Pengantar
Dalam negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tidak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan.
Islam tidak mengakui sekularisme. Agama dalam negara Khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu Muslim, tetapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Telaah ini akan mengkaji kitab Muqaddimah ad-Dustûr (2009) karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yang menjelaskan 2 (dua) peran agama—khususnya akidah Islam—dalam Negara Khilafah, yaitu sebagai dasar negara dan sumber dari segala undang-undang.
Dua peran penting akidah Islam ini termaktub dalam Rancangan UUD Negara Khilafah (Masyrû’ Dustûr) pasal 1 yang berbunyi: Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar’i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan harus terpancar dari akidah Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 5).
Akidah Islam: Dasar Negara
Akidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir serta Qadha dan Qadar baik buruknya dari Allah SWT (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, I/29). Akidah Islam ini berpangkal pada dua kalimah syahadat, yaitu kesaksian Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh.
Adapun pengertian negara (dawlah) adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6).
Maka dari itu, jika dikatakan akidah Islam adalah dasar negara Khilafah, artinya segala pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak boleh lepas dari al-Quran dan as-Sunnah. Tidak boleh ada satu pun konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) ataupun keyakinan (qanâ’ât) yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi segala hal yang menyangkut institusi negara (kiyân ad-dawlah), perangkat negara (jihâz ad-dawlah) dan pengawasan terhadap negara (muhâsabah ad-dawlah) tidak boleh didasarkan pada konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) ataupun keyakinan (qanâ’ât) yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Contoh: Institusi negara Khilafah tidak boleh didasarkan pada konsep (mafâhîm) demokrasi. Sebab, demokrasi tidak lahir dari al-Quran dan as-Sunnah. Jadi, tidak boleh menyebut bentuk negara Khilafah sebagai republik atau republik Islam. Sebab, bentuk republik didasarkan pada konsep demokrasi yang amat bertentangan dengan Islam. Pertentangannya bukan karena demokrasi menetapkan kekuasaan sebagai hak rakyat, melainkan karena demokrasi memberikan hak menetapkan hukum kepada manusia. Ini bertentangan dengan akidah Islam yang menegaskan hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS al-An’am [6]: 57).
Contoh lain: Institusi negara Khilafah tidak boleh berupa negara-bangsa (nation state). Sebab, negara-bangsa didasarkan pada konsep nasionalisme (qawmiyah) yang tidak bersumber dari dari al-Quran dan as-Sunnah. Negara-bangsa memandang bahwa unit identitas yang menjadi basis legitimasi berdirinya negara adalah identitas sebagai “bangsa”. Maka dari itu, negara-bangsa tidak mendapat legitimasi kalau didirikan oleh orang-orang yang multibangsa atau transnasional. Ini berbeda dengan negara Khilafah yang basis legitimasinya adalah “umat”, bukan “bangsa”. Karena itu, negara Khilafah dapat eksis dan mendapat legitimasi meski didirikan oleh orang-orang multi-bangsa, selama mereka adalah “umat” yang satu yang diikat oleh akidah Islam yang satu.
Pertanyaannya, mengapa dasar negara Khilafah harus akidah Islam? Imam Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan 3 (tiga) dalil untuk itu. Pertama: karena Rasulullah saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah (pasca hijrah tahun 622 M) berdasarkan akidah Islam. Rasulullah saw. menegakkan Daulah Islamiyah berdasarkan sesuatu yang mendasar, yakni kalimah syahadat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Syahadat inilah yang mendasari kehidupan umat Islam saat itu, baik menyangkut kekuasaan, penyelesaian sengketa dan tindak penzaliman, maupun pengaturan berbagai interaksi kehidupan. Ringkasnya, syahadat adalah dasar negara.
Kedua: karena Rasulullah saw. telah mensyariatkan dan mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat syahadat itu kepada seluruh umat manusia. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi akidah Islam sebagai pondasi atau asas kehidupan bermasyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah…” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga: karena Rasulullah saw. telah memerintahkan perang (qitâl) demi menjaga posisi akidah Islam agar tetap menjadi dasar negara. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., Rasulullah saw. telah mewajibkan umat Islam menaati Imam/Khalifah serta melarang mereka memerangi Imam/Khalifah, kecuali, “kalau kalian melihat kekufuran yang nyata.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Atas dasar ketiga dalil inilah, ditetapkan bahwa akidah Islam adalah dasar negara (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).
Akidah Islam: Sumber Hukum
Akidah Islam adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dalam negara Khilafah. Undang-Undang Dasar (dustûr, constitution) ataupun berbagai macam undang-undang (qânûn, act/law) harus bersumber dari akidah Islam. Maksudnya, harus bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah dan sumber-sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, yaitu Ijmak Sahabat dan Qiyas. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).
Mengapa segala undang-undang wajib bersumber dari akidah Islam? Imam Taqiyuddin menerangkan banyak dalil. Dua dalil terpenting adalah: Pertama, karena ada dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berhukum pada hukum yang diturunkan Allah (QS an-Nisa’ [4]: 65; QS al-Maidah [5]: 48). Kedua, karena ada dalil yang melarang tegas berhukum dengan selain hukum Allah (QS al-Maidah [5]: 44).
Imam an-Nabhani menerangkan tafsir ayat tersebut; apabila seorang Muslim menerapkan selain hukum Allah, ia menjadi kafir (murtad) jika ia ber-i’tiqâd (berkeyakinan secara pasti) akan benarnya hukum itu dan ber-i’tiqâd pula bahwa hukum Islam tidak layak diterapkan. Jika Muslim tersebut tidak ber-i’tiqad seperti itu, ia tidak murtad, tetapi tetap berdosa. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 8).
Keunggulan Pasal Ini
Pasal yang diterangkan maknanya di atas akan tampak keunggulannya jika kita bandingkan dengan berbagai UUD lain yang membicarakan tema sejenis, yakni dasar negara atau sumber undang-undang. Selain kedetilan dan ketelitian redaksionalnya, kejelasan dalil-dalil yang mendasarinya juga membuat kita mengerti dengan baik bagaimana mengaplikasikan pasal ini dalam kenyataan nanti.
Pasal semacam ini sebenarnya ada juga dalam berbagai UUD di berbagai negara Dunia Islam. Pada pasal 12 UUD Iran, misalnya, ditetapkan, “Agama resmi negara Iran adalah Islam….” (The official religion of Iran is Islam…). Pasal semacam ini ada juga dalam UUD di Mesir, Irak, Yordania dan sebagainya. Semestinya, pasal ini diaplikasikan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, yakni dengan menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali.
Namun faktanya, pasal tersebut tidak begitu bermakna dalam kehidupan nyata. Dalam praktiknya, pasal ini hanya diterapkan dalam bentuk penetapan hari Jumat sebagai hari libur, pengumuman Idul Fitri dan Idul Adha, pengelolaan ibadah haji dan semisalnya. Islam tidak diterapkan secara konsisten dalam sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya. Iran sendiri, sebagai contoh, tidak menjadikan Islam sebagai dasar sistem pemerintahan. Iran masih mengadopsi bentuk pemerintahan versi penjajah, yaitu republik. Dalam pasal 1 UUD disebutkan, “Bentuk pemerintahan Iran adalah republik Islam.” (The form of government of Iran is that of an Islamic Republic). Jadi, negara Iran itu agama resminya Islam, tetapi bentuk pemerintahannya adalah versi penjajah.
Contoh lain, Kerajaan Arab Saudi. Mungkin orang mengira Arab Saudi adalah negara tauhid, negara salafus salih, yang menjalankan syariah Islam dengan baik. Semua klaim ini dibantah habis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi dalam kitabnya, Al-Kawâsyif al-Jâliyyah fî Kufr Dawlah as-Su’ûdiyah (2005).
Dalam kitab ini, beliau menunjukkan banyak undang-undang Arab Saudi yang merupakan hukum thâghût. Menurut Syaikh al-Maqdisi, penguasa Saudi telah membuat hukum atau berhukum dengan selain syariah Islam baik dalam ruang lingkup lokal, atau di kawasan Teluk (Dewan Kerjasama Teluk), atau di kawasan Arab (Liga Arab), atau lingkup internasional (PBB dan berbagai lembaganya) (hlm. 193). Arab Saudi juga melegitimasi bunga bank (riba) ketika ia berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan minyak kawasan Arab atau Bank Dunia (IBRD) (hlm. 220). Jadi, Arab Saudi merupakan negara yang mengaku berasaskan tauhid, tetapi sebenarnya memberlakukan hukum-hukum thâghût dan jahiliah yang jauh dari tauhid.
Inilah contoh bentuk kegagalan pengaturan negara akibat tidak adanya kejelasan bagaimana meletakkan Islam sebagai dasar negara dan sumber undang-undang. Wallâhu a’lam. []
Daftar Bacaan
Al-Badrani, Hisyam, Ad-Dustûr bayna al-Islâmiyah wa al-Lâ-Islâmiyyah, (t.t.p.: t.p), 2003.
Al-Kharbuthli, Ali Hasani, Al-Islâm wa al-Khilâfah, (Beirut: Dar Beirut), 1969.
Al-Marakibi, Jamal Ahmad As-Sayyid, Al-Khilâfah al-Islâmiyah bayna Nuzhum al-Hukm Al-Mu’âshirah, (Kairo: Kulliyah Al-Huquq Jami’ah Al-Qahirah), 1414 H Aqidah tauhid asas negara, 134.
Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah (Al-Kawâsyif al-Jâliyyah fî Kufr Dawlah as-Su’udiyah), Penerjemah Abu Sulaiman, (Solo: Jazera), 2005.
Al-Maududi, Abul A’la, The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publications Ltd), t.t.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz I, (Beirut: Darul Ummah), 2003.
—————, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Hawari, Muhammad, ‘Isyrûna Nadwah fî Syarh wa Munâqasyah Masyrû’ Tathbîq al-Islâm fî al-Hayâh (t.t.p. : t.p), 2002.
Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyrû’ ad-Dustûr al-Irâni (t.tp.: Hizbut Tahrir), 1979.
—————, Naqdh Masyrû’ Dustûr Jumhûriyyah as-Sudan Sanah 1998, (t.t.p : Hizbut Tahrir), 1998.
“Islamic Republic of Iran Constitution,” http://www.iranonline.com