Beberapa intelektual atau peneliti di dalam maupun luar negeri seperti Zeyno Baran dari The Nixon Centre atau Ariel Cohen, peneliti The Heritage Institute, alumni Bar Ilan University Law School di Tel Aviv, tak henti selalu mencoba mengaitkan HT dengan kegiatan terorisme. Ini jelas merupakan upaya jahat guna menciptakan stigma negatif terhadap gerakan Islam untuk melunturkan kekuatan perjuangan.
Pada Desember 2004, The Nixon Center, sebuah lembaga penelitian nirlaba di Amerika Serikat yang didirikan oleh mantan Presiden AS Richard Nixon, misalnya, merilis buku berjudul Hizb at-Tahrir: Islam’s Political Insurgency karya Zeyno Baran. Sebagai penulis, Baran mengatakan, tujuan dari bukunya ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang sebuah kelompok yang berada di garis depan dalam pemikiran Islam radikal. Menurutnya, perang melawan terorisme bukanlah perang yang sesungguhnya; perang sesungguhnya adalah perang ideologi. “Terorisme sendiri hanyalah alat; kita harus melihat tujuan politis yang menggunakannya,” tulisnya.
Nafsu untuk mengaitkan HT dengan terorisme sangat dominan dalam tulisan Baran ini. Seperti yang ditulisnya sendiri, menghancurkan citra HT sebagai gerakan non violance (tanpa kekerasan) adalah first step (langkah pertama) yang penting. Tidak aneh, kalau Baran menggunakan logika yang dangkal dan terkesan dipaksakan untuk mengaitkan HT dengan kekerasan. Menyadari garis perjuangan HT dalam menegakkan Khilafah memang tidak menggunakan kekerasan, Baran mencari-cari alasan agar HT tetap dikaitkan dengan kekerasan. Hal ini tampak dari argumentasinya yang menempatkan HT dalam posisi bukan pelaku langsung kekerasaan, tetapi “memberikan landasan ideologis, memberikan inspirasi dan menumbuhsuburkan tindakan terorisme.”
Baran membangun argumentasinya dengan suatu asumsi: Kekerasan adalah alat yang digunakan oleh Islamis radikal dalam “perang pemikiran” yang lebih luas melawan demokrasi liberal Barat. Namun sayang, asumsi ini tidak dibangun atas atas dasar argumentasi yang logis. Kegagalan awal dari asumsi ini adalah tidak adanya kejelasan definisi apa yang dimaksud oleh Baran dengan Islamis radikal itu. Kalau HT masuk dalam kelompok radikal, dan kelompok radikal diartikan sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan, asumsi ini menjadi rontok, karena HT sudah jelas-jelas menyebutkan tidak menggunakan kekerasan dalam perjuangannya.
Baran gagal mencari satu pun dari buku-buku sah HT (mutabbanât) yang menyatakan perjuangan penegakan Khilafah oleh HT ditempuh dengan menggunakan kekerasan. Sekarang, perhatikan argumentasi Baran berikut ini:
“HT selalu menolak kekerasan. Namun, kelompok-kelompok lain yang mempunyai tujuan sama tetapi menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan itu tidak pernah dikutuk oleh HT. HT tidak pernah mencela serangan teroris. HT aktif melakukan pembinaan ideologi kaum Muslim, sementara organisasi-organisasi lain menangani perencanaan dan pengeksekusian serangan teroris. Meskipun menolak deskripsi ini, sekarang ini secara de facto HT merupakan perantara (belt conveyor) bagi teroris.” (http://hizb-indonesia.info/2008/07/06/hizbut-tahrir-ancaman-global/ – _edn1).
Baran menuduh HT tidak berkomentar terhadap berbagai serangan bom yang ada di dunia ini. Baran keliru. HT Inggris, misalnya, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi bom di London baru-baru ini. HT Inggris juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan aksi bom di Madrid yang menewaskan rakyat sipil. Di Indonesia, HT Indonesia mengeluarkan banyak siaran pers yang menolak pembunuhan siapapun tanpa alasan yang dibenarkan syariah dan penghancuran fasilitas umum saat terjadinya berbagai aksi bom di Indonesia. Hal ini bisa dilihat di berbagai website resmi HT.
Tuduhan terhadap HT sebagai pengemban ideologi perantara atau pemberi inspirasi bagi tindakan terorisme juga sangat lemah. Tidak ada uraian yang jelas dan detail, pandangan ideologi mana dari HT yang melegalkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya menegakkan Khilafah dan syariah. Kalau dikatakan memberikan inspirasi, ini juga jelas sangat kabur. Kalau setiap yang memberikan inspirasi disebut teroris, mestinya AS-lah yang paling layak disebut teroris karena sangat banyak aksi kekerasan merupakan reaksi dari kebijakan AS yang menindas di Dunia Islam. Artinya, AS bisa dianggap telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan terhadap Amerika seperti yang terjadi di Irak saat ini. Bukankah perlakuan kejam tentara AS di Penjara Guantanamo dan pembunuhan oleh tentara AS terhadap rakyat sipil di Irak, Afganistan dan lainnya adalah di antara faktor yang menimbulkan perlawanan terhadap AS?
Tidak hanya di luar negeri, upaya pengaitan HT dengan terorisme juga dilakukan di dalam negeri. Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono dalam wawancara dengan TVOne (29/7/2009) berusaha mengaitkan terorisme dengan apa yang dia sebut sebagai wahabi radikal. Menurutnya, wahabi radikal merupakan lingkungan yang cocok (habitat) bagi terorisme. Hendropriyono lantas menyebut keterkaitan wahabi radikal dengan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.
++++
Semua tudingan itu tentu tidak benar. Hizbut Tahrir, dengan tetap menegaskan tentang kewajiban jihad untuk mengusir penjajah Barat dari negeri-negeri Muslim seperti Irak dan Afganistan serta Palestina, dan keutamaan mati syahid, telah menyatakan bahwa garis perjuangannya tidaklah dengan menggunakan kekerasaan/angkat senjata (non violence). Hal ini bisa dilihat secara terbuka dalam buku-buku rujukan HT seperti kitab Ta’rîf (Mengenal HT) atau Manhaj Hizb at-Tahrîr fî Taghyîr (Strategi Hizbut Tahrir untuk Perubahan). Hizbut Tahrir dalam hal ini berkeyakinan, bahwa jalan menuju cita-cita harus dimulai dari perubahan pemikiran, serta menyakini bahwa masyarakat tidak dapat dipaksa untuk berubah dengan kekerasan dan teror. Karena itu, garis perjuangan Hizbut Tahrir sejak berdiri hingga seterusnya adalah tetap, yaitu bersifat fikriyah (pemikiran), siyâsiyah (politik) dan wa la ‘unfiyyah (non-kekerasan).
Prinsip ini dibuktikan di sepanjang aktivitasnya lebih dari 50 tahun sejak berdiri, HT tidak pernah sekalipun tercatat menggunakan kekerasan meskipun banyak penguasa yang bersikap represif terhadapnya. Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, 17 Mei 2005, Craig Murray, mantan Duta Besar Inggris untuk Uzbekistan, mengatakan, “Hizbut Tahrir merupakan organisasi yang betul-betul tanpa kekerasan.”
Soal penolakan HT terhadap kekerasan juga diakui oleh Jean-Francois Mayer, seorang penulis asal Switzerland dan sekaligus pengamat aliran-aliran agama modern, dalam makalah berjudul, “Akankah Hizbut Tahrir Menjadi al-Qaeda di Masa Mendatang?”, yang di publikasikan pada 08/09/2003 M, melalui kantor berita Roozbalt. Di situ ia menulis, “Dapat ditegaskan bahwa Hizbut Tahrir bukanlah gerakan perdamaian. Akan tetapi, pada fase ini Hizbut Tahrir tidak menggunakan kekerasan dalam berbagai aktivitasnya meskipun kritiknya dan seruannya sangat ekstrem. Sungguh amat mengherankan, banyak anggotanya yang benar-benar dapat mengontrol emosinya meskipun tekanan semakin bertambah.”
++++
Jadi, apakah HTI termasuk kelompok teroris? Ketika hal itu ditanyakan Jubir HTI langsung kepada Irjen Pol. Ansyaad Mbai, Kepala Desk Antiteroris Menkopolhukam, saat bersama menjadi pembicara Seminar Nasional tentang terorisme yang diselenggarakan oleh Cides di Hotel Sahid pada 22 Oktober lalu, dijawab tegas, “Tidak!” Jawaban serupa juga meluncur dari mulut Komjen Pol. Yusuf Manggabarani, Irwasum Mabes Polri, yang bertemu Jubir HTI pada acara buka bersama di Mabes Polri bulan Ramadhan lalu, bahwa HTI bukan termasuk kelompok teroris.
Jadi, pasti sia-sialah usaha Zeyno Baran, Ariel Cohen dan para intelektual provokator lain yang mencoba mengail di air keruh. Mereka pasti tidak mendapatkan apa-apa kecuali membuat air bertambah keruh. Sesungguhnya merekalah the real intellectual-terrorist atau teroris intelektual yang sebenarnya. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]