Sejumlah umat Islam baik secara perorangan maupun kelompok mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok Islam moderat. Mereka mengklaim mengambil jalan tengah dari dua kutub ekstrem pemikiran dan pengamalan Islam, yaitu kelompok fundamentalis dan kelompok liberal. Pada perkembangannya, Islam moderat lebih banyak dikonfrontasikan dengan Islam fundamentalis; sebuah kelompok yang dicirikan memiliki pandangan politik dan keagamaan Islam yang ekstrem—di antaranya adalah upaya untuk menegakan Khilafah sebagai satu-satunya sistem politik yang absah.1
Sikap moderat atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa Abad Pencerahan di Eropa. Sebagaimana diketahui, konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik.2
Karakteristik
Para pemikir Barat secara umum memiliki kriteria yang hampir seragam tentang Muslim yang dikategorikan moderat. Daniel Pipes, misalnya, mengungkap sejumlah karakter Muslim moderat, antara lain: mengakui adanya persamaan hak-hak sipil antara Muslim dan non-Muslim; membolehkan seorang Muslim berpindah agama; membolehkan wanita Muslim menikahi pria non-Muslim; menerima dan setia pada hukum pemerintahan non-Muslim; berpihak pada hukum sekular ketika terdapat pertentangan dengan budaya Islam.3
John Esposito menyatakan perbedaan signifikan antara radikal dan Muslim moderat adalah kelompok radikal merasa bahwa Barat mengancam mereka dan berupaya mengontrol pandangan hidup mereka. Sebaliknya, kelompok moderat sangat bersemangat membangun hubungan dengan Barat melalui pembangunan ekonomi. 4
Robert Spencer, analis Islam terkemuka di AS, juga menyebut kriteria seseorang yang dianggap sebagai Muslim moderat antara lain: menolak pemberlakuan hukum Islam kepada non-Muslim; meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam; menolak kewajiban untuk menarik pajak berdasarkan agama (jizyah) terhadap non-Muslim (QS 9:29); menolak supremasi Islam atas agama lain, termasuk perintah untuk memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani hingga mereka tunduk (QS 9:2); menolak aturan bahwa seorang Muslim yang beralih pada agama lain atau tidak beragama harus dibunuh; mendorong kaum Muslim untuk menghilangkan larangan nikah beda agama, termasuk sanksi yang membolehkan suami memukul istri (QS 4: 34).5
Menjadi Alat
Muslim moderat sendiri bagi sejumlah pemikir Barat dipandang sangat cocok untuk hidup damai dengan seluruh orang di dunia. Sebaliknya, Muslim radikal sangat berbahaya karena bermaksud menyingkirkan Barat dan memperoleh kembali kejayaan Islam yang telah hilang.6
Oleh karena itu, pemerintah Barat dituntut untuk mengembangkan berbagai strategi untuk melindungi kelompok moderat dan melakukan tindakan persuasif terhadap mereka yang mengancam pemerintahan Barat.7 Bahkan jika perlu mereka dapat menempuh berbagai cara, antara lain: menggunakan sarana militer dan politik untuk mengalahkan kelompok radikal demi mengamankan kepentingan mereka; membantu kelompok moderat untuk mereformasi akidah dan syariah Islam; mengisolasi kelompok ekstremis serta membangun komunitas Muslim yang dapat menjadi komonitas dunia yang demokratis. 8
Sejumlah strategi pun disusun untuk memberdayakan kelompok moderat agar mengubah Dunia Islam sehingga sesuai dengan demokrasi dan tatanan internasional. Strategi tersebut antara lain: mempublikasikan pemikiran mereka di media massa; mengkritik berbagai pandangan Islam fundamentalis; memasukkan pandangan mereka ke dalam kurikulum serta mengentalkan kesadaran budaya dan sejarah mereka yang non Islam dan pra Islam ketimbang Islam sendiri.9
Meski demikian, sejumlah analis Barat mengakui sejumlah kebijakan pemerintah AS tidak hanya berupaya mendukung kelompok-kolompok moderat, namum juga yang dianggap radikal baik dengan pendidikan, uang maupun legitimasi kekuasaan. Dengan kekuasaan, misalnya, diharapkan mereka menjadi lebih moderat dan lebih sibuk untuk mengurus jalan berlubang ketimbang memerangi negara-negara Barat.10
Argumentasi
Sayang, alih-alih menentang gagasan Islam moderat, sebagian kaum Muslim justru menganggap ide tersebut sejalan dengan Islam. Mereka berpandangan bahwa pemahaman dan praktik Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam. Meski demikian, mereka juga tidak menginginkan adanya kebebasan yang melampaui demarkasi terluar agama Islam. Oleh karena itu, sikap jalan tengah merupakan posisi yang paling tepat.
Bangunan argumentasi ide ini berangkat dari logika akal, bahwa benda secara empirik memiliki dua kutub yang kontradiktif dan bagian tengah yang merupakan titik keseimbangan, keadilan dan keamanan dari dua kutubnya. Ini merupakan posisi yang paling baik. Ini pula yang dimiliki oleh Islam yang mengajarkan sikap moderat dalam segala hal: keyakian, syariat, ibadah, akhlak dan sebagainya.11
Lebih dari itu, mereka menggunakan sejumlah ayat di dalam al-Quran yang dipandang menyerukan untuk mengambil jalan tengah dalam berbagai hal. Salah satunya adalah firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
Demikianlah kami menjadikan kalian umat[an] wasath[an] (QS al-Baqarah [2]: 143).
Ayat ini di klaim telah memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang moderat. Kata wasath[an] pada ayat tersebut diartikan di tengah-tengah. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam beragama seperti yang dipraktikkan oleh orang-orang Yahudi. Sebaliknya, mereka juga tidak boleh terlalu bebas sebagaimana halnya orang-orang Nasrani.
Ayat lain yang juga dijadikan sebagai pijakan adalah firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
…dan orang-orang yang jika melakukan infak tidak berlebihan dan tidak kikir, namun ada di antaranya (QS al-Furqan [25]: 67)
Ayat ini telah membagi kategori orang dalam berinfak, yaitu orang kikir, boros dan yang moderat. Allah mencela sifat kikir dan boros dan memuji infak yang moderat.
Sanggahan
Menganalogikan gagasan Islam moderat dengan materi jelas batil. Ini karena obyek keduanya berbeda; satu benda, sementara yang lain adalah pemikiran. Ukuran penilaian keduanya jelas berbeda. Apalagi tidak semua bagian tengah suatu benda lebih baik daripada ujungnya. Ujung pulpen, misalnya, tentu lebih berguna dibandingkan dengan bagian tengahnya.
Sementara itu, penggunaan ayat di atas untuk menjustifikasi Islam moderat juga dipaksakan. Imam ath-Thabari, misalnya, mengartikan kata awsath dengan khiyâr, yakni yang terbaik dan pilihan.12 Karena itu, kata wasath pada ayat tersebut bermakna khiyâr.13 Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah Islam yang diberikan kepada mereka. Ibnu Katsir menyatakan, Allah telah menjadikan umat ini sebagai ummah wasath dengan memberikan keistimewaan pada mereka berupa syariah paling sempurna, manhaj paling lurus dan mazhab paling jelas.14
Status mulia itu dapat disandang manakala mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Ini juga sejalan dengan firman Allah SWT:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi munkar dan beriman kepada Allah (QS Ali Imran [3]: 110).
Wasath juga bermakna ‘adl (adil). Dengan demikian, umat ini adalah umat yang adil. Dalam Islam, sifat adil merupakan syarat kesaksian. Sebagaimana lanjutan ayat tersebut, umat Islam bersaksi pada Hari Kiamat nanti bahwa mereka telah menyampaikan Islam kepada mereka yang tidak beragama Islam.
Demikian pula halnya dengan surah al Furqan [25]: 67 di atas. Ayat tersebut sama sekali tidak mendorong adanya jalan tengah. Para mufassir memiliki penafsiran beragam—meski tidak bertentangan satu sama lain—tentang ayat tersebut (ikhtilâf tanawwu’). Jika dicermati, kesimpulannya sama: isrâf adalah membelanjakan harta dalam kemaksiatan kepada Allah, sementara kikir (iqtar) adalah sebaliknya, tidak membelanjakannya pada apa yang menjadi hak Allah.15
Oleh karena itu, membeli khamar dan melakukan penyuapan, misalnya, dikategorikan sebagai perbuatan isrâf. Sebaliknya, mengabaikan kewajiban untuk membayar zakat dan naik haji bagi yang mampu, menafkahi istri dan anak, merupakan perbuatan kikir. Sikap yang benar adalah selain keduanya, yaitu tidak membelanjakan harta pada hal-hal yang haram dan membelanjakannya pada hal-hal yang disyariatkan.
Mengebiri Islam
Jalan tengah seperti dicirikan di atas tampak jelas merupakan gagasan yang mengabaikan sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i, baik dari sisi redaksi (dalâlah) maupun sumbernya (tsubût), seperti: superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS Ali Imran [3]: 85); kewajiban berhukum dengan hukum syariah (QS al-Maidah [5]: 48); keharaman wanita Muslimah menikah dengan orang kafir (QS al-Mumtahanah [60]: 10); dan kewajiban negara memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (QS at-Taubah [9]: 29).
Rasulullah saw. dan para Sahabat serta generasi Islam setelahnya di bawah pemerintahan Islam telah mempraktikkan hal tersebut dan bahkan telah menjadi ma’lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah. Rasulullah saw., misalnya, telah melaksanakan puluhan peperangan untuk melawan orang-orang kafir; menarik jizyah dari ahludz-dzimmah; membunuh orang-orang yang murtad dari Islam; memotong tangan pencuri dan merajam mereka yang berzina.
Namun demikian, di sisi lain, meski Islam adalah agama yang unggul atas agama lain, bukan berarti mereka yang beragama Islam harus dipaksa untuk memeluk agama Islam. Bandingkan dengan sistem demokrasi yang diklaim menghargai perbedaan pendapat, namun berupaya memberangus pandangan kaum Muslim yang dianggap ekstrem.
Demikian pula dengan jizyah, meski dipungut dari orang-orang kafir yang merupakan kompensasi dari pilihan mereka untuk hidup di dalam naungan pemerintahan Islam, mereka diperlakukan sama dalam kehidupan publik tanpa ada diskriminasi. Bandingkan dengan pajak yang dibebankan pada seluruh warga negara meski ia terkategori miskin. Oleh karena itu, wajah pelaksanaan Islam hendaknya tidak dilihat sepotong-sepotong sehingga keindahannya dapat dinikmati dengan utuh.
Menimbang-nimbang ajaran Islam dengan mengambil yang menguntungkan dan menolak yang dianggap keras jelas bertentangan dengan sikap seorang Muslim yang digambarkan oleh al-Quran (QS Al-Ahzab [36]: 33).
Penetapan hukum dalam Islam semata-mata didasarkan pada nash-nash syariah dengan metode istinbâth yang sama sekali mengabaikan prinsip jalan tengah. Apapun hasil dari istinbâth tersebut menjadi hukum yang mengikat bagi seseorang dan diyakini pasti mengandung kemaslahatan. Ini karena diyakini bahwa Allah SWT merupakan zat yang paling mengetahui manusia beserta aturan yang layak baginya dibandingkan dengan manusia itu sendiri (QS al-Maidah 5]: 50; al-Isra’ [17]: 53).
Adapun pandangan Muslim moderat yang mengatakan bahwa penerapan hukum harus didasarkan pada maslahat (maqâshid syarî’ah), maka cukup dikemukakan bahwa istilah maqâshid syarî’ah yang digagas para ulama salaf tidak dapat diraih kecuali dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara paripurna. Dengan kata lain, ia merupakan konsekuensi dari penerapan hukum-hukum Islam,16 bukan dengan menggunakan timbangan akal untuk menentukan perbuatan yang dapat merealisasikan maksud-maksud syariah tersebut. Imam al-Ghazali, sebagaimana halnya Imam as-Syafii, bahkan telah mengingatkan, “Siapa saja yang telah membuat-buat maslahat maka ia telah membuat syariah.17”
Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti, bahwa Islam moderat merupakan pemahaman Islam yang tidak dikenal dalam Islam. Pemikiran ini justru berkembang pasca diruntuhkannya negara Khilafah dengan sokongan dari negara-negara Barat. Tujuannya tidak lain agar nilai-nilai dan praktik Islam, khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya, dapat dieliminasi dari kaum Muslim dan diganti dengan pemikiran dan budaya Barat. Dengan demikian, penjajahan atas kaum Muslim dapat tetap langgeng. Wallâhu a’lam bis-shawâb. [Muhammad Ishaq].
Catatan kaki:
1 Lieutenant Colonel Carmia L. Salcedo, Moderate Moslem: Myth or Reality? U.S. Army War College, 2007.
2 Muhammad Husain Abdullah, Mafâhim Islâmiyyah, vol.2, 18 (Beirut: Darul Ummah, 1996).
3 Lawrence Auster, “The Search for Moderate Islam,” January 28, 2005. www.frontpagemag.com.
4 John L. Esposito & Dalia Mogahed, “What makes a Muslim radical?” Source: Foreign Policy, November 2006, www.foreignpolicy.com.
5 Lihat Danel Pipes, “Finding Moderate Muslims – More Questions,” www.danielpipes.org.
6 Lawrence Auster, “The Search for Moderate Islam,” January 28, 2005. www.frontpagemag.com.
7 John L. Esposito & Dalia Mogahed, “What makes a Muslim radical?” www.foreignpolicy.com
8 Lawrence Auster, Ibid.
9 Cheryl Benard, Civil Democratic Islam, hlm. xi. (USA: Rand Corporation, 2005)
10 Steven A. Cook, “The Myth of Moderate Islam,” www.foreignpolicy.com.
11 Abdul Qadim Zallum, Mafâhim Khathirah li Dharbi al-Islâm (ttp: Hizbut Tahrir, 1998), 14
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 8.
13 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’ wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237.
15 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-’Adzhim, vol. 6, 123. al-Maktabah asy-Syamilah.
16 Mahmud Abdul Karim Hasan, Al-Mashâlih al-Mursalah, (Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, 1995), 37.
17 Al-Ghazali, Al-Musthashfa, vol. I, 245; dikutip dari Mahmud Abdul Karim Hasan, Ibid, 65.