HTI

Hiwar (Al Waie)

Negara Kapitalis: Negara Pemalak

Pengantar:

Saat ini sekitar 75% APBN Indonesia dibiayai dari pajak rakyat. Sisanya sekitar 25% bersumber dari non-pajak, seperti BUMN. APBN Indonesia juga masih bergantung pada utang luar negeri. Pertanyaannya: Kemanakah kekayaan alam Indonesia yang terkenal melimpah-ruah? Kemanakah larinya hasil-hasil emas, perak, tembaga, migas, batubara, dll yang sesungguhnya jumlahnya sangat luar biasa dan bisa menjadi sumber utama pendapatan negara? Mengapa lagi-lagi pajak yang justru menjadi andalan APBN? Bukankah berarti selama ini rakyat betul-betul ditekan untuk membiayai negara? Jika demikian, dimana tanggung jawab Pemerintah?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi mewawancari KH Hafidz Abdurrahman, MA, Ketua Umum Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.

Di negara-negara kapitalis, pajak menjadi andalan pendapatan negara untuk membiayai belanja Negara. Apa dasar pemikirannya?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin perlu saya kemukakan dulu tentang pajak itu sendiri dalam perspektif mereka. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M. dan Brock Horace R, menyatakan pajak adalah upaya pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional. Tujuannya agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Karena itu, pajak menjadi andalan pendapatan negara. Di Indonesia sendiri, 75% APBN dibiayai oleh pajak, sementara sektor migas dan lain-lain hanya menyumbang 25%. Pertanyaannya, ke manakah larinya kekayaan alam dan negara yang begitu melimpah ruah di negeri ini?

Jawabannya, bahwa kekayaan alam dan negara sudah dikuasai swasta, baik asing maupun domestik. Akibatnya, negara atau pemerintah tidak mempunyai sumber pendapatan lain, selain pajak. Kalau itu belum cukup, pemerintah akan berutang. Itulah paradigma berpikir pemerintah. Pada saat yang sama kekayaan alam yang seharusnya menjadi hak rakyat dan sumber utama pendapatan negara justru habis dikuras dan dikapling-kapling untuk kepentingan swasta, baik asing maupun domestik. Karena itu, harus ada sumber pendapatan tetap yang menjadi tulangpunggung pendapatan negara, dan itulah pajak. Wajar, jika di negara kapitalis manapun, pajak menempati posisi nomer satu sebagai peyumbang pendapatan terbesar dan utama. Inilah fakta riil yang sebenarnya terjadi.

Namun, para pengelola negara itu kemudian memberikan justifikasi bermacam-macam agar rakyat tidak marah. Misalnya, dengan mengatakan, bahwa pajak adalah bentuk partisipasi langsung rakyat dalam kehidupan bernegara. Ada juga yang menyatakan, bahwa rakyat wajib membayar pajak, karena wilayah yang didiaminya adalah milik negara atau raja.

Adakah dampak buruk pajak bagi rakyat dan perekonomian?

Jelas ada. Sebab, dari perspektif ekonomi, pajak juga bisa dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat kepada pemerintah (negara). Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan empat situasi menjadi berubah. Pertama: berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumberdaya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua: mandeknya perputaran dana yang berlangsung di tengah masyarakat: dari, oleh dan untuk masyarakat; akibat beralihnya dana tersebut ke kas negara. Ketiga: memang kemampuan keuangan negara meningkat, tetapi jika penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya, maka dana tersebut tidak akan pernah kembali dan bisa dinikmati oleh rakyat; sebagaimana yang terjadi selama ini. Di satu sisi, misalnya, tarif tol naik terus, sementara layanan yang diberikan tidak meningkat. Keempat: bahkan pajak bisa juga melegalkan hilangnya kekayaan negara, seperti migas, tambang, hutan dan sebagainya, dengan alasan pajaknya sudah disetor ke kas negara. Padahal seharusnya bukan hanya pajaknya yang disetor, tetapi hasil kekayaan alamnya itu sendiri.

Mengapa Kapitalisme menjadikan pajak rujukan utama pendapatan negara?

Ya, karena logika di atas tadi. Selain itu, negara dalam sistem Kapitalisme kan dikuasai oleh kaum pemilik modal, maka negara pun dibajak untuk melayani kepentingan mereka. Akhirnya, UU dibuat tidak lain hanya untuk melegalkan kepentingan ini.

Apakah pajak bisa menjadi alat pendistribusian harta? Bagaimana mekanismenya?

Bisa, asal dalam distribusinya benar-benar sampai kepada sasaran. Namun, dengan sistem dan pelaksana negara yang korup seperti sekarang, kita sangsi jika distribusinya tepat sasaran.

Apakah sistem Islam juga mengenal pajak dan akan dijadikan tumpuan?

Pertama: istilah pajak di dalam Islam dikenal dengan istilah dharîbah. Istilah ini memang merupakan istilah baru dalam khazanah fikih Islam. Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, menyatakan bahwa dharîbah adalah kewajiban non-syar’i yang sudah tertentu, yang ditetapkan oleh negara terhadap harta atau orang.

Kedua: meski Islam mengenal pajak, praktiknya berbeda sama sekali dengan praktik pemungutan pajak dalam sistem Kapitalisme. Selain tidak menjadi tumpuan pendapatan negara, pajak juga dipungut dalam kondisi emergency, saat negara menghadapi kejadian luar biasa; atau saat adanya pembiayaan yang wajib ditunaikan, sementara kas negara kosong atau kurang. Karenanya, sifat pajak dalam Islam hanya bersifat komplemen, bukan sumber pendapatan utama. Selain itu, pajak juga hanya diambil dari orang Islam yang mampu, dengan syarat, diambil tidak lebih dari yang dibutuhkan.

Apa mungkin membangun negara tanpa pajak?

Mungkin. Tergantung bagaimana mengelola kekayaan alam umat dan sumber ekonomi negara. Kekayaan alam umat sangat luar biasa banyak dan melimpah. Jika kekayaan alam tersebut dikelola oleh negara, dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyatnya, pasti bisa. Karena itu, Islam mengharamkan privatisasi dalam sektor ini. Selain itu, negara juga mempunyai sumber ekonomi lain, yaitu pertanian, perdagangan, jasa dan industri.

Bagaimana sistem Islam membiayai pengeluaran negara, termasuk untuk memberikan pelayanan kepada rakyat?

Pertama: negara Khilafah mempunyai sumber pendapatan tidak tetap seperti anfâl, ghanîmah, fai dan khumus yang diperoleh melalui jihad fi sabilillah. Selain itu, ada sumber pendapatan tetap seperti kharâj, jizyah, ‘usyur; hasil pengelolaan kekayaan alam, tambang dan migas; khumus harta temuan dan tambang; harta haram penyelenggara negara dan pegawai negeri, harta haram lainnya; harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; harta orang murtad, zakat dan pajak (dharîbah). Dengan demikian, negara Khilafah mempunyai sumber pendapat yang luar biasa dan melimpah.

Kedua: pos-pos pengeluaran negara Khilafah juga tetap, yang secara umum bisa dipilah menjadi dua: pos pengeluaran zakat dan non-zakat. Pos pengeluaran zakat hanya khusus untuk delapan asnâf. Namun, jika dana zakat yang tersedia masih kurang, bisa ditutup dengan dana-dana yang lain. Adapun pos non-zakat dibiayai dari seluruh pendapatan di luar zakat.

Seperti apa peran negara dan rakyat dalam menyediakan pembiayaan pembangunan?

Harus dibedakan dua hal: sektor privat dan sektor publik. Sektor privat seperti pertanian, industri milik pribadi, dan sebagainya, maka pembiayaannya diserahkan kepada masing-masing pribadi; baik didanai dengan dana sendiri, pinjaman atau yang lain diperbolehkan, dengan syarat tidak melanggar ketentuan syariah. Namun, jika bantuan atau pinjaman tersebut bisa membahayakan, maka harus dilarang.

Adapun sektor publik, yang lazimnya ditangani oleh negara, seperti penyediaan listrik, pembangunan infrastruktur dan sebagainya, maka kadang pemerintah meminjam langsung dari negara-negara penjajah, seperti AS, Uni Eropa dan Rusia; atau tidak langsung melalui lembaga keuangan atau pemerintah yang menjadi pusat investasi AS, Uni Eropa dan Rusia. Semua pembiayaan pembangunan ini hukumnya haram.

Apakah sistem Islam akan membebani rakyat dengan berbagai macam pungutan?

Tidak. Ciri yang membedakan antara negara Khilafah dengan negara sekular atau negara kapitalis adalah: jika negara Khilafah dikenal dengan dawlah ri’âyah, yaitu negara yang mengurus seluruh kebutuhan rakyatnya, bukan dawlah jibâyah (negara pemalak). Ini berbeda dengan negara sekular atau negara kapitalis, yang dikenal sebagai dawlah jibâyah (negara pemalak). Mengapa? Karena seluruh beban penyelenggaraan negara harus ditanggung oleh rakyat, melalui skema pajak. Kalau tidak cukup, dengan utang, dan itu pun pembayarannya harus ditanggung oleh rakyat juga. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*