Mengakhiri bulan Agustus hingga awal Oktober, pukat harimau tersangka pelaku teror di Tanah Air masih terus ditebar. Temanggung telah menjadi panggung dimana ’teroris’ dan ’terorisme’ tengah menjadi headline yang tak hentinya di-blow up. Media telah mencekoki umat manusia bahkan untuk suatu berita yang belum jelas kebenarannya. Seolah pikun secara berjamaah, media tak lagi menerapkan konsep dasarnya yakni menyajikan informasi secara berimbang (cover both side) dan overdosis.
Pergeseran terus bergulir hingga ’teror’ dan ’terorisme’ mengalami stigmatisasi terhadap elemen tertentu. Dalam upaya stigmatisasi ini, terorisme didekatkan kepada simbol-simbol yang menjadi bidikan. Pelaku teror diidentikkan dengan orang yang berjenggot, berpakaian koko dan istrinya bercadar. Bahkan ada suatu pemberitaan media yang entah itu pantas disebut berita atau tidak. Dengan suasana yang sengaja dibuat mencekam, para tersangka teror digambarkan tak hanya dengan simbol-simbol islam namun juga dikaitkan pada institusi mana dia berasal. Dari mana sekolahnya, seberapa sering mengikuti pengajian, pernah menyatakan kebencian pada Amerika ataukah tidak, dan sejenisnya. Bahkan anehnya, media merasa perlu untuk mendeteksi sang pelaku teror sebagai orang yang berjualan herbal sampai riwayatnya yang gemar melakukan outbond semasa hidupnya. Ini sebuah lelucon dan sangat tidak fair. Kita tak pernah melihat bahwa seorang koruptor ditanya dari almamater mana ia ditelurkan. Seorang penjahat kelas kakap sekalipun tak pernah diidentifikasi dari latar belakang yang remeh-temeh seperti itu. Ini sungguh penyesatan opini yang dilakukan secara massal.
Tidak sampai di situ, pelan tapi pasti, stigma teroris mulai memasuki dinding surau yang tabu. Mengetuk dunia anak dan remaja, dimana anak-anak yang polos ini ’ditakut-takuti’ akan dijadikan target para teroris untuk direkrut sebagai pengantin bom bunuh diri. Begitu mantap stigma itu digulirkan. Pada akhirnya, tak sedikit orangtua yang membatasi aktivitas anaknya dalam berbagai tajuk keorgansisasian Islam. Kalau pun ada, tentu dengan pengawasan ketat dan ditekankan agar tidak ’nyemplung’ total kepada aktivitas dakwah Islam. Aktivitas keislaman dibatasi hanya pada aspek ritual dan mengkerdilkan islam sebatas perbaikan moril individu semata. Simbol-simbol islam pun kerap dijauhi.
Karena itu, tak ada jalan lain kecuali melakukan perbaikan dengan opini tandingan. Tak berhenti pada skala individu, ormas Islam juga harus bersatu dalam membendung opini yang keliru seputar terorisme. Konsolidasi dan penguatan perjuangan menuju tegaknya dienullah merupakan bara api yang ditakuti oleh musuh Islam. Lantas sebuah penyesatan sistematis hanya akan tercerabut total dengan solusi mendasar yang juga bersifat sistematis. Tegaknya Khilafah islam merupakan agenda penting yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sekalipun perjuangan ini menghadapi halang rintang dan keterasingan pada awal permulaan, yakinlah, Allah akan memenangkan urusan agama-Nya. Wallâhu a’lam. [Dian Fadilah Hasibuan; Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi USU]