Setidaknya sampai tulisan ini dibuat, pertarungan antara cicak dan buaya atau KPK vs Kepolisian belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Masing-masing hingga kini saling serang, adu otot dan ketangkasan.
Ibarat buaya, meski bertubuh besar, dengan otot dan kekuatan yang luar biasa, Kepolisian, bersama dengan Kejaksaan, ternyata tidak mudah mengalahkan cicak. Pasalnya, cicak yang kecil itu banyak mendapat dukungan opini publik dan masyarakat, baik karena aspektasi masyarakat yang tinggi terhadap KPK, seiring dengan keinginan kuat mereka untuk bebas dari KKN, maupun pengalaman buruk mereka terhadap Kepolisian dan Kejaksaan. Sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat, jika mereka berususan dengan kedua lembaga penegak hukum ini, maka bukan keadilan yang mereka dapat, justru kezaliman. Bahkan ada ungkapan, jika Anda kehilangan kambing, lalu datang kepada mereka, maka Anda akan kehilangan sapi. Kedua lembaga ini dicap sebagai sarang korupsi yang hingga kini tidak bisa disentuh oleh KPK maupun BPK.
Di sisi lain, ibarat sirkus, pertarungan antara cicak dan buaya ini, selain menjadi tontotan menarik dan gratis bagi masyarakat, ternyata juga dinikmati oleh pemandu sirkus. Entah sengaja, ‘jaim’ (jaga image) atau karena faktor yang lain, sang pemandu sirkus dengan segala kekuasaan yang dimilikinya tidak juga segera menghentikan kasus tersebut. Wajar, jika ketua Tim 8 menyatakan, bahwa ada skenario untuk melemahkan KPK. Kesimpulan ini sebenarnya sejak lama sudah dilontarkan oleh banyak pihak. Lalu siapa yang mendesain dan menjalankan skenario tersebut? Tentu saja, semua pihak yang merasa terancam oleh sepak terjang KPK.
Masalahnya, dalam sistem dan birokrat yang korup seperti ini, membersihkan korupsi ibarat mengurai lingkaran setan. Sangat sulit. Apalagi ketika sistem dan birokrat yang ada masih tetap sama. Reformasi hanya mengubah orang, sementara sistem dan kultur birokratnya tidak berubah. Ada ungkapan, kalau dulu zaman Soeharto korupsi di belakang meja, setelah reformasi korupsi berlangsung di atas meja, sekarang malah mejanya dikorupsi. Ungkapan ini menggambarkan betapa parahnya praktik korupsi di negeri ini.
Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia memandang, bahwa korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Jika tidak, ia akan makin merusak sendi-sendi kehidupan negeri Muslim terbesar ini, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial dan akhlak. Beberapa langkah menurut syariah Islam yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi adalah:
1. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukupi nafkah keluarganya. Karena itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, namun setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
2. Larangan menerima suap dan hadiah. Rasulullah saw. berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
3. Perhitungan kekayaan. Semasa menjadi khalifah, Umar ra. menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Anehnya, cara ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
4. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika para pemimpin, terutama pemimpin tertinggi sebuah negara, lebih dulu bersih dari korupsi. Dengan keteladanan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, jika korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktik busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk jika ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawâjir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zîr berupa tasyhîr atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
6. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sebaliknya, masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Jika ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
Namun, korupsi sesungguhnya hanya merupakan buah dari sistem yang korup, yaitu sistem Kapitalisme, dengan akidah Sekularisme dan asas manfaatnya. Sistem ini mendorong orang menjadi berpandangan materialistik. Semua hal dihitung dan diletakkan dalam konteks materi serta untung dan rugi. Tidak aneh jika semua hal—jabatan, kewenangan, ijin, lisensi, keputusan hukum, kebijakan pemberitaan, peraturan perundang-undangan dan sebagainya—juga harus bisa dibuat agar memberikan keuntungan materi. Dari sinilah sesungguhnya hasrat korupsi itu timbul. Karena itu, jika benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekular-Kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem syariah yang secara pasti senantiasa akan mengaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, Zat Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar. Di sinilah relevansi yang utama dari seruan HTI: Selamatkan Indonesia dengan Syariah. Bersihkan Indonesia dari Sistem dan Birokrat yang korup!![]