HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Somalia: Babak Baru Perang Amerika Terhadap Terorisme

Kunjungan Menlu AS Hillary Clinton ke Afrika dan pertemuannya dengan Presiden Somalia Sheikh Sharif Ahmed mengingatkan kembali pada ketidakstabilan Somalia, yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terparah di Afrika saat ini. Kelompok pemberi bantuan meyakini bahwa sepertiga warga negeri itu atau sekitar 4 juta orang memerlukan bantuan pangan.

Seperti yang terjadi di Pakistan dan Afghanistan, AS berniat menggunakan Perang Melawan Terorisme sebagai alasan mudah untuk melaksanakan kebijakan luar negerinya. Somalia yang telah mengalami kekacauan selama lebih dari dua dekade mulai menikmati masa damai di penghujung 2006 sampai agen AS Ethiopia memutuskan untuk menginvasi Somalia dan mengusir Dewan Pengadilan Tinggi Islam atau Supreme Islamic Courts Council (SICC), yang menyebabkan mengungsinya 1 juta warga untuk menghindari pertempuran.

Namun demikian, AS masih saja mengancam negara seperti Eritrea dan siapapun yang melawan pemerintah transisi Somalia dengan meningkatkan aktivitas di wilayah Tanduk Afrika ini, yang berjalan bersamaan dengan operasi militer di Afganistan dan Pakistan. Sebagaimana diperkirakan sebelumnya, kebijakan luar negeri AS tidak berubah secara substansial sejak penggantian presiden AS pada tahun 2009.


Mitos

Ada mitos besar yang menyelimuti Somalia, yaitu bahwa Somalia adalah negara yang gagal secara alami dan selalu menderita perang saudara antara para penguasa suku lokal, faksi sekular dan faksi Islam; dan kini antara faksi Islam moderat yang dipimpin Sharif dan Islam radikal yang dipimpin kelompok Al-Shabab. Meskipun sekilas tampak benar, adanya intervensi AS dan sekutunya terutama Ethiopia juga perlu diperhatikan. Dengan dana yang mengalir dari pemerintahan Bush pada tahun 2006, tentara Ethiopia membantai warga sipil, melakukan tindak kejahatan perang dan didukung oleh serangan AS dengan alasan adanya ancaman SICC yang merupakan tonggak terorisme.

Ini semua terjadi meskipun SICC telah berhasil membawa kestabilan di Somalia. Sejak secara resmi mundur dari Somalia pada bulan Januari 2009, pasukan Ethiopia masih bercokol di Somalia untuk melindungi kepentingan asing Barat. Keberadaan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika juga melakukan tugas untuk menjaga kepentingan Barat di sana.

Meskipun di atas kertas Sheikh Sharif adalah presiden Somalia, kekuasaannya tidak melebihi luas kamar rumahnya sendiri karena pasukannya tidak mengontrol wilayah negerinya sendiri. Sharif juga telah terasing hampir 2 tahun (sebagian waktu di antaranya ia habiskan untuk diinterogasi oleh Kedutaan AS di Kenya), sebelum ia menjadi presiden di Somalia (dimana ia tidak memiliki dukungan kuat secara politik maupun kekuasaan yang sesungguhnya).

Lebih jauh lagi, pemilihan dirinya pun dilakukan di negeri tetangga, Djibouti, karena terlalu berbahaya untuk dilakukan di Somalia. Pertemuan Sharif dengan Clinton juga terjadi di luar Somalia, suatu hal yang menunjukkan betapa berbahayanya Somalia bagi Menlu Clinton. Sharif sebagai bekas ketua sayap politik SICC kini didukung oleh Ethiopia dan Amerika, yang menggunakannya sebagai agen untuk membendung kekuatan Islam yang mulai meningkat. Dukungan Clinton terhadap Sharif secara terang-terangan terhadap pemerintahan transisi menunjukkan usaha memperkuat kubu politik Sharif sambil terus memasok milisi yang mendukungnya melalui pengiriman senjata melalui Ethiopia. Di samping terus mendukung Sharif untuk melawan ekstrimisme, AS juga terus melindungi kepentingan jangka panjang untuk menempatkan kekuatan militernya di Afrika melalui pembentukan pusat komando yang disebut AFRICOM.

Ditujukan untuk memenuhi posisi Afrika sebagai wilayah strategis bagi AS, AFRICOM telah mengkonsolidasi seluruh Afrika, kecuali Mesir, dalam satu pusat komando wilayah militer (dimana sebelumnya terbagi menjadi tiga). AFRICOM memulai operasinya pada bulan Oktober 2008 dan bertujuan untuk memiliki pusat operasi di Afrika, namun Washington belum berhasil meyakinkan sekutunya untuk menentukan posisi markasnya.

Kepentingan strategis AS saat ini menurut lembaga Stratfor adalah: mendukung keamanan maritim dan kestabilan negeri penghasil minyak di wilayah Teluk Guinea dimana Nigeria memiliki pengaruh; menghalau bajak laut dari Tanduk Afrika; menghapus persembunyian organisasi teroris internasional; menghentikan penyebaran paham ‘Islam radikal’ di Tanduk Afrika dan sepanjang Afrika Utara.


Memperebutkan Afrika

Kepentingan-kepentingan tersebut terlihat menonjol dengan kedatangan Presiden Obama dan Menlu AS ke Afrika dalam beberapa bulan saja sejak menggantikan Presiden Bush. AS juga sangat mengkhawatirkan pengaruh Cina di Afrika yang semakin kuat. Didorong oleh kebutuhan mineral dan energi, Cina melakukan banyak bisnis di sana yang semakin menyaingi AS di benua Afrika. Salah satu kritik terhadap Bush bahwa dia terlalu terobsesi dengan Irak sehingga melupakan Afrika. Kekhawatiran terhadap minyak, sumber energi, pengaruh Cina dan jalur laut akan selalu menjadi prioritas AS.

Namun kini, AS juga mulai memperhitung-kan ancaman ideologi Islam yang menguat di Tanduk Afrika yang memiliki gejala untuk menyatu dengan Timur Tengah. Banyak analis Pentagon secara terbuka menyatakan adanya migrasi kaum ekstremis dari Afganistan dan Pakistan ke negara seperti Somalia dan Yaman. Karena itu, jelas bahwa Washington akan memperluas perang yang kini berkobar di Asia Selatan ke wilayah Afrika dengan alasan keamanan negara dan melenyapkan terorisme. Dengan demikian, Somalia dan Afrika menjadi sasaran keinginan AS untuk mengendalikan sumber alam dunia.

Disamping itu, ketakutan akan kembalinya Khilafah yang terbentang dari Asia hingga Tanduk Afrika membuat pembuat kebijakan AS kehilangan tidur. Itu pula sebabnya, mengapa kebijakan AS sangat bernuansa militer. Pandangan seperti ini bukanlah sekadar paranoid karena terlihat dari agenda AFRICOM dan juga sesuai dengan survey yang dilakukan oleh Universitas Maryland yang menunjukkan bahwa mayoritas warga Muslim mendukung tegaknya Khilafah di Dunia Islam, dan ini tinggal masalah waktu saja yang bisa terjadi kapan saja.

Bukanlah suatu kebetulan bahwa Nigeria dan Angola sebagai negeri eksportir minyak terbesar dari Afrika adalah sahabat AS terbaik ketika AS sedang mencari alternatif sumber energi, di samping Timur Tengah yang rawan dengan pergolakan. Afrika kini menjadi sasaran bagi kekuatan adidaya seperti AS, Cina dan Eropa untuk memperebutkan sumber alam, sebagaimana apa yang terjadi di masa kolonial dulu.

Penyelesaian kekacauan di Somalia ataupun di seluruh negeri Muslim memerlukan tujuan yang lebih menyeluruh. Kekerasan terhadap umat Islam harus ditolak karena perang antar sesama Muslim adalah yang diinginkan musuh Islam. Inilah rencana AS untuk memecah-belah Afganistan dan Pakistan, sebagaimana rencana AS di Somalia dengan mendukung Sharif melawan Al-Shahab untuk memastikan bahwa setiap perlawanan terhadap AS akan dibasmi.

Walhasil, hanya usaha yang konstruktif dan terkoordinasi untuk membangun kembali Khilafah yang akan mampu untuk menyelesaikan masalah ini. Perubahan yang komprehensif dan mendasar terhadap sistem konstitusi dan peradilan sekarang dengan sistem Khilafah Islam yang akan memperbaiki situasi negeri seperti Somalia. [Rusydan; Khilafah.com]

Tambahan point penting:

Poin Penting Krisis Somalia

1. Somalia sebagaimana mayoritas negeri Muslim lainnya sedang diduduki oleh kekuatan asing sejak mendaratnya Napoleon di Mesir pada tahun 1799. Negara penjajah selalu memiliki alasan mengapa mereka menduduki wilayah Muslim, seperti menyerang Khilafah Utsmani, melakukan perdagangan, menghentikan upaya nasionalisasi, tindakan terhadap pemerintahan boneka yang sudah tidak berguna lagi, pemusnahan senjata massal dan berbagai macam alasan lain yang penuh dengan kebohongan yang tidak berakhir.

2. Ditambah dengan situasi adanya isu bajak laut dan ekstremisme yang justru menurut kalangan kritis di Barat akan menjadi tambah parah apabila penderitaan di Somalia tetap berlangsung.

3. Harus ada penarikan tentara asing dari Somalia dan wilayah sekitarnya sesegera mungkin. Keberadaan pasukan asing dan pengaruhnya justru memperkeruh keadaan.

4. Pemisahan wilayah Somalia berdasarkan garis wilayah suku tertentu seperti di Irak harus ditolak.

5. Meskipun kekerasan di Somalia bersifat kronis, ini bukan merupakan perang saudara antara al-Shahab melawan pemerintahan transisi sebagaimana disimpulkan oleh beberapa pihak. Banyak sekali konflik di Somalia yang melibatkan negara asing dan pasukan perdamaian Uni Afrika.

6. Sangat jelas bahwa tidak ada pemberdayaan ekonomi bagi warga Somalia dan suku-suku yang saling berperang dan bajak laut harus diberangus.

7. Keterlibatan AS di Somalia tidak bisa dipisahkan dari strategi besar AS di Timur Tengah dan Asia Selatan. Pendudukan Irak dan Afganistan kini memburuk dengan bertambahnya serangan roket, perang agen dan operasi rahasia. Jelas bahwa strategi AS adalah memperlemah keadaan negara-negara Muslim yang penting di dunia Islam. [FW]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*