Ani versus Ical

MENTERI Keuangan Sri Mulyani, yang akrab disapa Ani, sekarang sedang berseteru terbuka dengan Aburizal Bakrie yang populer dipanggil Ical. Perseteruan yang selama ini hanya jadi gosip tingkat tinggi sekarang terbuka. Dan, ternyata benar. Benar karena kedua orang ini memang mempunyai masalah.

Kepada koran Asian Wall Street Journal, Sri Mulyani mengungkapkan unek-uneknya. Menurut Ani, Pansus Angket Century yang sedang membidik dirinya dalam soal bailout bank milik Robert Tantular itu bermuatan dendam Ical terhadapnya.

Ical, mantan Menko Kesra yang kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar, menurut Ani jengkel ketika Ani sebagai Menteri Keuangan pada akhir 2008 tidak menghentikan perdagangan saham di bursa sewaktu saham-saham, terutama saham Bumi milik Ical, merosot tajam.

Ical juga, masih menurut Ani, dendam karena Menkeu waktu itu meminta sejumlah eksekutif kelompok Bakrie dicekal karena menunggak royalti batu bara triliunan rupiah. Itulah sebabnya Ani merasa Ical menggunakan Golkar untuk menghajarnya.

Karena sang ketua partai menyimpan dendam, Ani pun merasa tidak akan diperlakukan fair oleh Golkar dalam pansus. Sebuah kekhawatiran yang wajar-wajar saja. Karena sudah dibuka ke hadapan publik, Ical yang selama ini selalu membantah sedang bertikai dengan Sri Mulyani balas menyerang. Dia secara terbuka meminta Ani mengundurkan diri selama pansus bekerja. “Kalau pemerintahan kotor, perlu kita ganti,” kata Ical.

Serangan terbuka Ical ke Sri Mulyani lantas disambut para politikus Golkar dengan nada yang sama. Ani dianggap tidak pantas membuka persoalan konflik pribadi dengan Ical ke hadapan publik.

Pertikaian kedua tokoh ini memperlihatkan aspek cengeng dari para elite yang berpolitik. Persoalan pribadi yang tidak pantas dibicarakan di depan publik dibuka agar memperoleh simpati. Perpolitikan kita kehilangan alasan besar yang harus menjadi keutamaan.

Terkadang orang berpolitik habis-habisan untuk membela atau membalas dendam terhadap soal-soal yang sesungguhnya tidak pantas menyimpan permusuhan. Itulah sebabnya kita menyaksikan betapa dengan gampang banyak politikus menjadi ketua-ketua partai, tetapi sulit menemukan negarawan. Juga banyak orang mampu menjadi pejabat negara, tetapi tetap saja cengeng melihat permasalahan.

Mengapa pejabat publik, termasuk pejabat politik, selalu perlu diwaspadai? Karena tersimpan potensi besar di balik jabatan itu untuk melakukan pemaksaan. Sangat berbahaya jika jabatan publik dipergunakan untuk memenangkan kepentingan pribadi.

Kasus Bank Century yang kini menjadi bara politik di dalam negeri adalah contohnya. Ketika kewenangan dan kekuasaan ada di tangan siapa saja, godaan abuse of power besar. (mediaindonesia.com, 12/12/2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*