilihat dengan menurunnya anggaran subsidi dari Rp 166,9 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 144,3 triliun (RAPBN 2010). Sebaliknya, pengeluaran didominasi oleh peningkatan gaji dari Rp 133 triliun (RAPBN 2009) menjadi Rp 161 triliun (RAPBN 2010) dan pembayaran bunga utang yang sangat tinggi sebesar Rp 115 triliun.
Dalam data yang lebih rinci, misalnya, alokasi belanja Pemerintah untuk fungsi perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM hanya sebesar Rp 1,5 triliun; alokasi belanja untuk fungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan di bawah Rp 9 triliun. Sangat ironis jika dibandingkan dengan alokasi pembayaran bunga utang luar negeri yang lebih dari Rp 38 triliun.
Jadi, jelaslah bahwa fungsi pajak sebagai alat distribusi itu tidak pernah terealisasi. Yang terjadi adalah pajak sebagai alat ekploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat. Pasalnya, penerimaan negara yang terbesar dari pajak sebenarnya berasal dari rakyat, baik melalui pajak langsung maupun pajak tidak langsung yang dibebankan oleh perusahaan melalui tingginya harga barang. Lalu ketika pajak tersebut sudah terkumpul, alokasi yang terbesar ternyata juga bukan untuk rakyat.
Kekeliruan lain dalam paradigma ekonomi kapitalis ini juga dampak dari minimnya anggaran negara untuk jaminan sosial. Pemerintah mengalihkan sebagian tanggung jawab sosialnya, bahkan seluruhnya, kepada swasta, baik individu maupun perusahaan. Inilah yang menjadi akar problem perburuhan. Pasalnya, buruh selalu menuntut fasilitas yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab perusahaan seperti hak buruh dalam pendidikan dan kesehatan, hak libur dan cuti (termasuk cuti haid, hamil dan melahirkan bagi buruh wanita), sampai penyediaan fasilitas kesehatan untuk keluarga yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pekerjaan buruh.
Politik APBN dalam Islam
Menurut Taqiyuddin an-Nahbani, dalam kitab Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, politik ekonomi Islam memberikan jaminan atas pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu, juga pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks sesuai kadar kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kebijakan APBN merupakan aplikasi politik ekonomi dalam kebijakan keuangan negara, baik menyangkut sumber-sumber pendapatan maupun alokasi penggunaannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok individu maupun kebutuhan pokok masyarakat.
Untuk pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung dan dalam kondisi tertentu menggunakan mekanisme langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Dengan begitu, setiap individu tetap diwajibkan bekerja. Namun, jika individu tidak mampu bekerja maka negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan maupun memberikan santunan sampai yang bersangkutan mendapatkan pekerjaan, Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw. bersabda:
اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pemelihara/pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Imam al-Bukhari juga disebutkan, bahwa ada seseorang yang mencari Rasulullah saw., dengan harapan beliau akan memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah seorang yang tidak mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil (kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah saw. memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang diambil sendiri oleh beliau. Kemudian beliau serahkan kepada orang tersebut dan Beliau sediakan lokasi bekerjanya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya mengucapkan terima kasih kepada beliau atas bantuannya dan menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati.
Dari sini maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Pemerintah untuk memberikan sarana pekerjaan kepada para pencari kerja dan menciptakan lapangan kerja. Para khalifah telah melaksanakannya dengan baik, terutama pada masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.
Lalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan, semua itu dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan pokok tersebut.
Dalam masalah pendidikan, negara bertanggung jawab untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Mal. Rasulullah saw. telah menetapkan kebijak-sanaan terhadap para tawanan Perang Badar. Khalifah Umar Ibnu al-Khaththab memberikan gaji kepada tiga orang guru ngaji sebesar 15 dinar setiap bulan atau 63,75 gram emas perorang. Jadi kalaulah dianggap 1 gram emas harganya Rp 200.000,- maka gaji guru, pengajar anak-anak, lebih kurang Rp. 12.750.000,- (Bandingkan dengan gaji guru sekarang).
Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, ada riwayat bahwa Muqauqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)-nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw. dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit tanpa diminta bayaran. Tindakan Rasulullah saw. itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum Muslim menunjukkan bahwa kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. juga pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta Baitul Mal. Hal ini senantiasa dilakukan oleh para khalifah dengan sebaik-baiknya.
Adapun keamanan juga merupakan kebutuhan pokok. Hal ini mudah dipahami. Sebab, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya baik kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, maupun kewajiban bermuamalat secara islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua maka negara haruslah memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw.:
مَنْ أَصْبَحَ آمِنًا فِيْ سَرْبِهِ، مُعَافِيً فِيْ بَدَنِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَاَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا
Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memilliki bahan makanan untuk hari itu maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya (Al-Hadits).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat—baik Muslim maupun ahludz-dzimah—berupa pangan, sandang dan papan. Islam pun telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Sumber-Sumber Pendapatan Negara
Dari mana negara mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhan pokok individu dan masyarakat? Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), telah menjelaskan secara lengkap sumber pemasukan negara yang dikumpulkan oleh lembaga negara yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara (Baitul Mal bukan Lembaga Keuangan Tingkat Kelurahan seperti yang ada dalam sistem kapitalis).
Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi empat sumber:
Pertama: dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum.
Dalam Sistem Ekonomi Islam sumber daya alam seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum (rakyat) sebagai sumber utama pendanaan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Benda benda yang termasuk dalam kepemilikan umum ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
1. Fasilitas umum: semua yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum—jika tidak ada dalam suatu negeri akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.
2. Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll.
3. Benda benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat dan sebagainya.
Pada kepemilikan umum ini negara hanya sebagai pelaksana pengelola. Dalam hal ini, syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Jika untuk eskplorasi dan eksploitasi diperlukan dana dan sarana, pemerintah wajib menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat.
Sayangnya, yang justru terjadi adalah banyak kekayaan alam (hasil hutan, minyak bumi, barang tambang, dll)—yang sejatinya milik rakyat itu—diserahkan begitu saja kepada pihak swasta bahkan swasta asing, atas nama swastanisasi dan privatisasi. Jutaan ton emas dan tembaga di bumi Papua, misalnya, diserahkan kepada PT Freeport, sedangkan miliaran barel minyak di Blok Cepu diserahkan kepada Exxon Mobil. Kontrak blok gas Tangguh yang berpotensi merugikan negara Rp 750 triliun (25 tahun) diberikan ke Cina.
Kalau semua potensi sumber daya alam milik umum ini dikelola negara sebagaimana dalam sistem Ekonomi Islam maka Pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak.
Kedua: dari pengelolaan fa’i, kharâj, ghanîmah dan jizyah serta harta milik negara dan BUMN.
Ketiga: dari harta zakat.
Keempat: dari sumber pemasukan temporal.
Yang masuk dalam kelompok ini adalah: infak, wakaf, sedekah dan hadiah; harta penguasa yang ghulûl (haram); harta orang-orang murtad; sisa harta warisan atau yang tidak memiliki ahli waris dan lain-lain.
Pajak dalam Sistem Ekonomi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, pemerintah tidak diperkenankan bahkan diharamkan memungut pajak secara rutin dan terstruktur, tetapi hanya sekadar salah satu pendapatan insidentil dan pada kondisi tertentu. Pajak hanya diwajibkan ketika Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi, sementara ada pembiayaan yang wajib dilakukan dan akan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim. Inilah dasar kebijakan pajak dalam Daulah Khilafah. Allah telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda:
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ لاَ
Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Ada beberapa ketentuan tentang kebijakan dharîbah (pajak) menurut syariah Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem ekonomi kapitalis, yaitu: pajak bersifat temporer dan tidak kontinu; hanya dipungut untuk pembiayaan yang bersifat wajib bagi kaum Muslim; hanya dipungut dari orang kaya dan Muslim (tidak boleh dipungut dari non-Muslim) serta jumlah yang tidak boleh melebihi kebutuhan.
Dengan demikian, dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama pendanaan negara. Sebaliknya, dalam sistem Islam, ia hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dengan begitu, dalam Sistem Ekonomi Islam, pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Arim Nasim]