Seorang lelaki berumur 45 tahun, Suwarno namanya, sedang berdiri melipat kedua tangan di dada seperti layaknya seorang Muslim yang berdiri dalam shalat. Kedua matanya terpejam rapat-rapat. Bibirnya komat-kamit. Anehnya, bukan surah al-Fatihah yang dibaca. Warga Dusun Ringin Putih, Desa Ringin Pitu, Kecamatan Kedung Waru, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur itu ternyata menggumamkan doa berbahasa Indonesia.
Ia hanya berdiri seperti itu. Tidak ada gerakan tangan atau tubuh lazimnya umat Islam bertakbir dalam shalatnya. Ternyata kiblatnya pun bukan Ka’bah di Makkah al-Mukaramah, tetapi dalam ibadahnya itu, Suwarno mengaku menghadap ke Gunung Carmel, Israel (Uka, Palestina). Pasalnya, ia kini bukan Muslim lagi, tetapi sudah beralih menjadi penganut Baha’i.
Menurut Sekretaris Desa Ringinpitu Karnu, penganut Baha’i di desanya setidaknya ada 40 orang, malah sekabupaten Tulungagung ada 157 orang. Karnu pun menyatakan, mereka semua tadinya beragama Islam. Namun, sejak tahun 1980-an, datanglah seseorang yang bernama H. Yusuf. Lalu satu-persatu warga Tulungagung murtad dan memeluk Baha’i.
Karnu mengaku pernah ditawari untuk menjadi pengikut Baha’i oleh Yusuf tatkala dirinya mulai belajar mengaji di salah satu pondok pesantren di Desa Tawangsari Kecamatan Kedungwaru. Sehari-hari orang menganggapnya sebagai Muslim karena huruf “H” di depan nama Yusuf diartikan sebagai haji. Apalagi, Yusuf juga mengajar ngaji.
Semula Karnu tidak tahu apa maksud pernyataan Yusuf yang akan menggebleng sendiri setiap santri yang telah khatam membaca al-Quran. Setelah 2 tahun belajar ngaji pada Yusuf, barulah ia tahu maksud terselubung Yusuf. “Saya baru sadar bahwa ternyata digembleng sendiri itu berarti dijadikan pengikut Baha’i,” papar Karnu.
Karena itu, mereka tidak lagi mempercayai adanya akhirat, tidak mau membayar zakat dan puasanya pun hanya 19 hari.
Itulah salah satu modus pemurtadan di tengah-tengah kaum Muslim yang mencuat ke media massa akhir Oktober lalu.
Selain itu masih banyak lagi bermunculan aliran aneh yang menyesatkan di negeri yang mayoritas Muslim ini, menyusul aliran sesat Ahmadiyah yang tidak kunjung dilarang Pemerintah.
Terkait dengan itu, Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib menyatakan, memang Islam tidak memaksa siapa saja untuk memeluk agama Islam. Namun, setelah seseorang memilih Islam sebagai agamanya, maka sejak saat itu ia terikat hukum Islam. Salah satu hukum tersebut adalah mengharamkan setiap Muslim keluar dari agama Islam dengan alasan apapun. Jadi, menurut Rokhmat, setiap orang yang murtad wajib didakwahi dalam waktu tertentu, misal 3 hari, agar segera bertobat. Jika dalam batas waktu tersebut tetap saja ia tidak mau bertobat maka negara wajib menghukum-nya dengan hukuman mati. Ketentuan ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), bunuhlah.” (HR al-Bukhari).
Belum lagi praktik kemusyrikan lain yang sudah dianggap biasa, seperti memberikan sesajen kepada arwah leluhur dan praktik perdukunan. Itu semua merupakan kemaksiatan di bidang akidah yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Namun, alih-alih Pemerintah memberantas-nya, malah menyanjung upacara sesajen itu sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Jadi, tidak aneh jika sering dijumpai pembangunan gedung atau jembatan masih didahului dengan upacara adat dengan sesaji kepala kerbau untuk ditanam di lokasi, bersamaan dengan peletakan batu pertama, yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi atau seorang publik figur.
Praktik perdukunan pun kini dikemas dalam format sms dan diiklankan dalam televisi. Ki Joko Bodo, misalnya, pada 2008 lalu menjanjikan akan mengubah nasib pemirsa televisi yang mengirim sms kepadanya. Benar saja, baru saja dua minggu diiklankan, seperti yang diungkap Detik.com, Ki Joko Bodo sudah menerima 70 ribu sms. Jika dari satu sms saja keuntungan yang didapatnya 1000 rupiah maka dalam dua minggu itu Ki Joko meraup untung 70 juta rupiah. Lantas siapa yang nasibnya berubah? Orang bodo (b. Sunda: bodoh) yang dibobodo (ditipu) atau Ki Joko Bodo?
Maraknya aliran sesat dan praktik kemusrikan di negeri yang mayoritas Muslim ini terjadi lantaran diterapkannya sekularisme. Sekularisme adalah ideologi yang sangat berbahaya karena memisahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari syariah Islam. Akibatnya, masyarakat menjadi bodoh karena tidak bisa membedakan dengan baik mana yang benar dan mana yang salah. Manusia digiring menjauh dari kebahagian sejati hanya untuk kesenangan sesaat.
Bukan hanya masyarakat biasa yang tergiur kesenangan sesaat tersebut. Aparat pemerintah dan wakil rakyat pun tidak luput dari wabah sekularisme. Keberkahan negeri ini pun dicabut diganti dengan berbagai macam bencana.
Padahal menurut Fahmi Amhar, Dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina, dalam orasinya pada Kongres Mahasiswa Islam Indonesia 18 Oktober lalu di Jakarta, SDA Indonesia sangat melimpah. Dari pendapatan hutan saja, dengan metode yang paling lestari sesuai syariah, dengan penebangan 5% setiap hektar dari 104 juta hektar hutan pertahun, akan didapat laba bersih setidaknya Rp 2080 triliun. Angka yang cukup fantastik, karena APBN 2009 saja hanya sekitar 1000 triliun.
Itu baru dari hutan; belum dari potensi laut, yang luasnya 75 persen dari seluruh luas laut dan daratan Indonesia; ditambah lagi potensi mineral dan energi. Namun potensi yang besar tersebut tidak bisa mengentaskan seluruh rakyat Indonesia ini dari kemiskinan. Karena diterapkannya ekonomi kapitalisme, kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh pengusaha asing terutama Amerika, aparat dan wakil rakyat saja. Rakyat yang mayoritas negeri ini hanya bisa gigit jari.
Padahal Allah SWT telah mewajibkan pengelolaan SDA oleh negara untuk kesejahteraan publik dan tidak boleh memberikan konsesi kepada pihak swasta dalam negeri maupun asing. Namun, Pemerintah malah menerapkan hal yang sebaliknya.
Mental Terjajah
Satu contoh sederhana saja, dengan iming-iming akan membuka lapangan kerja di perkebunan bagi warga setempat, aparat dengan senang hati memberikan konsensi kepada asing. Di Riau, misalnya, dengan izin investasi perkebunan, sebuah perusahaan asing langsung untung minimal Rp 7,4 triliun setelah mendapat konsensi 20.000 hektar. Menebang habis hutan mendapat untung Rp 400 juta perhektar, sedangkan membangun kebun hanya Rp 30 juta perhektar. Jadi, menurut Fahmi Amhar, keuntungan per 20.000 hektar tersebut 7,4 triliun, praktis tanpa modal!
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para korporasi dunia untuk melobi para politisi negeri ini untuk membuat lebih banyak lagi UU yang semakin memudahkan dan legal lagi bagi mereka untuk mengeruk SDA.
Walhasil, menurut Fahmi, makin hari makin banyak korporasi asing di negeri ini dari sektor hulu, seperti emas dan migas, hingga sektor hilir seperti pasar eceran. Sebaliknya, anak negeri cukup puas sebagai pekerja korporasi itu.
Aparat senang mendapatkan komisinya, apalagi korporasi itu rajin membayar pajak. Padahal pada saat yang sama lingkungan menjadi rusak, teknologi semakin tidak dikuasai, utang luar negeri Indonesia semakin menggunung.
Pada APBN 2009 saja anggaran untuk membayar bunga utang Rp 109,5 triliun; lima kali lipat dari anggaran kesehatan. Pada saat yang bersamaan pula melalui berbagai media massa dipertontonkan kekusutan birokrasi dan manajemen pemerintahan Indonesia versus efisiensi birokrasi dan manajemen negara Amerika.
Hasilnya, bangsa ini semakin rendah diri pada kemampuan dan produk sendiri serta semakin terkagum-kagum pada produk luar. “Oleh karena itu, kita secara sadar atau tidak sedang membiarkan diri terus dijajah, langsung atau tidak langsung, melalui UU dan budaya,” ujar Fahmi.
Bahkan orang nomor satu di negeri ini, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam pun, meski memiliki badan yang tinggi besar dan tegap, karena tidak mengemban ideologi Islam, bermental terjajah pula. Seperti dikutip http://english.aljazeera.net/English… Archiveld=4965 pada 2003 lalu saat mengunjungi Amerika, SBY menyatakan, “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country (Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya).”
SBY pun membuktikan ucapannya dengan menelan mentah-mentah ekonomi kapitalisme mazhab neoliberal yang disodorkan Amerika. DPR periode lalu pun mengesahkan berbagai macam UU yang kental dengan semangat neolib itu, di antaranya UU Otonomi Daerah, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Badan Hukum Pendidikan, dll.
Jadi, legal hukumnya sudah dibuat, papar Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, nah tinggal pelaksanaannya saja. Untuk itu, harus ada orang yang menjaga pelaksanaannya agar sesuai dengan agenda neolib tersebut. Makanya Pemerintah bertugas untuk memastikan orang-orang yang akan menjalankan ekonomi neoloberal itu tetap berjalan dengan lancar. Karena itu, dipilih orang-orang yang sangat istiqamah menjalankan neoliberal untuk menduduki posisi kunci di dalam kabinet SBY tersebut. Di antaranya adalah Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Purnomo Yusgiantoro dan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Bidang Sosial
Kemaksiatan di dalam sistem sosial, terutama di bidang pergaulan pria dan wanita, semakin meningkat pesat. Pengusung liberalisme pun secara massif mengkampanyekan pergaulan bebas. Di antaranya melalui film remaja dan berbagai sinetron, seperti kisah pelacuran terselubung dalam film Virgin atau Buruan Cium Gue yang mengajak remaja dan kalangan mahasiswa untuk melakukan seks bebas.
Namun, Pemerintah tutup mata pada aktivitas perusakan moral bangsa itu. Bukti lainnya, ujar Pengamat Sosial Tatty Elmir, setelah diberlakukannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik, setidaknya ada 2000 video porno di internet yang ‘dibintangi’ pelajar Indonesia tetap saja eksis. Pelaku sekaligus korban ini bukan saja hanya pelajar dari kota-kota besar tetapi juga dari Nganjuk, Jombang, Pacitan, Gowa, Minahasa dan Lampung. Beberapa situs porno berbayar masih eksis bahkan tetap menggunakan fasilitas perbankan dalam negeri.
Berdasarkan data Depkominfo pada 2007, ada 25 juta pengakses internet di Indonesia. Konsumen terbesar atau 90 persennya adalah anak usia 8-16 tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban industri pornografi adalah anak.
Dua dari lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet; 76 persen korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-15 tahun. Itu baru penelitian terkait dengan pornografi melalui internet, belum lagi melalui media yang lain. Akibatnya, suburlah praktek aborsi. Pada 2008, Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta kasus; 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja di bawah usia 20 tahun.
Biang Maksiat
Segala kemaksiatan itu terjadi lantaran masyarakat negeri ini baik yang menjadi rakyat, wakil rakyat maupun aparat mengaku beragama Islam, alih-alih menerapkan ideologi Islam, malah menuhankan ideologi sekularisme buatan penjajah. Kalaupun ada aturan Islam yang diterapkan penguasa, bukan berangkat dari keyakinan bahwa itu merupakan kewajiban dari Allah SWT, tetapi karena menganggap bahwa aturan tersebut menguntungkan secara finansial bagi para aparat terkait yang melegislasikan dan menerapkan aturan tersebut dan tidak bertentangan dengan misi Amerika di Indonesia. Jelas, penerapan hukum tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai hukum Islam, tetapi tetap saja terkategori hukum sekular; karena diterapkannya hukum tersebut berdasarkan asas manfaat, bukan halal-haram. Apalagi secara faktual sebagian besar hukum Islam lainnya ditinggalkan dengan alasan ketinggalan zaman dan melanggar HAM atau karena sebagian besar anggota Legislatif tidak setuju.
Di sinilah, ujar Rokhmat, letak perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan ideologi sekularisme dalam memandang maksiat (kejahatan). Setiap manusia di dunia ini pasti membenci tindak kejahatan dan tidak ingin kejahatan itu menyebar luas dan merajalela. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah mana saja yang terkategori kejahatan dan mana saja yang sebaliknya; setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, bergantung pada ideologi yang dianutnya. Jika orang tersebut berideologi Islam, ia pasti akan memandang murtad dari Islam adalah kejahatan. Sebaliknya, jika orang tersebut mengemban sekularisme, yang dikenal dengan istilah demokrasi itu, memandang keluarnya seseorang dari agama Islam bukan tindak kejahatan.
Begitu juga dengan bunga bank, lokalisasi perjudian dan pelacuran, privatisasi BUMN dan SDA, membuat UU yang bukan bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Itu semua dalam Islam adalah bentuk kejahatan, tapi demokrasi malah memandang sebaliknya.
Nah, menurut Rokhmat, kejahatan yang paling besar atau biangnya segala kejahatan ialah diterapkannya sistem demokrasi, karena telah memposisikan Allah SWT di bawah anggota DPR. Pasalnya, ketika penguasa hendak menerapkan hukum Allah SWT, meskipun hanya satu kewajiban, menutup aurat misalnya, harus mendapat persetujuan DPR. Kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi merupakan salah satu buktinya.
Jelas itu merupakan kemaksiatan yang tiada bandingannya, karena mensejajarkan Allah dengan makhluk saja sudah terkategori musyrik. Ini malah menjadikan otoritas makhluk di atas Allah SWT. [Joko Prasetyo]