HTI

Hiwar (Al Waie)

Ust H. Musthafa A Murtadho: Menegakkan Khilafah: Kewajiban Ulama

Pengantar

Dari waktu ke waktu, kemungkaran dan kemaksiatan di negeri ini tampak semakin marak. Padahal pada saat yang sama, gerakan dakwah telah berjalan puluhan tahun di negeri ini. Bahkan akhir-akhir ini ditambah dengan semakin menjamurnya majelis-majelis taklim, majelis-majelis zikir dll; baik di kampung-kampung kecil maupun di pusat-pusat kota besar. Kegiatan keislaman bahkan sekarang sudah tidak asing diadakan hingga di pusat-pusat perkantoran.

Lalu mengapa kemaksiatan tetap marak, bahkan seolah makin meningkat tajam? Dimana letak kekurangan gerakan dakwah yang ada selama ini? Bagaimana pula sesungguhnya peran ulama khususnya dalam hal mengatasi berbagai kemungkaran ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi al-Wa’ie mewawancarai Ustadz H. Mustafa Ali Murtadho, yang juga merupakan salah seorang ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.

Ustadz, saat ini ulama dan orang shalih masih banyak di tengah masyarakat, tetapi kemaksiatan dalam berbagai bentuknya masih merajalela. Mengapa bisa terjadi?

Sebenarnya fenomena tersebarluasnya kemungkaran dan kemaksiatan yang bahkan telah melembaga adalah fenomena masyarakat yang hidup dalam sistem yang tidak islami. Fenomena ini tidak dijumpai dalam masyarakat islami yang menerapkan syariah dalam seluruh aspek kehidupan dalam sistem Khilafah.

Yang membuat tambah rumit, dalam masyarakat yang tidak islami, negara tidak di-set-up untuk menjamin agar tidak ada kemungkaran dan kemaksiatan di masyarakat. Bahkan negara sering justru menjadi institusi yang melembagakan dan melegalkan kemungkaran. Misal, UU Pornografi justru melegalkan pornografi, karena hanya mengatur, bukan memberantasnya. Negara juga seperti melindungi aliran-aliran sesat, melakukan lokalisasi perjudian dan pelacuran, menerapkan sistem muamalah ribawi, dll. Mengapa? Karena memang dalam sistem yang tidak islami seperti saat ini, negara memang tidak di-set-up untuk menerapkan hukum Allah. Karena itulah, al-Muassis Hizbut Tahrir al-Allamah asy-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, yang juga cucu al-Allamah asy-Syaikh al-Imam Yusuf an-Nabhani asy-Syafi’i, menegaskan bahwa menerapkan hukum selain Allah adalah afdza’ al-munkarât (kemungkaran yang paling keji).

Adakah kaitan antara kemaksiatan yang sudah melembaga ini dengan terjadinya bencana yang terus-menerus menimpa negeri ini?

Allah SWT berfirman, “Zhaharal-fasâdu fîl-barri wal-bahri bimâ kasabat aydin-nâs.” Artinya, “Telah tampak jelas kerusakan baik di darat maupun di laut karena perbuatan manusia (QS ar-Rum [30]: 41).”

Terkait dengan ayat ini, Imam ath-Thabari mengutip penjelasan al-Hasan, mengatakan, bahwa Allah merusak mereka karena dosa-dosa mereka, baik di daratan maupun di lautan, karena perbuatan-perbuatan mereka yang tercela. Al-Hafizh asy-Syaukani juga menjelaskan bahwa sesungguhnya syirik dan maksiat itulah yang merupakan sebab menonjolnya kerusakan di dunia.

Jadi jelas bencana yang datang bertubi-tubi menimpa negeri kita adalah akibat logis dari maraknya kemungkaran dan kemaksiatan. Ini juga ditegaskan di dalam firman Allah SWT, “Wâ mâ ashâbakum min mushîbatin fa bimâ kasabat aydîkum.” Artinya, “Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan kalian sendiri (QS asy-Syura: 30).”

Lalu apa akibat yang akan terjadi jika kaum Muslim, khususnya para ulama dan orang-orang shalih, mendiamkan kemaksiatan yang terjadi?

Jawabannya mesti kita pilah menjadi dua. Pertama: terkait dengan hukum meninggalkan amar makruf nahi mungkar dan izâlah al-munkarât. Imam al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan bahwa hukum mengubah kemungkaran (izâlah al-munkarât) adalah fardhu kifayah, begitu pula dengan amar makruf nahi mungkar. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Imam ath-Thabari dan al-Hafizh asy-Syaukani. Dalam hal ini, para ulama, karena “amanah ilmunya”, lebih wajib dibandingkan dengan yang lain.

Kedua: meninggalkan kewajiban izâlah al-munkarât dan amar makruf nahi mungkar, selain berdosa, juga bisa menimbulkan akibat lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasul saw., “Lata’murunna bil ma’rûf walatanhawunna ’anil munkari walatahadhunna ’alal-khayri aw layushitannakumullahu jamî’an bi ’adzâbin aw layu’ammiranna ’alaykum syirarakum tsumma yad’û khiyârukum falâ yustajâba lakum.” Artinya, “Sungguh hendaknya kalian melakukan amar makruf nahi mungkar serta saling menjaga dalam kebaikan, atau Allah akan menghancurkan kalian semua dengan siksaan atau orang yang keji dari kalian memerintah kalian, kemudian orang-orang yang terpilih dari kalian berdoa dan tidak dikabulkan.”

Imam an-Nawawi menegaskan bahwa siksaan tersebut berlaku umum menimpa orang shalih maupun orang buruk.

Bagaimana metode menghilangkan kemungkaran itu dan apa peran ulama dan orang shalih di dalamnya?

Metodenya tentu harus merujuk pada sabda Nabi saw., “Man ra’a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi fa in lam yastathi’ fa bilisânihi fa inlam yastathi’ fa bi qalbihi wa dzâlika adh’aful-îmân.” Artinya, “Siapa yang menyaksikan kemungkaran hendaklah mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, hendaknya mengubahnya dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaknya dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya Iman (HR Muslim).”

Terkait implementasi hadis ini Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa menurut para ulama, menghilangkan kemungkaran dengan tangan/kekuatan adalah tugas penguasa; dengan lisan adalah tugas para ulama; dan dengan (pengingkaran) hati berlaku untuk orang-orang yang lemah/awam.

Namun, kita juga harus memperhatikan catatan Imam an-Nawawi. Pertama: bahwa masalah menghilangkan kemungkaran dan amar makruf nahi munkar bergantung pada masalahnya, karena syaratnya adalah tahu obyeknya. Adakalanya semua orang tahu bahwa itu mungkar, seperti meninggalkan shalat, berbuka pada bulan Ramadhan, zina dst. Adakalanya merupakan domain para ulama, karena rumitnya obyek. Untuk kemungkaran yang sudah jelas bagi semua orang maka semua orang memiliki istithâ’ah yang sama, termasuk ulama. Adapun untuk kasus yang spesifik, yang hanya bisa diketahui oleh para ulama, berarti ulamalah yang memiliki istithâ’ah untuk menghilangkan kemungkaran dan amar makruf nahi mungkar.

Kedua: menghilangkan kemungkaran itu tidak boleh mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.

Ringkasnya, menghilangkan kemungkaran pertama-tama adalah kewajiban negara. Namun, dalam masyarakat yang tidak islami seperti sekarang, negara tidak di-set-up untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan memberantas kemungkaran, izâlah al-munkarât dan amar makruf nahi munkar harus dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, terutama para ulama, karena ulama memiliki istithâ’ah jauh lebih besar dibandingkan dengan umat.

Bagaimana dengan tindakan preventif? Bagaimana peran ulama dalam hal ini?

Memang benar, tindakan preventif itu lebih efektif dibandingkan dengan kuratif. Dalam sistem Islam, Khilafahlah yang secara efektif melakukan tindak preventif mencegah kemaksiatan dan kemungkaran. Lebih dari itu, negara juga merupakan satu-satunya sarana untuk berlindung dari gangguan baik ekternal maupun internal. Rasulullah saw. bersabda, “Innama;-imâmu junnatun yuqâtalu min warâihi wa yuttaqa bihi.” Artinya, “Imam (Khalifah) itu layaknya perisai; orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”

Peran inilah yang saat ini kosong, karena saat ini tidak ada Khilafah. Jadi, wajar jika kita menyaksikan betapa merajalelanya kemungkaran serta kemaksiatan di seluruh lini kehidupan.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Dakwah! Tentu dakwah untuk mengubah sistem yang tidak islami menjadi sistem Islam, atau dakwah yang sifatnya taghyîri (mengubah), bukan islâhi (perbaikan); juga bukan dakwah yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat (al-mashâlih al-mu’aqqatah).

Mengapa harus taghyîri? Karena fakta yang kita hadapi adalah masyarakat yang tidak islami. Maka dari itu, dakwah kita adalah mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat islami.

Jadi, yang harus kita lakukan adalah dakwah menyeru umat untuk melakukan perubahan atas sistem yang tidak islami menjadi sistem Islam. Itulah sistem Khilafah yang menerapkan syariah-Nya secara total. Aktivitas ini harus dilakukan secara kolektif dalam satu jamaah yang memang melakukan aktivitas yang telah ditetapkan oleh Allah dalam surah Ali Imran ayat 104.

Dakwah kolektif yang terus-menerus semacam ini, terutama dengan melakukan kontak dan interaksi dengan masyarakat baik secara fardhiyyah maupun jamahiriyyah, akan membentuk opini umum di tengah-tengah umat tentang wajibnya syariah dan Khilafah, serta larangan berhukum pada sistem yang tidak islami. Opini umum ini akan “memaksa” seluruh komponen umat, termasuk penguasa untuk melakukan tatbîq asy-syarî’ah bi’iqâmah dawlah al-khilâfah; termasuk di dalamnya adalah tindak preventif terhadap kemungkaran dan kemaksiatan. Inilah yang seharusnya kita lakukan saat ini.

Luasnya pengaruh opini umum ini berjalan seiring dengan intensitas, jumlah serta kualitas masyarakat yang terlibat dalam aktivitas kolektif. Ulama adalah “uyûn al-ummah”; tentu keterlibatan mereka dalam aktivitas kolektif ini akan sangat signifikan pengaruhnya.

Ustadz, majelis zikir, majelis taklim, atau berbagai bentuk kegiatan dakwah semisal terlihat begitu marak di mana-mana. Namun, semua itu rasanya belum “berdaya” mencegah kemaksiatan. Ada yang kurang dalam proses dakwah selama ini?

Secara faktual keberadaan majelis-majelis zikir, majelis taklim dll patut kita syukuri. Namun, perlu juga dicatat, bahwa keberadaan majelis zikir/majelis taklim, misalnya, masih bersifat al-wa’zhu wa al-irsyâd; fokusnya baru pada tataran nasihat dan memberi “petunjuk” tentang moralitas individual. Kalaulah bicara tentang syariah, kebanyakan membatasi diri pada syariah yang sifatnya individual. Maka dari itu, ke depan kita berharap bahwa fokus aktivitas dakwah di tengah-tengah umat ini adalah qadhiyyah mashiriyyah umat, yakni menerapkan hukum Allah secara kâffah dalam seluruh kehidupan.

Saya perlu tegaskan, “qadhiyyah” ini bukan hal baru, para ulama, kyai-kyai dan guru-guru kita juga telah menegaskan hal itu. Hadhrat asy-Syaikh KH Hasyim Asy’ari di dalam buku Adab al-’Alim wa al-Muta’allim menegaskan, dengan mengutip ungkapan sebagian ulama, bahwa tauhid itu mengharuskan adanya iman. Orang yang tidak punya iman maka dia tidak punya tauhid. Iman itu mengharuskan syariah. Siapapun yang tidak ada syariah padanya maka dia tidak ada iman dan juga tidak ada tauhid pada dirinya.

Syaikh Ahmad Athiyyah dalam kitab At-Taghyir menegaskan bahwa perubahan itu adalah suatu yang natural bagi manusia. Perubahan itu menurut beliau, mengharuskan kita untuk membangun kesadaran kolektif tentang dua hal. Pertama: kesadaran atas fakta yang rusak dimana kita ada di dalamnya. Kedua: kesadaran atas fakta pengganti untuk fakta yang rusak tadi. Jadi, untuk mengubah masyarakat yang tidak islami menjadi masyarakat islam, dakwah seharusnya kita fokuskan pada dua hal tersebut: memvisualisasikan kebobrokan masyarakat yang sekarang kita ada di dalamnya serta memvisualisasikan Islam sebagai sistem satu-satunya yang tepat dan cocok untuk menggantikan sistem kehidupan kapitalistik saat ini.

Ketika kemaksiatan terlanjur terjadi, tentu di antara yang harus dilakukan adalah tobat. Nah, bagaimana prinsip-prinsip tobat nasûha itu, Ustadz?

Ya, tiap orang yang melakukan dosa harus bertobat. Para ulama menegaskan, tobat itu hukumnya wajib. Allah menegaskan hal ini dalam surah at-Tahrim ayat 8.

Sayidina Ali Ibn Abi Thalib ra., saat ditanya tentang tobat, beliau menyatakan hendaknya terkumpul pada tobat itu enam hal: untuk dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu hendaknya dia menyesal; untuk kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan hendaknya dia mengerjakannya; menolak berbagai kezaliman; bersedia dituntut kalau kemaksiatan yang dilakukan berkaitan dengan hudûd atau terkait dengan hak manusia; berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu; dan mendidik diri untuk taat pada Allah.

Maka dari itu, ketika pada masa lalu kita bersikap abai atau kurang serius atau bahkan memusuhi dakwah untuk menenerapkan syariah-Nya di bawah naungan Khilafah, maka implementasi dari tawbah an-nashûha adalah melakukan aktivitas dakwah demi mengajak saudara-saudara kita sesama Muslim untuk menerapkan hukum Allah, syariah-Nya, dalam seluruh kehidupan kita di bawah naungan Khilafah Islam.

Nah, kita menghimbau seluruh komponen umat untuk bersama-sama terlibat dalam perjuangan ini. Kalaulah tidak bisa secara aktif, karena istithâ’ah “mukallaf” memang berbeda-beda, ya mendukung, atau minimal tidak menghambat perjuangan ini. Seperti yang ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Taimiyyah, bagi yang memiliki istithâ’ah yang lebih tinggi lebih wajib dibandingkan yang lain. Ulama secara umum istithâ’ah-nya lebih tinggi dibandingkan umat pada umumnya. Karenanya, dalam hal ini, ulama tentu lebih wajib dibandingkan dengan umat Islam secara umum.

Apakah itu menunjukkan relevansi dan pentingnya sistem Khilafah?

Jelas untuk menerapkan syariah-Nya secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara memang harus di bawah naungan Khilafah Islam. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan di kalangan ahli ilmu tentang kewajiban adanya Khilafah untuk menerapkan syariah. Memang, para ulama sering menyebut Khilafah dengan Imamah. Namun, perlu dicatat bahwa Khilafah dan Imamah itu menunjuk pada obyek yang sama. Ini adalah suatu yang “muqarrar inda ahli al-ilm wa lâ khilâfa fîhi”. Artinya, Khilafah Islam itu adalah suatu hal yang “ma’lum[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah”. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*